Pada tanggal 13 Juni 2021, Prof. Dr. Toeti Heraty menutup usia di usianya yang ke-87 di Jakarta. Semasa hidupnya, Toeti mengabdikan diri pada berbagai bidang, seperti filsafat, feminisme, HAM, budaya, seni dan sastra. Ia mencita-citakan dan juga mengupayakan ilmu yang bersifat lintas disiplin dan multidisiplin. Mengingat begitu luasnya kiprah Toeti dalam dunia akademisi, aktivisme, sosial dan budaya, Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan sebuah diskusi untuk mengenang Ibu Toeti Heraty. Acara yang bertema Mengenang Toety Herati: Persembahan Murid dan Sahabat ini diisi dengan diskusi, pembacaan puisi, pemutaran Video kenangan Jurnal Perempuan bersama Toeti Heraty karya Lexy Rambadeta, persembahan musik dari Ananda Sukarlan salah seorang sahabat Toeti Heraty, dan testimoni dari beberapa orang murid dan sahabat Toeti Heraty. Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dalam sambutannya menyampaikan rasa duka yang mendalam atas kepulangan Toeti Heraty. Menurut Atnike, Toeti Heraty secara konsisten terus memedulikan dan mendukung Jurnal Perempuan. Melalui kenangan dari para sahabat dan keluarga tentang kiprah dan karya Toeti, Atnike berharap kerja dan karya Toeti Heraty dapat menjadi sumber pengetahuan bagi sahabat, murid, keluarga, dan bangsa Indonesia secara lebih luas. Sebagai perwakilan keluarga, Inda Citraninda Noerhadi, salah seorang putri Toeti Heraty memberikan sambutan. Menurut Inda sosok Toeti sebagai seorang ibu, pemimpin, guru, sahabat dan berbagai peran lainnya tidaklah terganti. Toeti Heraty telah banyak menyentuh kehidupan banyak orang dan kalangan, baik dengan gagasan, kreativitas, kontribusi sosial, dan telah mewariskan banyak pengetahuan. Inda berharap cita-cita dan kerja Toeti dapat diteruskan oleh para murid dan sahabat. Lima narasumber yang hadir dalam acara ini adalah murid-murid dan sahabat-sahabat Toeti di Departemen Filsafat Universitas Indonesia, yaitu: Gadis Arivia - Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, Karlina Supelli - Dosen STF Driyarkara, Embun Kenyowati Ekosiwi - Dosen Filsafat, FIB UI, Akhyar Yusuf Lubis - Dosen Filsafat, Stratejik dan Global UI, dan Rocky Gerung. Dalam pengalamannya bersama Toeti Heraty, Gadis melihat Ibu Toeti sebagai sosok yang utuh dan sempurna, sebab rasa kepedulian dan kiprah Toeti sangat besar. Toeti adalah sosok visioner pada masanya, sebab dia meyakini bahwa ilmu haruslah bersifat inklusif. Tidak hanya dalam soal ilmu, menurut Gadis, Toeti juga tidak membenturkan antara peran akademisi dan aktivisme, malah justru mendorong agar keduanya berjalan beriringan. Menurut Gadis, Toeti meyakini bahwa semua bidang saling terkait dan memiliki peranan dalam membangun bangsa dan kehidupan sosial yang lebih baik. Filosofi tersebut yang menjadi pijakan Toeti untuk mendukung kelahiran berbagai lembaga yang mendukung aktivisme di Indonesia, salah satunya Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Toeti adalah sosok yang bebas, berkesadaran dan otentik. Menurut Gadis tiga hal ini perlu diseimbangkan dan dipraktikkan dalam kehidupan privat dan publik setiap orang. Artinya dalam kehidupan sosial, setiap orang perlu menyeimbangkan aspek rasional dan kepedulian. Menurut Gadis, inilah spirit yang diwariskan Toeti Heraty pada banyak orang. Karlina Supelli, menarasikan Toeti Heraty sebagai sosok yang sangat inklusif, di mana Toeti menganalogikan keragaman di Indonesia sebagai sebuah mozaik. Melalui analogi tersebut Toeti menyiratkan bahwa perbedaan bukanlah suatu yang harus diseragamkan. Justru dari perbedaanlah lahir keindahan. Toeti Heraty secara kritis memeriksa gagasan filosofis Indonesia tentang nilai gotong royong, sopan santun dan spiritualitas. Karlina memaparkan bagaimana Toeti menilai bahwa gotong royong dapat dimaknai menjadi kerja sama yang penuh intrik dalam politik, politik dan aspek lainnya, sopan santun sering kali padat dengan kemunafikan, sementara spiritualitas bisa dibatasi menurut kerangka agama tertentu. Buku “Aku dalam Budaya” karya Toeti, menurut Karlina, merupakan sebuah orientasi filosofis yang dapat dipakai untuk memeriksa gejala budaya dan segala perubahannya. Dalam buku tersebut Toeti mengajarkan bahwa dalam merespons kemelut kebudayaan, seseorang sebagai individu ataupun bagian dari kelompok perlu terus berpikir kritis dan terbuka. Sehingga kemelut dalam kebudayaan, seharusnya tidak direspons dengan upaya menyeragamkan perbedaan melainkan membiarkan segala keragaman tumbuh dan menjalin keunikannya. Hingga di hari terakhirnya, menurut Karlina, Toeti mengabdikan dirinya untuk melahirkan ensiklopedia filsafat nusantara yang mengangkat tentang inklusivitas dan keragaman. Sementara itu Embun Kenyowati melihat Toeti sebagai sosok guru yang memberikan kesempatan pada muridnya untuk terlibat lebih dalam pada bidang-bidang yang diminati oleh muridnya. Menurut Embun, setelah memberikan kesempatan, Toeti memberikan muridnya kebebasan. Toeti adalah guru yang menyadari dan mengakomodasi keunikan setiap mahasiswanya. Toeti membimbing muridnya tanpa memaksakan kehendaknya, artinya, dia membebaskan muridnya untuk mengembangkan dan memilih bidang yang hendak ditekuni kemudian. Berdasarkan pengalaman menjadi murid Ibu Toeti, Embun mengalami sentuhan pribadi, yang banyak memengaruhi proses membangun narasi dirinya. Akhyar Yusuf Lubis menarasikan Toeti sebagai guru yang berpikiran sangat terbuka. Menurut Akhyar, Toeti mendukung dirinya untuk mendalami penelitian disertasi tentang paradigma konstruktivisme, yang pada masa itu masih belum banyak dibicarakan dan bahkan asing dalam diskursus filsafat ilmu di Indonesia. Rocky Gerung melihat bahwa Toeti adalah sosok yang secara filosofis berupaya membatalkan pembusukan pikiran di dunia pendidikan— di universitas. Menurut Rocky, sebagaimana yang dikatakan Toeti, sopan santun sarat dengan kemunafikan yang berbahaya bagi produksi akal pikiran. Hari-hari ini terjadi sebuah ironi, sebab kampus yang seharusnya tempat di mana seseorang diberdayakan untuk membuat kritik malahan dibungkam atas nama kesopansantunan. Menurut Rocky, sopan santun tidak baik untuk pertukaran pikiran. Sopan santun seharusnya hanya dilakukan dalam ranah emosional, kekeluargaan dan atau komunitas kebudayaan, tetapi tidak dalam percakapan pikiran, sebab sopan santun adalah pembatalan argumentasi. Menurut Rocky, Toeti Heraty perlu dikenang dalam upaya memulihkan akal pikiran dan dalam upaya menghidupkan kembali kritisisme dalam dunia akademis. Acara Mengenang Toeti Heraty juga dihadiri oleh para sahabat Toeti Heraty yang berkiprah di bidang lain, seperti Ninuk Mardiana Pambudy – Redaktur Senior KOMPAS, Prof. Musdah Mulia – penulis Ensiklopedia Muslimah Reformis, dan Riris T Sarumpaet – Ketua Program Studi Filsafat Universitas Indonesia. Ragam latar belakang narasumber dan peserta yang hadir dari berbagai wilayah di Indonesia, dalam acara yang diselenggarakan secara daring ini memperlihatkan luasnya kiprah Toeti Heraty selama beliau hidup. (Abby Gina). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |