Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), Migrant CARE mengadakan diskusi secara bauran yang membahas perempuan dan kerja perawatan pada Selasa (28/11/2023). Diskusi yang dilaksanakan di Bakoel Koffie Cikini secara luring dan Zoom Meeting secara daring ini menghadirkan Arina W. Faradis selaku Staf Divisi Bantuan Hukum Migrant CARE dan Abby Gina Boang Manalu selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan sebagai pembicara, dengan Trisna D.W. Aresta sebagai moderator Trisna memulai diskusi dengan sebuah pertanyaan, “Apa yang terlihat di keluarga kita di pagi hari?” Pertanyaan tersebut berlanjut dengan pemaparan bahwa mayoritas orang akan mengalami sebuah pengalaman kolektif, di mana ibu akan terlihat di dapur menyiapkan sarapan dan ayah yang duduk membaca koran sembari minum kopi yang dibuatkan oleh ibu tanpa membantu pekerjaan rumah. Pengalaman ini menjadi satu contoh kecil bahwa di masyarakat yang patriarkis pekerjaan perawatan masih banyak dibebankan hanya kepada pihak perempuan dalam keluarga, seperti ibu, kakak, dan adik perempuan.
Pemahaman bahwa kerja perawatan hanya bisa dilakukan oleh perempuan memberi dampak yang lebih krusial daripada yang tampak di permukaan. Terlebih pada era kapitalisme ketika perempuan tidak hanya dibebankan pada kerja perawatan, tetapi juga diberikan beban ekonomi oleh keluarganya. Bisa dikatakan, kebanyakan perempuan memikul beban ganda. Berangkat dari fenomena tersebut, materi yang dibawakan Arina fokus pada kerentanan yang dialami perempuan dengan beban ganda tersebut. Arina memberikan penjelasan lebih lanjut dengan menjelaskan tentang klasifikasi dari kerja perawatan yang dibedakan menjadi pekerjaan perawatan tidak berbayar dan perawatan berbayar. Pekerjaan perawatan tidak berbayar termasuk ke dalam kegiatan rumah tangga, relawan komunitas, dan kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Posyandu. “Sementara pekerjaan perawatan berbayar antara lain pekerja rumah tangga, perawat kesehatan, pengasuh anak, guru PAUD, pelayan sosial jangka panjang (perawat lansia, anak berkebutuhan khusus, penyakit menahun/jangka panjang, disabilitas),” jelas Arina. Dalam materi selanjutnya, Arina secara spesifik membahas perempuan Indonesia dengan pekerjaan perawatan berbayar di luar negeri (migran). Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada tahun 2022, sebanyak 61% dari 200.761 Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan perempuan dengan mayoritas bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Secara ironis, kelompok inilah yang paling banyak mendapat kerentanan. Misalnya, sebelum berangkat ke luar negeri, Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) akan dipekerjakan di rumah sponsor tanpa upah dengan dalih pelatihan. “Banyak calon pekerja juga terjerat hutang,” tambah Arina. Adanya hutang ini disebabkan dengan banyaknya biaya yang mereka butuhkan agar bisa sampai ke luar negeri. Selain itu, calon pekerja juga mendapatkan denda dan intimidasi apabila mengundurkan diri dan tidak jadi berangkat ke luar negeri, yang biasanya diiringi penahanan dokumen asli seperti KTP dan KK oleh sponsor sehingga mereka tidak bisa keluar secara baik-baik dari rumah sponsor. Ketika sudah bekerja di luar negeri pun, banyak PMI perempuan yang mengalami kesulitan yang lebih parah. Kesulitan tersebut antara lain gaji yang tidak dibayar, mendapatkan kekerasan fisik dan pelecehan seksual, adanya penahanan dokumen, pembatasan pada ruang gerak dan akses komunikasi, sampai yang paling parah adalah diperjualbelikan sebagai budak manusia. Biasanya, ini merupakan buntut panjang dari ketidakberesan ketika masih berada di rumah sponsor, misalnya dengan adanya pemalsuan dokumen, sehingga secara tidak langsung, PMI ini menjadi imigran ilegal dan tidak bisa diberikan perlindungan hukum oleh negara. Selepas dari menjadi PMI dan kembali ke Indonesia pun, PMI tetap mendapat ancaman-ancaman yang tidak bisa mereka tangani, seperti adanya intimidasi untuk membayar ganti rugi kepada sponsor, dokumen yang tidak dikembalikan oleh PT, serta kesulitan untuk mengadukan majikan jika bekerja tidak sesuai kontrak dan sudah dipulangkan. Kerentanan-kerentanan tersebut biasanya juga berdampak pada relasi dalam internal keluarga, seperti adanya ketidakharmonisan dalam keluarga, anak PMI kurang kasih sayang, serta kurang diterimanya PMI dengan baik oleh keluarga ketika pulang dalam kondisi gagal. Arina juga menjelaskan bahwa Migrant CARE menemukan beberapa kenyataan di lapangan. Pertama, banyak sekali PMI perempuan yang mempersilakan suami untuk menikah kembali. Dalam hal ini, PMI merasa bersalah karena menganggap dirinya tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai istri untuk mengurus suami, mengerjakan pekerjaan rumah yang dianggap sebagai tugas perempuan, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis suami. Kedua, adanya migrasi berkepanjangan. Keputusan ini muncul sebagai wujud konkret dari tingginya kebutuhan pekerjaan perawatan dalam keluarga. Yang terakhir, “kebanyakan PMI kesulitan dalam mengasuh anak yang ditinggalkan,” jelas Arina. Namun, di sisi lain, PMI juga mengalami kebimbangan untuk memilih pihak yang mengasuh anaknya selama PMI bekerja di luar negeri, yang seringkali berakhir pada pengabaian pengasuhan terhadap anak yang ditinggalkan tersebut. Dari Migrant CARE sendiri, mereka memberikan beberapa solusi seperti advokasi kasus melalui konsultasi, pengaduan, dan rujukan. Dalam beberapa tahun terakhir, Migrant CARE telah bekerjasama dengan ATIKHA Overseas Workers, Inc. dan International Labour Organization (ILO) dalam memberikan pelatihan literasi keuangan dan soft skill untuk PMI yang sudah purna. Pelatihan ini juga menargetkan calon-calon PMI dan anggota keluarganya di beberapa daerah dengan angka PMI tinggi seperti di Karawang, Indramayu, Cirebon, Lampung Timur, Blitar, Tulungagung, Bekasi, Semarang, Lombok Tengah, dan Mataram. Dalam sosialisasi tersebut, hal-hal yang difokuskan berupa hak-hak dari pekerja migran, sehingga pekerja migran Indonesia memiliki kesadaran terhadap hak-hak yang seharusnya mereka terima, kemudian materi tentang kesetaraan gender, sehingga PMI tidak merasa bersalah untuk berbagi peran dalam kerja perawatan dengan pasangan, bagaimana cara mengelola keuangan, menyiapkan keluarga, serta melakukan analisa manfaat dan dampak atas ekonomi dan sosial dalam bermigrasi, serta bagaimana cara melakukan komunikasi dan negosiasi. Terakhir, Migrant CARE memberikan beberapa rekomendasi yang bisa dielaborasikan lebih lanjut. Seperti perlunya komitmen anggota keluarga atau pihak kerabat untuk mengasuh anak yang ditinggalkan oleh PMI yang tertuang dalam surat pernyataan dan diketahui oleh desa, sehingga dapat dilakukan pemantauan oleh desa. Kemudian adanya indikator penilaian kelayakan untuk anggota keluarga atau pihak yang mengasuh anak. Selanjutnya perlunya pengadaan daycare untuk anak PMI yang ditinggalkan. Selain itu, perlu adanya pelatihan peningkatan kapasitas pengasuhan anak bagi keluarga PMI, seperti suami, orang tua, atau kerabat. Kemudian memberikan literasi keuangan dan skill dalam kurikulum pelatihan CPMI. Terakhir, perlunya memberikan pemahaman tentang literasi keuangan serta pemberian pembagian peran terhadap keluarga PMI. Diskusi dilanjutkan dengan materi dari Abby Gina yang lebih fokus pada konsep kerja perawatan dengan tujuan untuk meredefinisi kerja perawatan dan stigma yang menyertainya. Abby memulai diskusi dengan memaparkan tentang mitos-mitos yang menyertai kerja perawatan, seperti bagaimana kerja perawatan dikonotasikan dengan pekerjaan perempuan yang didasarkan pada pembagian tugas masing-masing gender secara alamiah. Pembebanan kerja perawatan pada perempuan berimplikasi pada bagaimana perempuan diposisikan dalam masyarakat, “seperti pengupahan yang lebih rendah, tercerabut dari promosi, dan tersingkir dari kerja berbayar,” jelas Abby. Namun, jika kita melihat lebih mendalam maka kita akan menemukan bahwa idealisasi bahwa laki-laki bertugas sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai penanggung jawab kerja perawatan secara absolut merupakan kondisi yang tidak adil dan tidak menguntungkan perempuan sama sekali. Seluruh idealisasi ini merupakan hasil dari sosialisasi, internalisasi, dan imitasi dan tidak berasal dari sumber ilmiah. Untuk menghasilkan keadilan gender, maka idealisasi-idealisasi tentang pembagian tugas masing-masing gender dalam institusi sosial dan politik tersebut perlu diubah. Selain idealisasi-idealisasi yang berkembang dalam masyarakat tersebut, perlu kita ketahui bahwa salah satu faktor yang juga menimbulkan kerentanan bagi perempuan adalah pernikahan, sebab selain dari dunia luar, pernikahan juga memberikan akses eksploitasi perempuan pada suami. Dalam hal ini, Abbby merujuk menunjukkan beberapa data, seperti adanya 8,6 juta perempuan di umur 20 sampai 44 tahun yang keluar dari angkatan kerja karena menikah dan punya anak. Artinya, baik masyarakat maupun negara sama-sama membuat pilihan perempuan menjadi sangat terbatas, di mana banyak perempuan yang menikah terpaksa harus keluar dari angkatan kerja karena ketiadaan pengakuan, restribusi, dan perlindungan pada situasi kerja berbayar dan kerja perawatan. Berangkat dari sana, Abby juga menjelaskan tentang pendapat bell hooks (2006) yang menyatakan bahwa penting untuk membagi atau redistribusi kerja perawatan kepada laki-laki secara lebih setara dengan melibatkan laki-laki dalam kerja perawatan. Dengan demikian, maka laki-laki akan lebih menghargai dan mengakui kerja perawatan yang selama ini dibebankan kepada perempuan. Hal ini perlu dilakukan karena hampir seluruh aspek kehidupan dan seluruh jenis masyarakat bergantung pada kerja perawatan tidak berbayar yang biasanya dilakukan oleh perempuan. Namun, dikotomi publik dan privat membuat kerja perawatan menjadi tidak terlihat, tidak dihargai, dan tidak dilindungi. “Padahal, sejumlah studi menemukan bahwa perempuan banyak berkontribusi pada ekonomi keluarga lewat ekonomi perawatan tersebut,” tambah Abby. Maka dari itu, perlu ada upaya untuk mendorong keadilan gender pada aspek kerja perawatan ini. Misalnya dengan merespons isu partisipasi kerja perempuan secara holistik. Pada tingkat makro, perlu adanya ratifikasi konvensi internasional tentang kerja layak dan aman dan menghadirkan kebijakan yang sensitif dan akomodatif terhadap kerja perawatan, seperti UU ketenagakerjaan, UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), dan sebagainya yang mengatur tentang, cuti, penitipan anak, pengasuhan anak, dan sebagainya, sehingga ada kepastian terselenggaranya pengakuan, redistribusi, pengurangan, keterwakilan, dan pengupahan yang berkeadilan. Pada tingkat meso, kita juga perlu memastikan perubahan di tatanan institusional, yaitu adanya pengawasan bagi perusahaan dan pemberi kerja. Selain itu, penting juga untuk memastikan kerja media dan Organisasi Masyarakat Sipil agar mendorong kesadaran baru bagi masyarakat tentang keadilan gender dalam keluarga dan maskulintas baru. Sementara pada tingkat mikro, perlu adanya distribusi kerja perawatan dan perubahan dalam norma keluarga yang biasanya membebankan kerja perawatan pada perempuan. “Semuanya punya tantangan tersendiri dan tugas kita bersama adalah memastikan setiap mereka mendapatkan hak yang sama atas kerja sebagai manusia dan sebagai warga negara,” tutup Abby. (Dian Agustini) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |