Pada Kamis (30/06) yang lalu, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) mengadakan Diskusi Pusat Gender dan Demokrasi (PGD). Diskusi bertajuk “Segitiga Kekerasan, HAM, dan Hak Asasi Perempuan” tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Herlambang P. Wiratraman (LP3ES Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada – FH UGM), Sri Wiyanti Eddyono (Dosen Hukum Pidana UGM), dan Mariana Amiruddin (Wakil Ketua-Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan – Komnas Perempuan) serta Lya Anggraini (Wakil Direktur Pusat Hukum dan Hak Asasi Manusia – HAM LP3ES) sebagai moderator. Diskusi dibuka oleh Julia Suryakusuma selaku Direktur PGD LP3ES yang menyatakan bahwa hukum dan HAM merupakan dasar suatu negara. Hukum dan HAM seharusnya dapat berjalan dengan baik dan melindungi masyarakatnya. Akan tetapi, masih banyak pelanggaran di dalam implementasinya. Sehingga Indonesia masih saja menempati peringkat ke 76 dari 176 sebagai negara dengan pelanggaran hukum dan HAM tertinggi. Buruknya sistem dalam menangani kekerasan hukum dan HAM tidak hanya menimbulkan trauma fisik, tapi juga psikologis. Kekerasan yang dapat terlihat secara fisik hanyalah puncak dari gunung es yang masih menutupi banyaknya pelanggaran yang terjadi.
Maraknya kekerasan diperburuk dengan sistem masyarakat patriarki yang semakin melanggengkan adanya kekerasan struktural dan juga kultural. Menurut Julia, kekerasan struktural seperti minimnya hak akses kesehatan serta keterbatasan bahan pokok lebih berbahaya dan lebih sulit ditangani. Walaupun terdapat peraturan seperti Undang-undang (UU) maupun Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), kejanggalan dalam implementasinya masih belum mampu mewujudkan keadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, Julia berharap diskusi ini mampu mengupas lebih dalam permasalahan kekerasan, HAM, dan Hak Asasi Perempuan. Pemaparan pertama disampaikan oleh Herlambang Wiratraman. Presentasi berjudul “Kekerasan Struktural HAM dan Dampaknya terhadap Perempuan” yang ia sajikan dimulai dengan Segitiga Kekerasan milik Johan Galtung. Menurut Herlambang, masalah dasar HAM yang seringkali dilanggar adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak-hak sipil dan politik. Sebagai contoh, pelanggaran hak buruh perempuan didominasi oleh kebijakan upah murah yang kemudian memperngaruhi kondisi ekonomi keluarga mereka. Tidak jarang banyak buruh perempuan yang mengganti air susu menjadi air tajin untuk diberikan kepada anak-anaknya. Contoh kasus berikutnya yang disampailan oleh Herlambang adalah perlawanan Perempuan Kendeng. Perusakan gunung yang dilakukan oleh pihak tambang tidak hanya mengancam lingkungan tetapi juga pengairan lahan pertanian serta keperluan rumah tangga warga setempat. Manipulasi laporan oleh perusahaan yang mengeksploitasi Gunung Kendeng juga terjadi. Selain itu, ancaman dan intimidasi dari preman terhadap warga yang melawan sudah menyebabkan seorang perempuan keguguran. Walaupun sudah sampai menyebabkan pelanggaran HAM, tidak ada ketegasan dari pemerintah dalam menangani kasus tersebut. Perlawanan Wadon Wadas dijadikan contoh berikutnya perihal buruknya implementasi kebijakan oleh pemerintah. Sosialisasi program seolah-olah dijadikan kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat Wadas. Hal ini menunjukkan keberadaan sistem struktur pemerintahan yang salah dalam menerapkan hukum yang berpihak pada rakyatnya. Jika direfleksikan, kekerasan struktural menurut Herlambang dapat dilihat dari tiga hal yaitu institusionalisasi sistem hukum, pemiskinan, dan manipulasi informasi. Pembicara kedua, Sri Wiyanti Eddyono, memaparkan presentasi bertajuk “Hak-hak Perempuan, Hukum dan Kebijakan Negara, dan Tantangan Pemenuhan Hak”. Menurut Sri Wiyanti, secara teori hak perempuan harusnya sudah bisa dipenuhi. Akan tetapi praktiknya nihil akibat hambatan-hambatan yang muncul akibat stigma sosial. Tidak hanya terjadi secara terus menerus, nilai patriarki yang dianut oleh masyarakat tersebut tidak berubah dan bahkan membebani perempuan secara berlapis akibat adanya relasi kekuasaan. Pemerintah juga tidak dapat diandalkan dalam menegakkan keadilan melalui penerapkan hukum yang homogen. Hal ini disebabkan tidak adanya pemahaman akan kebutuhan perempuan di Indonesia yang berbeda-beda. Sri Wiyanti kemudian memaparkan pelanggaran HAM dalam Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Beberapa di antaranya adalah ujaran kebencian terhadap kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan Kekerasan Seksual Berbasis Online (KSBO). Terutama kasus KDRT, terjadinya pandemi COVID-19 tidak kemudian menekan angka kekerasan yang terjadi. Hal ini turut menjustifikasi bahwa seringkali pelanggaran HAM terjadi di ruang domestik. Sayangnya, masih banyak yang tidak menyadari bahwa pelaku kekerasan biasanya adalah orang terdekat korban. Keadilan yang tidak berpihak pada korban turut terjadi pada kasus Kekerasan Seksual (KS) dan KSBO. Pada kedua kasus tersebut, korban sering dianggap tidak jujur dan dicurigai bertujuan memanipulasi serta memiliki kepentingan sendiri ketika menuntut haknya sebagai korban. Penanganan KS dan KSBO masih saja menormalisasi kekerasan yang terjadi, menyematkan stigma-stigma terhadap korban, dan menyalahan korban. Dalam mengamati ideologi gender, Sri Wiyanti memaparkan adanya pergeseran dari paham Ibuisme Negara pada rezim Orde Baru menjadi pemberdayaan perempuan yang peran gendernya sudah tidak kuno lagi. Sayangnya aturan-aturan hukum yang dianggap membela hak perempuan tidak dapat menjamin keberpihakannya pada korban dan malah cenderung menempatkan perempuan kembali ke ranah domestik. Pemaparan ketiga berjudul “Potret Kekerasan Kultural dan Struktural dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan sebagai Bentuk Pelanggaran HAM/Perempuan” oleh Mariana Amiruddin. Ia mengawali presentasinya dengan menyepakati pembicara-pembicara sebelumnya mengenai kekerasan struktural yang dianalogikan sebagai gunung es. Secara psikoanalisa, kekerasan yang dapat dilihat secara langsung atau fisik merupakan wujud dari kultur yang struktur yang sudah mengakar dan terpendam di bawah alam sadar masyarakat. Mariana memberi contoh perihal kehidupan di dalam lingkungan Rukun Tetangga (RT). Walaupun perempuan sudah lebih progresif dalam menjalankan perannya yang sudah tidak kuno lagi, tetap saja dalam pengambilan keputusan di lingkungan rumah, Ketua RT seringkali hanya membutuhkan kesepakatan dari kepala keluarga yang masih didominasi oleh laki-laki. Paparan dilanjutkan dengan mengangkat isu kekerasan yang seringkali menimpa perempuan dan tercatat dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan. Perlu diperhatikan bahwa ciri-ciri kekerasan terhadap perempuan adalah tindak pelanggaran yang seringkali terjadi di ranah pribadi. Paparan ditutup dengan solusi dekonstruksi pola pikir patriarki sebagai kunci pencegahan kekerasan terhadap perempuan. (Retno Daru Dewi G.S.Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |