KAFFE Jurnal Perempuan edisi bulan Desember bertajuk Feminisme dan Kedaulatan Pangan mengundang Mia Siscawati selaku kepala prodi Kajian Gender Universitas Indonesia sebagai narasumber. Kelas daring yang dilaksanakan pada Rabu (6/12/2023) pukul 19.00 WIB tersebut dibuka dengan pembahasan mengenai perspektif feminisme dalam kajian tentang lingkungan. Mia menjelaskan bahwa perspektif feminis dalam kajian tentang lingkungan terdiri dari pendekatan ekofeminisme dan pendekatan materialis. Pendekatan ekofeminisme meliputi rangkaian koneksi konseptual antara perempuan dan alam; koneksi kesejarahan antara perempuan dan alam; koneksi spiritual antara perempuan dan alam.
Pendekatan materialis memiliki pemahaman yang terintegrasi tentang penindasan perempuan yang berakar pada ketimpangan struktural dan material. Pendekatan ini memiliki argumen yang berbeda dibanding pemikir ekofeminis, yang mengklaim bahwa ada hubungan bawaan antara perempuan dan alam. Para pemikir pendekatan ini berpendapat bahwa terdapat pembedaan akses dan kontrol sumber daya alam yang terkait erat dengan gender sebagai konstruksi sosial. Perempuan khususnya di negara berkembang mengerjakan sebagian besar pekerjaan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam sekaligus mengerjakan pekerjaan domestik. Konstruksi sosial juga menempatkan mereka di garis depan dalam perjuangan untuk kesehatan, pangan, dan air. Narasumber kemudian menjelaskan dua teori feminis dalam pendekatan materialis. Pertama, feminisme lingkungan menekankan konsepsi material tentang hubungan gender-lingkungan dan hubungannya dengan konsepsi-ideologi tersebut. Pendekatan ini memberikan perhatian pada pengetahuan dan praktik-prkatik terkait material, seperti praktik penguasaan lahan dan sumber daya alam, serta kerja laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan lahan dan sumber daya alam. Fokus pada kondisi material menunjukkan bagaimana masalah lingkungan tertentu dihasilkan dan membuat perempuan memperoleh tambahan beban kerja domestik. Kedua, Ekologi politik feminis yang memberikan perhatian khusus pada kelindan antara gender dan dimensi sosial lainya dalam mengkaji pengetahuan tentang alam, akses dan kontrol sumber daya alam; perjuangan merebut pengkuan atas hak-hak dasar terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pendekatan ini dalam perkembangannya banyak menulusuri bagaimana relasi gender, relasi sosial, dan relasi kuasa secara berkelindan mempengaruhi pengetahuan, akses dan kontrol, juga tata kelola dan tata kuasa atas sumber daya alam. Penelusuran dilakukan secara berlapis mulai dari tingkat keluarga inti hingga pasar global. Pendekatan ini juga mengadopsi pendekatan interseksionalistas dimana membedah bagaimana gender sebagai konstruksi sosial berkelindan dengan berbagai dimensi sosial dan membentuk ketimpangan dan ketidakadilan yang multidimensi. Mia kemudian mengarahkan pembicaraan kepada isu utama diskusi yaitu perihal kedaulatan pangan dengan terlebih dahulu mendefiniskan pangan. Pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambah pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Dalam konteks sosial budaya, pangan juga merupakan identitas dan alat perekat bagi suatu komunitas. Ketahanan pangan sebagaimana didefinisikan oleh PBB merupakan situasi dimana semua orang, setiap saat saat memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap makanan yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi preferensi makananan dan kebutuhan diet mereka untuk hidup aktif dan sehat. Sayangnya, dalam konsep ketahanan pangan, semua orang memiliki akses terhadap pangan yang cukup dengan tidak mempermasalahkan aspek cara produksi, asal pangan, dan kondisi petani. Pendukung ketahanan pangan kemudian mengerakkan yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Hijau yang menjadi kebijakan global dengan fokus utama pada penggunaan benih hibrida, pupuk kimia dan pestisida kimia yang dihasilkan industri, serta aplikasi mekanisasi pertanian. Revolusi ini mendorong melemahnya bahkan hilangnya pengetahuan perempuan, pergeseran peran gender dalam produksi pangan dan berkontribusi pada berbagai bentuk ketidakadilan gender. Mia, yang juga seorang pengajar di Prodi Kajian Gender, SKSG, Universitas Indonesia ini juga mengungkapkan hubungan erat antara Revolusi Hijau dan mekanisasi pertanian yang maskulin. Perkembangan mekanisasi pertanian dalam konteks sosial tertentu menyebabkan petani miskin dan makin tidak berdaya karena tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan alat produksi pertanian. Revolusi ini memunculkan kelas sosial, yakni petani besar, menengah atau subsisten, petani kecil dengan tanah sempit, dan petani tidak bertanah. Kehadiran beragam alat dan mesin pertanian juga menyebabkan perempuan tergeser dari peran-perannya dalam pertanian karena pada umumnya bekerja dengan alat tradisional. Bahkan dalam konteks tertentu keterlibatan perempuan lebih rendah disebabkan perubahan teknologi yang lebih mengutamakan peran laki-laki. Konsep ketahanan pangan menciptakan implikasi lanjutan berupa berkembangnya rezim korporasi pangan dimana perusahaan besar mendominasi produksi dan perdagangan pangan atas nama efisiensi dan produktivitas. Masalah lain yang muncul ialah ketiadaan kapasitas pemerintah untuk mengintervensi pasar dan hanya menguasai 6-7% yakni beras semata. Kondisi ini disebabkan oleh sistem pangan Indonesia yang berpijak pada konsep ketahanan pangan, sehingga 100% pangan lainnya dikuasai produsen pangan diikuti oleh alih fungsi lahan petani oleh perusahaan pertanian seperti perusahaan yang memegang izin kuasa pertambangan. Pengajar kemudian mengelaborasi konsep tandingan ketahanan pangan yakni kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan merujuk kepada hak untuk menentukan sendiri sistem pangan yang paling sesuai dengan menggunakan pengetahuan dan sumber daya lokal, mengusung pasar lokal, membangun gerakan sosial demokratis, serta terlibat dalam pengambilan kebijakan tentang sistem pangan yang adil, setara, inklusif, dan berkelanjutan. Gerakan-geralan sosial yang bermunculan demi mewujudkan kedaulatan pangan dan peran perempuan dapat dilihat dari gerakan pertanian alami, gerakan agro-ekologi dan gerakan pangan lokal. Di akhir diskusi, Mia menekankan pentingnya beralih kepada konsep kedaulatan pangan sehingga pemerintah berdaulat dalam mengintervensi ketahanan pangan yang berada dalam kekuasaan korporasi serta berfokus mengarahkan kedaulatan pangan sebagai tanggung jawab bersama terutama dalam kelurga sehingga tidak hanya dan selalu dibebankan kepada perempuan. Moderator kemudian menutup diskusi dengan menegaskan bahwa masih banyak tugas untuk membangun kedaulatan pangan dengan memberdayakan aktor-aktor kedaulatan pangan yang didominasi perempuan. Tidak lupa ditekankan bahwa diskusi mengenai isu ini perlu lebih digalakkan di tengah krisis lingkungan dan alih guna lahan yang terus masif dilakukan hingga hari ini. (Lisa Aulia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |