Februari adalah bulan yang dikenal dengan hari kasih sayangnya. Akibatnya, relasi cinta romantis dirayakan oleh banyak orang. Akan tetapi, apakah relasi tersebut dapat menjadi hubungan yang setara? Bagaimana dengan relasi yang timpang karena didominasi oleh salah-satu pelakunya saja? Merespons fenomena tersebut, Jurnal Perempuan menggelar kelas Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) dengan tema ‘Feminisme dan Cinta’ pada hari Kamis (17/02/2022) lalu. Dipandu oleh Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), pembicara KAFFE pada kali ini adalah Saraswati Putri (Dosen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia). Saras membuka pemaparannya dengan mempertanyakan adanya cinta yang setara. Pandangan para feminis menekankan bahwa cinta tidak hanya sekadar dorongan yang didasari oleh kebutuhan biologis, tetapi cinta adalah relasi kepada sesama. Sehingga cinta seharusnya setara bagi para pelakunya. Ragam cinta kemudian menjadi paparan Saras selanjutnya. Ia menyebutkan lima macam cinta, yang terdiri dari cinta kepada keluarga, cinta kepada masyarakat, cinta sebagai spiritualitas, cinta romantis, dan cinta yang erotis. Walaupun terdapat lima ragam, cinta yang romantis seolah-olah mendominasi pengertian dari konsep tersebut secara keseluruhan. Hal ini turut menjadi perenungan para filsuf Yunani dalam mempertanyakan pemikiran manusia yang mudah didominasi cinta romantis dibandingkan cinta-cinta lainnya.
Meneruskan pemikiran para filsuf, Saras menyinggung mitologi Yunani mengenai belahan jiwa dalam cinta. Konsep tersebut kemudian menjadi dasar bagi banyak individu untuk mencari pasangan yang dapat melengkapi dirinya. Selain itu, sosok Cupid, dewa cinta bersayap dengan panahnya, turut mewarnai kisah-kisah romantis yang muncul di sekitar para filsuf Yunani. Seiring berjalannya waktu, konsep cinta yang romantis turut mengikuti perkembangan zaman, ruang, dan waktu. Di Eropa misalnya, perempuan yang direpresentasikan oleh putri-putri raja selalu dikisahkan di dalam dongeng yang berakhir indah. Kisah cinta romantis yang bahagia tersebut banyak diadaptasi dalam film-film Disney’s Princess oleh Walt Disney. Contoh lain terlihat dalam kisah-kisah cinta Bollywood dari India yang selalu menunjukkan drama dan perjuangan. Saras kemudian menambahkan representasi cinta di dalam kebudayaan populer yang kini didominasi oleh film drama Korea. Sayangnya dari beberapa contoh tersebut, cinta romantis yang setara tidak selalu ditampilkan. Sehingga pemikiran kritis para feminis akan cinta yang setara perlu dihadirkan. Feminis pertama yang dipaparkan oleh Saras adalah Simone de Beauvoir. Menurut de Beauvoir, cinta merupakan konstruksi sosial serta internalisasi nilai yang kemudian mengarah pada dominasi dan hierarki antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, seringkali relasi cinta berubah menjadi relasi kuasa yang menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan. Sehingga, sangat berbahaya bagi mereka yang memproyeksikan cintanya kepada orang lain tanpa mengenal dan mencintai diri sendiri. Hal ini dapat menyebabkan seseorang menjadi masokis dan menyakiti diri sendiri di dalam kesengsaraan akibat jatuh cinta. Simone de Beauvoir turut mengkritik pemikiran Friedrich Nietzsche yang menyatakan bahwa perempuan yang jatuh cinta akan selalu berserah diri sepenuhnya kepada laki-laki. Pemikiran akan cinta feminin ini merupakan konsep yang didekonstruksi oleh de Beauvoir. Menurutnya, kedua belah pihak harus sama-sama menaruh kepercayaan di dalam relasi cinta yang romantis, shingga hubungan percintaan tidak selalu membebani perempuan saja. Untuk menghindari kerugian akibat cinta romantis yang tidak setara, de Beauvoir menekankan pentingnya berkomunikasi secara terbuka antara pihak-pihak yang terlibat di dalam relasi tersebut. Hal ini, menurut de Beauvoir, dapat menghindari idolisasi di dalam relasi cinta. Apabila idolisasi hanya menekankan perjuangan satu pihak saja, maka cinta akan merugikan pihak lainnya. Sedangkan cinta yang otentik adalah proses yang memperkuat serta memerdekakan diri setiap pelakunya. Kritik kedua yang disampaikan oleh Saras adalah pemikiran dari feminis bernama Luce Irigaray. Seolah-olah sepakat dengan pernyataan de Beauvoir, Irigaray menegaskan pentingnya keakuan di dalam relasi cinta yang romantis. Hal ini tentu bertujuan agar seseorang tidak kehilangan dirinya ketika jatuh cinta. Kuatnya pribadi seseorang menjadi sangat penting bagi Irigaray karena apa yang personal adalah politis. Ketika mencintai orang lain, terdapat kemungkinan munculnya dominasi dan paksaan dari satu pihak kepada pihak yang lainnya. Akibatnya kesadaran akan ‘aku’ pada diri seseorang menjadi aspek yang diutamakan oleh Luce Irigaray. Konsep keakuan Irigaray kemudian dijelaskan oleh Saras sebagai pembebasan yang dilakukan mereka yang terlibat di dalam relasi cinta romantis. Kedua belah pihak yang saling menyayangi harus menghargai otonomi satu sama lain. Demikian, tidak ada kekangan di dalam hubungan mereka. Pemikir berikutnya yang dipaparkan gagasannya adalah Martha Nussbaum. Kritik Nussbaum yang dijelaskan oleh Saras adalah konstruksi yang mengkondisikan naluri alamiah manusia tentang cinta. Pada dasarnya, naluri yang merupakan reaksi biologis dikonstruksi secara sosial dan diharapkan menjadi dasar dari relasi antara mereka yang terlibat cinta. Nussbaum kemudian menempatkan emosi dan tindakan di dalam relasi cinta romantis sebagai ekspresi sosial. Tidak semua orang harus mengikuti ekspresi yang dikonstruksi secara sosial tersebut. Mereka yang terlibat relasi cinta harus menyadari bahwa setiap orang memiliki ekspresi dan tindakan yang berbeda. Kritik dari Nussbaum diarahkan kepada tubuh sosial. Ekspresi dan tindakan yang diatur oleh konstruksi sosial sangat berbahaya apabila sudah mengekang ekspresi ketubuhan pihak-pihak yang berelasi dalam cinta. Cinta yang diikuti oleh seks dan erotisme adalah hal yang wajar dilalui dan didiskusikan. Akan tetapi, jika terpaku pada konstruksi sosial, maka kenikmatan serta ketulusan dalam relasi cinta tersebut akan hilang. Konstruksi sosial di dalam cinta dikritik oleh feminis berikutnya, Audre Lorde. Lorde merupakan feminis lesbian berkulit hitam yang tidak jarang harus melawan diskriminasi dari masyarakat di sekitarnya. Di dalam mengkritik cinta, heteronormativitas menjadi masalah utama yang diprotes olehnya. Hal tersebut tidak hanya mendiskriminasi, tetapi juga menakut-nakuti kelompok marjinal, seperti komunitas LGBTQ dan kulit berwarna, dalam mengekspresikan cinta dan seksualitas mereka. Atas dasar tersebut, heteronormativitas menjadi konsep sosial yang harus didekonstruksi untuk mencapai cita-cita cinta yang setara. Pada akhir sesi KAFFE, Saras merespons pertanyaan dan tanggapan peserta dengan menegaskan bahwa kritik para feminis tidak kemudian diartikan sebagai sesuatu membuat kita pesimis. Apa yang disampaikan oleh permikir-pemikir tersebut justru layak dapat dijadikan panduan banyak orang di dalam relasi cinta romantis. Sehingga konsep cinta yang setara dapat diwujudkan dan diterapkan oleh mereka yang terlibat hubungan cinta. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |