Tidak bisa dihindari bahwa kekerasan seksual terjadi di mana-mana. Perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan, bahkan tidak bisa lepas dari ancaman kekerasan seksual. Semenjak pandemi bergulir, banyak sekali kasus kekerasan seksual di kampus yang akhirnya muncul ke permukaan. Meski Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS) di Perguruan Tinggi, tampaknya implementasi regulasi tersebut sulit diwujudkan dalam waktu singkat. Acara bincang-bincang Hukum di Tengah Kita yang diselenggarakan oleh channel JTV pada Senin (17/1/2022), membahas salah satu kasus kekerasan seksual di kampus yang mencuat, yaitu kekerasan seksual di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Akun @dear_unesacatcallers menjadi pihak yang mengemukakan kesaksian korban. Kasus tersebut dilakukan oleh seorang dosen pada beberapa mahasiswinya. Berdasarkan keterangan resmi dari pihak kampus, kasus tersebut tengah diproses.
Vinda Maya, selaku Humas Unesa, menyatakan bahwa Unesa sudah memanggil terduga pelaku kekerasan seksual. Selain itu, Unesa juga melibatkan tim yang kompeten untuk membantu memproses laporan, melingkupi sosiolog, pakar hukum, dokter, dan psikolog. Terduga akan diproses oleh pihak internal, seperti Senat Akademik, terlebih dahulu sebelum diproses secara hukum yang akan ditentukan oleh tim yang terlibat tersebut. Vinda juga mengatakan, dalam memproses kasus ini, Unesa melibatkan Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk berdasarkan Permen PPKS. “Kami sangat mendukung Permendikbud. Kemudian ketika kasus ini muncul, tentu Satgas lebih cepat bergerak karena sudah didukung Permendikbud,” jelasnya. Membalas keterangan Vinda, seorang pengurus akun @dear_unesacatcallers yang ditutupi identitasnya menyatakan bahwa kasus tersebut sudah ada sejak lama tapi baru ditindaklanjuti sekarang. Akun tersebut hadir dan menerima banyak laporan terkait tindak kekerasan seksual di Unesa. Banyak sekali korban yang menggugurkan laporan mereka yang diajukan kepada dosen-dosen di program studinya. Intervensi pihak program studi dinilai memberatkan posisi korban. Ia juga mengkritisi lambatnya birokrasi pelaporan oleh Satgas. Abdul Wachid selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya turut hadir dan memberikan pandangannya. Kasus kekerasan seksual di kampus umumnya memiliki pola yang sama, yaitu terdapat relasi kuasa antara pelaku dan korban. Kebanyakan aduan kekerasan yang masuk ke LBH Surabaya dilakukan oleh dosen pada mahasiswa, senior pada junior, hingga dosen senior pada dosen junior. Seringkali, laporan korban harus viral terlebih dahulu, sebab pemegang otoritas kerap mengabaikan laporan mereka. Selain itu, melaporkan kasus kekerasan seksual tidaklah semudah melaporkan tindak pidana lainnya. “Dia (korban—red) mau melaporkan atau mengungkapkan saja itu sudah luar biasa. Karena, kalau dia jujur saja, lingkungannya mungkin mencemooh, menyalahkan korban,” jelasnya. Oleh karena itu, Abdul menilai adanya Permen PPKS sangat penting sekali. Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan kembali menegaskan pernyataan Abdul. Kekerasan seksual terjadi tidak hanya karena dorongan seksual semata, tapi juga niat untuk mendominasi dan menegaskan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Perempuan di tengah masyarakat patriarki terus menerus menjadi korban dari kekerasan seksual. “Kekerasan seksual sangat mengganggu rasa aman perempuan untuk dapat bermobilitas secara merdeka di ruang publik,” ujarnya. Mengenai upaya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk dapat mengadvokasi dan mencegah budaya kekerasan seksual, Andy menyatakan adanya usaha untuk terus mengumpulkan data aduan yang relevan terkait kekerasan seksual. Data tersebut digunakan untuk mendorong lembaga legislatif dalam membuat kebijakan perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual, seperti RUU TPKS. Berdasarkan data Komnas Perempuan, setiap hari selama lima tahun ini, terdapat lima perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Di antara angka yang sangat tinggi tersebut, hanya 3% korban yang kasusnya dapat dimajukan ke ruang pengadilan. Banyak lembaga independen lainnya yang menghimpun data tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Kendati Permen PPKS hanya memiliki otoritas di perguruan tinggi, tapi langkah tersebut sangat berarti untuk melindungi pelajar Indonesia dari bayang-bayang kekerasan seksual. Kasus di Unesa menunjukkan bahwa kekerasan seksual bahkan dapat terjadi di ruang-ruang pendidikan; memanfaatkan celah komunikasi antara dosen dan mahasiswi untuk melakukan tindakan keji tersebut. Selain Permen PPKS, perempuan Indonesia juga amat membutuhkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai payung hukum yang dapat melindungi mereka dari kekerasan seksual. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |