Dalam berbagai teks yang muncul di media, perempuan kerap digambarkan dengan seksis. Pemberitaan tindak kriminal yang melibatkan perempuan terkadang menggunakan judul clickbait yang bernuansa misoginis dan seksis. Tidak jarang juga, agensi perempuan dikesampingkan di media, seperti upaya ibu-ibu mencari minyak goreng untuk keluarganya hanya dilihat sebagai histeria saja. Atas hal tersebut, menjadi penting bagi kita untuk dapat menganalisis konstruksi gender dalam teks. Untuk melakukannya, terdapat sebuah metode yang kerap digunakan dalam ilmu komunikasi, filsafat, maupun bahasa, yaitu Analisis Wacana Kritis (AWK). Menggunakan metode ini, kita dapat membedah makna dan interaksi dalam teks. Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) menggandeng Dr. J. Haryatmoko, SJ., dosen filsafat di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, untuk membahas AWK dalam kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) edisi bulan Juli 2022. KAFFE Juli ini bertajuk “Analisis Wacana Kritis untuk Keadilan Gender”. KAFFE Juli dilaksanakan pada Jumat (29/7) lalu secara dalam jaringan (daring). Dalam kelas ini, Retno Daru Dewi G.S.Putri selaku redaksi Jurnal Perempuan berlaku sebagai fasilitator kelas. Dr. J. Haryatmoko yang kerap disapa Romo Moko membuka kelas dengan pemaparkan perbedaan AWK dengan Analisis Wacana (AW). Pada dasarnya, keduanya sama-sama membicarakan analisis teks, termasuk makna dan pesan yang disampaikan di dalam teks. Namun, AW melihat kehidupan sosial tanpa merasa terlibat dengan masalah moral dan politik yang melandasinya. Sementara itu, AWK menyoal masalah-masalah tersebut. Dengan AWK pula, dominasi dan hegemoni dari suatu kelompok dapat dibongkar di dalam teks.
AWK digerakkan oleh motivasi kritis. Artinya, analisis dalam AWK didasarkan pada tujuan-tujuan kritis terhadap kehidupan sosial dalam rangka pembaruan moral dan politik. Atas hal ini juga, beberapa basis pemikiran AWK bertumpu pada pemikiran Teori Kritis. Pemikiran filsuf-filsuf seperti Antonio Gramsci, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, hingga Louis Althusser kerap dirujuk dalam kelas KAFFE Juli. Mengenai itu pula, Romo Moko menyampaikan bahwa AWK akan lebih mudah dipahami bila kita sudah memiliki basis pengetahuan atau sudah pernah membaca tulisan filsuf aliran Teori Kritis. Dalam analisis ilmiah terhadap penggunaan bahasa sehari-hari, AWK jadi pisau bedah yang penting. Bahasa sehari-hari sudah dikonstruksi dan juga mengonstruksi. Artinya, sudah ada sesuatu yang membentuk bahasa, membuat bahasa mengandung makna dan kuasa. Hal tersebut juga membingkai bagaimana pemakai bahasa bertindak menanggapi sebuah fenomena. Romo Moko memakai contoh, orang Indonesia mengenal istilah “gurih” sebagai sebuah rasa, sementara orang Inggris tidak mengenal istilah tersebut. Hasilnya, orang Inggris tidak mengenal konsep gurih. Yang mereka tahu hanya “gurih” sebagai gabungan di antara rasa manis dan asin. Dengan hal tersebut, bahasa juga dapat menghasilkan manipulasi maupun menyesatkan. Hal inilah yang menjadi penting ketika kita melakukan AWK dalam konteks analisis gender. Dalam feminisme, bahasa tidaklah netral, sama seperti pengetahuan dan teknologi. Terdapat konteks politik dari setiap istilah yang digunakan. Contohnya saja, eufemisme (penghalusan bahasa) dari kata “perkosa” menjadi “rudapaksa” yang sering digunakan oleh media-media di Indonesia. Eufemisme tersebut menghasilkan kesan tabu bagi perkosaan, sehingga khalayak jadi enggan dan malu untuk membicarakannya. Padahal perkosaan merupakan momok besar bagi masyarakat yang perlu didiskusikan, terutama perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal, yang rentan dengan kekerasan seksual. Dalam konteks kekerasan seksual, bahasa juga dapat memberikan kekerasan simbolik pada korban. Romo Moko memberi contoh, pada beberapa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, korban yang berusaha mencari keadilan kerap disudutkan oleh pihak-pihak terkait. Caranya adalah dengan mengecilkan kekerasan yang terjadi pada korban. Penyentuhan tubuh dianggap bentuk simpati dan kasih sayang, kekerasan verbal dianggap candaan, aduan korban dianggap dapat menjatuhkan martabat institusi. Sehingga korban yang justru disalahkan karena “mengundang” kekerasan seksual. Hal ini dipaksakan pada korban lewat kata-kata yang seolah manis dan menenangkan. Padahal, upaya meyakinkan korban untuk menghentikan advokasi kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan simbolik. Atas kekerasan simbolik tersebut, korban mau tidak mau menunjukkan persetujuan, karena bahasa seolah sudah mengonstruksikan kondisi tersebut. Akibatnya, korban menjadi rendah diri, merasa tidak bermakna, merasa tidak berguna, dan merasa tidak berdaya. “Yang benar justru menjadi yang salah,” jelas Romo Moko. Mengenai kuasa dalam bahasa, Romo Moko merujuk pemikiran Michel Foucault mengenai hegemoni sebagai salah satu muatan bahasa. Terdapat perbedaan makna ketika beberapa orang menyebutkan suatu istilah. Dalam kasus kekerasan seksual di kampus, ketika dosen menyebut istilah “Jadi salah siapa kalau kamu dilecehkan?” kepada mahasiswa yang mengadukan perilaku dosen lainnya, maka istilah tersebut bermakna “Kekerasan seksual ini merupakan salahmu sendiri”. Dalam hal tersebut, terdapat relasi kuasa dalam bahasa. Relasi dosen-mahasiswa membuat posisi dosen menjadi lebih kuat dari mahasiswa. Hal ini menyebabkan mahasiswa rentan ditindas melalui bahasa. Atas hal tersebut, pemahaman mengenai AWK menjadi sangat penting dalam dunia ilmiah dan keseharian kita. AWK dapat mengkritisi hal tersebut, bukan hanya menganalisis maksud dan tujuan dari konstruksi bahasa, tapi juga mendekonstruksinya. Demikian, bahasa dapat jadi lebih berkeadilan, terutama untuk perempuan dan kelompok marjinal lainnya, yang selalu ditindas lewat bahasa. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |