Menjelang pesta demokrasi pada bulan Februari tahun 2024 ini, publik dituntut untuk berpartisipasi secara politik di Pemilu nanti. Namun, nyatanya, partisipasi politik belum dapat diakses oleh setiap orang di ruang publik, terkhususnya perempuan dan kelompok marginal di Indonesia. Bahkan, sering kali partisipasi politik perempuan hanya dipenuhi sebanyak 30 persen yang dianggap sebagai syarat saja. Terkait permasalahan ini, KAFFE Januari 2024 bersama Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mendiskusikan masalah ketidaksetaraan partisipasi politik melalui kelas daring yang bertajuk “Partisipasi Perempuan dan Kelompok Marginal dalam Aktivisme Politik”. Kelas yang dilaksanakan pada Senin (15/01/2024) pukul 19.00 WIB tersebut dibuka dengan pembahasan mengenai pengertian aktivisme politik dan ruang publik Aktivisme politik dapat dimengerti sebagai kegiatan di ruang publik yang bertujuan untuk perubahan politik. Ruang publik ini menjadi wilayah setiap orang untuk berdiskursus. Bivitri menggunakan definisi ruang publik menurut Jürgen Habermas, dimana dipahami sebagai tempat bagi orang-orang untuk berdiskusi soal masalah-masalah di masyarakat dengan setara untuk aksi politik di kemudian hari.
Namun bagi Bivitri, pengertian Habermas mengenai ruang publik ini perlu dikritisi kembali. Bivitri mengkritik pernyataan Habermas mengenai kesetaraan di dalam ruang publik, yang semata berfokus pada konteks Eropa pada pertengahan abad ke-20. Kesetaraan di ruang publik menurut Habermas tidak relevan dengan situasi kontemporer hari ini, yang memiliki keragaman gender, media, hingga masalah sosial. Dengan kata lain, ruang publik masa kini tidak mampu hadir dengan ‘setara’ dalam konteks Habermas di tengah kompleksitas masa kini. Berangkat dari kritik terhadap problem ‘setara’ di ruang publik Habermas, selanjutnya Bivitri menggunakan framework hasil penelitian Irwansyah et al. berjudul Paradoks Representasi Politik Perempuan (2013) untuk membicarakan soal representasi atau keterwakilan dalam tiga wacana, yakni wacana kehadiran, wacana identitas, dan wacana kontestasi. Di antara tiga wacana tersebut, wacana kontestasi menjadi wacana yang paling menarik. Hal ini karena pembongkaran hegemoni suara mayoritas dapat terjadi demi meningkatkan representasi dari kelompok perempuan dan kelompok marginal. Bivitri menunjukkan bahwa di dalam wacana kontestasi, representasi politik perempuan bukan semata usaha menghadirkan kepentingan kelompok marginal, melainkan juga upaya membatasi kehadiran serta pengaruh kelompok mayoritas yang menikmati sejumlah keistimewaan. Melalui interseksionalitas yang ada pada diskusi soal representasi kelompok perempuan, pembahasan tentang kelompok-kelompok marginal lainnya mampu turut hadir di dalam diskusi. Ini menunjukkan bahwa upaya mengangkat representasi kelompok perempuan menjadi sebuah pintu masuk bagi usaha dekonstruksi cara-cara pandang yang mendominasi sistem politik selama ini. Kemudian, Bivitri melanjutkan pemaparannya soal keterhubungan demokrasi dengan representasi. Sesungguhnya, permasalahan soal representasi tidak dapat dilepaskan dari topik demokrasi, terutama pada konteks demokrasi modern masa kini yang tidak lagi substantif. Demokrasi yang substantif merupakan demokrasi yang bertumpu pada warga. Namun, kenyataannya saat ini, demokrasi justru hanya tertuju pada penguasa. Padahal, Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana sesungguhnya, pusat legitimasi ada di rakyat. “Negara tidak akan eksis kalau tidak ada warga,” tegas Bivitri. Dengan kata lain, sesungguhnya, warga yang menentukan benar atau salahnya hukum yang membentuk negara ini. Demokrasi modern bertumpu pada representasi. Tapi, pada demokrasi Indonesia, perempuan dan kelompok marginal cenderung tidak ‘diberi’ ruang representasi. Hal tersebut disebabkan oleh masalah struktural terkait cara pandang patriarki yang berkembang di berbagai daerah, contohnya, standar ganda yang membebani para calon legislatif perempuan. Oleh karena itu, diperlukan aksi afirmatif dalam politik formal yang disertai perspektif gender untuk mengatasi masalah struktural tersebut. Aksi afirmatif bisa membongkar kebijakan yang dianggap ‘normal’, yang sesungguhnya berdampak buruk bagi kelompok rentan. Bivitri menjelaskan bahwa aksi afirmatif merupakan instrumen hukum yang bersifat sementara, yang digunakan untuk memperbaiki ketidakseimbangan, ketidaksetaraan, dan ketertinggalan historis suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat. Meski tidak dapat dipungkiri, aksi afirmatif tanpa perspektif gender bisa memunculkan dampak negatif, misalnya disalahgunakan untuk melanggengkan dinasti politik. Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, partai politik dan para pembuat kebijakan harus memiliki pemahaman gender dan berorientasi pada rakyat, agar kemauan untuk melakukan aksi afirmatif mampu dilakukan dengan bertanggung jawab. Sehingga, diharapkan melalui hadirnya aksi afirmatif dan pemahaman gender, perempuan di ranah politik mampu mengakses ruang aman bagi dirinya sendiri. Tidak berhenti soal representasi perempuan dalam ranah politik di pemerintahan, Bivitri memperdalam pembahasan politik di ruang publik menjadi suatu persoalan personal. Hal ini berkaitan dengan politik kewargaan. Politik kewargaan merupakan politik yang berbasis hak warga, yang menjadikan hidup warga sebagai politik. Sehingga, politik tidak lagi bergantung pada proses Pemilu dan sistem dari institusi-institusi formal demokrasi semata. Menurut Bivitri, politik kewargaan dapat menghadirkan aksi lapangan sekaligus merombak sistem politik yang dinilai diskriminatif bagi warga. “Everyday is politics,” tambah Bivitri. Masalah-masalah yang ada di sekitar kita, seharusnya menjadi tuntutan dan kritik politik yang bisa berpengaruh baik bagi perubahan dan perkembangan kebijakan negara demi mencapai kesetaraan. Sebagai penutup, Bivitri menekankan kembali bahwa politik harus dibongkar sistemnya untuk mencegah diskriminasi dan manipulasi di dalam sistem hukum dan politik negara. Ia percaya sesungguhnya, tugas hukum adalah memenangkan ‘orang kalah’, orang-orang yang masih mengalami diskriminasi dan belum memperoleh kesetaraan. (Kezia Krisan) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |