Industri ekstraktif berskala besar, khususnya yang tidak memperhatikan alam, merupakan salah satu kelompok yang berkontribusi dalam kondisi perubahan iklim. Ditandai oleh cuaca ekstrem dan kenaikan permukaan air laut, perubahan iklim dapat memperburuk risiko kekeringan di suatu daerah, hingga mengimplikasikan kerugian dalam banyak aspek, pun kemiskinan bagi banyak orang. Ironisnya, dampak yang ada justru seringkali menimpa kelompok-kelompok rentan, seperti perempuan khususnya perempuan adat dan perdesaan, yang tidak seharusnya bertanggung jawab akan hal tersebut. Perubahan iklim dalam konteks ini bukanlah permasalahan lingkungan semata, tetapi juga isu yang mencerminkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan bagi perempuan. Sebagai hal yang kompleks, isu ini perlu untuk menjadi perhatian bagi semua kalangan. Rabu (31/8), Yayasan Jurnal Perempuan menggandeng Mia Siscawati, Ph.D. dosen Program Studi S2 Kajian Gender, Sekolah Kajian Strategik dan Global, Universitas Indonesia, untuk membedah isu sekaligus membangun ruang diskusi pada kelas KAFFE (Kajian Feminisme dan Filsafat) edisi bulan Agustus yang bertajuk “Feminisme dan Iklim”. Kegiatan yang dilakukan secara dalam jaringan (daring) melalui platform teleconference tersebut dipandu oleh Retno Daru Dewi G.S. Putri selaku redaksi Jurnal Perempuan.
Mia Siscawati membuka kelas KAFFE kali ini dengan mengungkapkan bahwa perubahan iklim merupakan salah satu isu feminis. Baginya, penyebab perubahan iklim ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan ketidakadilan gender. Mia menyoroti industri ekstraktif berskala besar, yang tidak memperhatikan alam, sebagai komponen penting yang mendorong kondisi perubahan iklim. Dampak yang besar dari krisis iklim kemudian dapat mengalami diferensiasi, baik pada perempuan, kelompok rentan, hingga kelompok marginal lainnya. Kerentanan yang disumbangkan dalam konteks ini berbeda satu sama lainnya. Sebagai isu yang kompleks, kondisi perubahan iklim juga memicu ruang pertanyaan terkait posisi dari suara orang-orang yang terdampak, khususnya dalam upaya perumusan kebijakan dan program terkait kondisi tersebut. Dalam hal ini, di mana keberpihakan kebijakan, hingga program-program yang ada? Apakah pada negara maju terdapat pemilik modal yang besar atau pihak lain di balik industri yang tak terungkap? Diskursus terkait kasus ini telah disoroti cukup lama, salah satunya melalui pendekatan ekologi politik feminis. Pendekatan ini dikembangkan pada awal 1990-an oleh Dianne Rocheleau, Barbara Thomas-Syaler, dan Esther Wangari. Ekologi politik feminis sebagai pisau analisis tidak hanya digunakan oleh akademisi, tetapi juga aktivis yang turun ke jalan. Pada awal perkembangannya, pendekatan ekologi politik hanya digunakan dalam mengkaji aspek politik, ekonomi, dan sosial yang menjadi penyebab utama degradasi lingkungan hingga kekayaan alam. Perempuan hingga kaum marginal lainnya dalam ranah ini tidak menjadi perhatian yang utama. Oleh karena itu, para pemikir perempuan mengkonstruksi suatu pendekatan baru, yakni ekologi politik feminis. Melalui pendekatan ini, kerangka berpikir yang terbentuk cenderung menyoroti dimensi gender pada beberapa aspek, seperti pengetahuan, akses dan tata kelola, hingga perjuangan untuk mewujudkan hak atas sumber daya alam. Tidak hanya itu, pendekatan ekologi politik feminis juga menelusuri bagaimana relasi gender, relasi kuasa, dan relasi sosial memengaruhi aspek-aspek tersebut di atas. Pendekatan ekologi politik feminis juga sangat dipengaruhi oleh pisau analisis interseksionalitas yang cenderung memandang konstruksi sosial berdasarkan dimensi sosial lainnya, seperti status ekonomi, ras, etnis, kebangsaan, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Semua aspek-aspek tersebut saling bersinggungan satu dengan lainnya sehingga ketimpangan dan ketidakadilan yang terbentuk bersifat multidimensional. Dalam ekologi politik feminis, interseksionalitas mendorong kita untuk menyadari bahwa semua perempuan memiliki pengalaman, peran, hingga fungsi, dan posisi yang berbeda. Ekologi politik feminis merupakan cerminan dari pendekatan nonesensialis yang tidak memprioritaskan perempuan. Pada pembahasan-pembahasan berikutnya, Mia Siscawati menyoroti konteks isu gender dalam kasus perubahan iklim. Peran dan tugas khusus yang dikonstruksikan oleh sosial kepada perempuan, seperti mengurus tanah, membawa air, hingga mengasuh anak dan suaminya, membuat mereka lebih rentan akan dampak-dampak dari perubahan iklim. Disamping itu, diskriminasi, khususnya pada keterbatasan akses akan sumber daya dan pendidikan, juga menjadi hal yang semakin mendorong kerentanan tersebut. Namun, penting untuk dicatat bahwa semua tidak terjadi begitu saja. Status sosial ekonomi, hingga dimensi lainnya, lagi-lagi menyumbang kesenjangan di tengah-tengah kondisi tersebut. Dengan demikian, terjadilah diferensiasi dampak, misalnya pada perempuan dari kalangan menengah ke atas, dengan perempuan dari kalangan menengah ke bawah. Mia Siscawati kemudian mengajak peserta untuk melihat kembali dan mengambil pelajaran dari contoh-contoh kasus bencana alam di beberapa negara. Dari banyaknya kasus yang ada, korban bencana didominasi oleh perempuan. Sebagai contoh pada kasus banjir di Bangladesh, kesenjangan kematian antara laki-laki dan perempuan cenderung terjadi karena adanya konstruksi sosial dalam masyarakat. Perempuan dalam hal ini sangat diatur dalam berbagai macam konteks; pakaian yang merepotkan ketika menyelamatkan diri, tidak adanya akses untuk belajar berenang, hingga tidak diperbolehkan keluar rumah bahkan menyelamatkan diri tanpa kerabat laki-laki, dan lain sebagainya. Beberapa dari hal tersebut pada akhirnya akan membuat perempuan menjadi lebih rentan. Untuk itu, sangat diperlukan upaya-upaya yang mendorong penanganan bencana sensitif gender. Perhatian yang serius, hingga kepastian akan upaya pembangunan kapasitas dan perlindungan hak atas perempuan, serta kelompok marginal lainnya sangat diperlukan pada ranah ini. Dalam membahas upaya mitigasi dan adaptasi akan perubahan iklim, Mia menekankan bahwa kita tidak boleh luput akan sumber daya, aktor, tata kuasa, hingga tata kelola yang turut mengambil banyak peran. Ekologi politik feminis pada akhirnya mendorong kerangka berpikir yang peka, kritis, dan reflektif, dengan melihat berbagai dimensi sosial sehingga perempuan dan kelompok marginal lainnya tidak terjerumus pada lensa yang abu-abu ketika dihadapkan pada situasi ini. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |