Internet belum menjadi ruang yang aman bagi perempuan. Mulai dari kekerasan, ancaman kesehatan mental, hingga diskriminasi gender kerap menghalangi perempuan ketika mengakses internet. Namun, internet juga dapat memberdayakan perempuan. Guna mengkaji lebih jauh terkait internet dalam hubungan dengan konstruksi gender dan kerentanan psikologis perempuan, Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) pada bulan Juni 2023 mengangkat tema “Internet, Konstruksi Gender, dan Kerentanan Psikologis Perempuan” dengan menghadirkan Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, M.Hum., Psikolog. selaku pengajar KAFFE Juni 2023. Kelas rutin dari Jurnal Perempuan ini dipandu oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri, pada Jumat (23/6/2023) lalu. Pada awal paparannya, Kristi menitikberatkan pembahasan pada gagasan yang terus muncul setelah menyadari betapa dahsyatnya implikasi internet dalam memediasi kehidupan kita. Kristi mengawali pembahasannya dengan sedikit memberikan ilustrasi mengenai kasus pelecehan perempuan berupa revenge porn atau Non-Consensual Intimate Image Abuse (NCII) yang marak terjadi kini. Kristi memberikan pengantar, bahwa internet termasuk luar biasa dari segi perkembangan. Bahkan saat ini ada yang disebut sebagai Metaverse, yakni bentuk penggabungan internet melalui cabang teknologi lain. Dari sana, muncul gagasan bahwa internet membuat penggunanya berada dalam keadaan yang rentan. Kristi selanjutnya memaparkan, penggunaan internet menggunakan internet secara real time. Tidak ada batasan ruang dan waktu di dalamnya. Internet terus beroperasi dan tidak pernah berhenti. Ragam pernyataan muncul dalam pemikiran Kristi, salah satunya, kini banyak mahasiswa yang mengatakan kesulitan tidur karena penggunaan internet berkepanjangan. Di sisi lain, internet telah membuktikan jika dirinya adalah perkakas yang efisien dalam menjalankan tugas. Internet lebih cepat, akurat, persisten, dan lebih luas jangkauannya. Seringkali masyarakat berpikir jika teknologi merupakan sesuatu mahal. Padahal dalam kenyataannya, teknologi merupakan sesuatu yang murah dan efisien. Hal ini didukung ketika kita berbicara mengenai Artificial Intelligent (AI). AI merupakan self-evolving, dalam arti melalui interaksi dengan manusia, kecerdasan buatan ini akan menyempurnakan dirinya. Kemudian, Kristi menyoroti keberadaan AI yang mulai memudahkan kehidupan manusia. Melalui AI, internet dan teknologi telah memediasi semua aspek kehidupan dan telah menggantikan fungsi dari ragam aspek dalam kehidupan nyata pula. Tidak hanya menggantikan aspek dalam dunia maya saja. Hal ini dibuktikan dari sistem pendidikan setiap universitas yang saat ini segalanya telah berbasis online. Dalam mengurus sistem administrasi, mahasiswa tidak perlu bertatap muka dengan pihak tata usaha universitas. Interaksi dengan internet pun lebih dekat dengan manusia, dibanding interaksi antara manusia dengan dunia nyata. Dapat dilihat dari seberapa lama kita berselancar dalam internet, bahkan saat ini ketika kita ingin memesan makanan mulai menggunakan internet sebagai perantara. Perihal lain terkait hubungan general manusia dan internet adalah tanpa disadari manusia telah disetir oleh media sosial melalui algoritma. Kemudian, pendiri dan pengawas Yayasan Pulih ini menjabarkan perkembangan kehidupan yang telah dimediasi internet dalam sudut pandang ekonomi. Telah dibahas oleh Kristi, bahwa efisiensi mesin dan teknologi cukup tinggi. Meskipun menolak atau berkata, “Aduh jangan sampai deh manusia digantikan oleh teknologi” atau “Jangan sampai manusia digantikan mesin” tetapi kita tidak bisa menolak atau sepenuhnya mempekerjakan manusia karena mudah serta murahnya teknologi. Hal ini menjadikan berubahnya sistem dan perilaku ekonomi serta wujud dari kompetisi manusia dengan mesin. Selanjutnya, Kristi memaparkan terkait wujud dunia yang dimediasi internet dalam bidang politik antarkelompok dan negara. Pada pembahasan ini, Kristi menunjukkan beberapa contoh yang umum terjadi. Pertama, maraknya penggunaan big data untuk penggalangan suara Hal ini marak ketika dalam suasana pemilihan umum, baik legislatif hingga eksekutif. Kedua, internet memicu maraknya hoax dan fake news mengenai permasalahan politik dalam suatu negara. Lebih jauh, internet juga menjadi sarana bagi pemikiran terorisme, ultranasionalisme, maupun ekstremisme, dalam berbagai bentuk di masyarakat. Membahas terkait sosial dan psikologis di internet pasti akan menyinggung terkait media sosial, yakni ketika kita membuka dan memandang tampilan media sosial pasti akan melihat tampilan visualisasi sempurna; wujud dari materialitas dan supervisialitas. Interaksi di internet, pada beberapa kasus, juga memicu kesulitan bertemu orang lain dan membangun hubungan secara mendalam. Contoh dari kasus ini adalah hubungan antarmanusia setelah terjadinya pandemi COVID-19, hubungan manusia yang saat itu berjalan secara daring menjadikan masyarakat kesulitan untuk menjalin hubungan kembali secara langsung. Perihal lain terkait mediasi internet dan persoalan sosial, yaitu adanya kesenangan dalam perbandingan diri atau social comparison pada lingkungan sekitar serta Fear ft Missing Out (FoMO), yaitu kondisi ketika masyarakat, khususnya anak muda, memiliki keinginan untuk tidak ketinggalan informasi terbaru dan terkini. Kondisi lain yang disoroti Guru Besar Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, itu secara mendalam adalah bagaimana internet menempatkan manusia sebagai objek seks untuk memenuhi psikologis. Kondisi tersebut berawal dari cepatnya perkembangan teknologi yang menjadikan manusia menjadi cepat berhubungan secara sosial dan intim. Kristi mengingatkan, hubungan seksual konsensual bukanlah hal yang keliru. Tetapi hilangnya koneksi antara orang lain dengan diri sendiri pun menjadi persoalan dari mediasi internet pada ranah tersebut. Pada pembahasan selanjutnya, Kristi mempertanyakan terkait mengapa perempuan mengalami kerentanan khusus dalam dunia yang dimediasi internet. Faktor ini lahir dari karakteristik material dan model kompetitif masyarakat jaringan. Adanya karakteristik tubuh atau fungsi reproduksi perempuan, yang rentan memicu objektivikasi tubuh perempuan, juga menjadi faktor lain. Faktor kerentanan lain berasal dari kesulitan pemenuhan kebutuhan psikologis dasar serta pemikiran atas konstruksi gender di masyarakat, hal ini dapat berupa faktor sikap moral dari masyarakat. Lalu ada juga berupa kegaduhan pemikiran pascafeminisme serta pola tingkah laku victim blaming.
Sebagai penutup, Kristi memberikan rangkuman singkat terkait situasi kondisi terkini dari konstruksi dan kerentanan perempuan dalam hidup yang termediasi internet, yakni bahwa orang tua juga telah tersedot dunia maya dan tanpa sadar mulai sibuk dengan kesibukan masing-masing. Terdapat kondisi ketika hubungan antara anak dan orang tua terpengaruh oleh internet. Diikuti dengan ketika kebutuhan psikologis dasar tidak terpenuhi menjadikan munculnya risiko dari kebutuhan eksplorasi dasar manusia. Situasi lain seperti FoMO, social comparison, perilaku seksual problematik, kriminalitas dan kekerasan dunia maya, hingga masalah kesehatan mental menjadi persoalan yang perlu dipahami dalam penyelesaian kasus kerentanan gender. (Esa Geniusa R Magistravia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |