Partisipasi politik merupakan sebuah fondasi penting dalam tatanan negara demokrasi. Partisipasi ini mensyaratkan keterlibatan berbagai kelompok dalam pengambilan hingga penilaian sebuah keputusan yang berdampak pada kehidupannya. Tanpa partisipasi bermakna dari berbagai kelompok, demokrasi hanya menjadi ajang pemilihan kandidat semata. Sayangnya, kondisi demikian bertahan akibat hambatan-hambatan serta cara pandangan usang yang membuat kelompok-kelompok seperti kaum muda dan perempuan sulit untuk berperan aktif dalam politik, terutama politik formal. Merefleksikan isu di atas, Jurnal Perempuan dan Plan Indonesia bersama dengan Australia Volunteers Progam mempercakapkannya bersama pada sebuah forum diskusi dengan tajuk “Dialog Antar Generasi: Partisipasi Kaum Muda dan Perempuan dalam Politik #EmbraceEquity” pada Rabu, (15/3/2023). Kegiatan yang terselenggara di Auditorium Gedung 1 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) tersebut merupakan kegiatan puncak dari rangkaian kerja sama yang telah dilaksanakan Jurnal Perempuan dan Plan Indonesia, sekaligus peluncuran riset Plan Internasional yang berjudul “State of The World’s Girls 2022”. Dalam mengelaborasi hasil riset lebih lanjut, kegiatan ini menghadirkan lima panelis, tetapi hanya empat di antaranya yang bergabung, yakni Dini Widiastuti, selaku Direktur Eksekutif Plan Indonesia; Tsamara Amany, selaku perwakilan politisi muda perempuan dan pendiri komunitas @temansandar; Ikhaputri Widiantini, selaku Dosen Filsafat FIB UI; dan Zeni Tri Lestari, selaku Unsur Mahasiswa Komite Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Fakultas Sosial dan Politik (FISIP) UI. Berjalannya proses diskusi antarpembicara dan partisipan tersebut dipandu oleh Retno Daru Dewi G. S. Putri, selaku awak redaksi Jurnal Perempuan. Abby Gina Boang Manalu, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, menyebut dalam sambutannya bahwa kegiatan ini juga masih dalam payung perayaan Hari Perempuan Internasional. Ia menyebut tema partisipasi politik dari kaum muda dan perempuan ini penting diangkat karena masih banyaknya tantangan yang dihadapi oleh kaum muda dan perempuan untuk aktif berpolitik: “Struktur yang timpang, norma-norma budaya, restriksi kebijakan, hingga agama masih menjadi hambatan bagi perempuan di dalam dunia politik,” ujarnya. Tsamara Astmany mencontohkan hambatan ini melalui proses pencalonan legislatif perempuan yang seringkali hanya praktik tokenisme dalam dunia politik. “Kuota 30% yang ada tidak semata-mata menguntungkan perempuan, karena hanya untuk memenuhi kuota saja. Soal terpilih atau tidak itu urusan lain,” ujarnya. Pendiri @temansadar ini juga menyampaikan bahwa pesimisme perempuan dan kaum muda dalam politik formal setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, politik formal sangat maskulin dan didominasi praktik dinasti politik. Ia menyampaikan, hal ini sulit bagi kaum muda dan perempuan yang tidak berprivilese untuk menembus gelembung tersebut, karena tidak ada regenerasi. Kedua, partai politik tidak mengakomodasikan strategi dan siasat untuk kandidat perempuan dengan baik. Seringkali yang terjadi kandidat perempuan diletakkan pada nomor urut yang tidak bagus maupun di daerah yang sulit bagi mereka untuk bersaing, karena telah banyak politisi kawakan. Ikhaputri Widianti menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang mengakar dalam hambatan-hambatan bagi kaum muda dan perempuan, yakni budaya patriarkal dan misoginisme. Budaya patriarkal menyuburkan praktik-praktik peminggiran dan stigmatisasi perempuan. Sementara, misoginisme tampak dari banyak masyarakat yang mempermasalahkan keperempuanan seseorang kandidat. “Perempuan kalau muncul sebagai calon pemimpin, tidak ada satupun yang bahas mengenai pemikirannya. Lagi-lagi soal penampilan, lagi-lagi soal masalah domestiknya,” tegas dosen FIB UI yang kerap disapa Upi tersebut.
Hal ini diiyakan oleh Zeni Tri Lestari. Sebagai seorang mahasiswi, ia mengalami sendiri berbagai invalidasi atas kerja dan kepemimpinan perempuan. Pun di level organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), kepemimpinan perempuan masih terganjal berbagai hal klasik. Berdasarkan pengalamannya mencalonkan diri menjadi calon ketua BEM fakultasnya, Zeni sudah menghadapi berbagai penolakan, meskipun ia baru sampai pada tahap pencalonan. Berbagai kesulitan yang dibebankan pada perempuan menghasilkan tingkat partisipasi politik perempuan yang lebih rendah. Kembali mengambil contoh dari keadaan kampusnya, Zeni menuturkan, “Dari 15 ketua BEM fakultas di UI, hanya 3 di antaranya yang merupakan perempuan.” Berseberangan dengan hambatan-hambatan yang ada, Dini Widiastuti menyampaikan bahwa antusiasme perempuan muda terhadap politik justru tinggi. Melalui riset global Plan Internasional terhadap 29 ribu perempuan muda berusia 15-24 tahun di seluruh dunia, Dini menyoroti bahwa 9 dari 10 perempuan muda meyakini bahwa partisipasi pada dunia politik itu penting, hal ini ditunjukkan dengan kerisauan mereka terhadap isu-isu seperti kemiskinan, pendidikan, dan lingkungan. Dini menggarisbawahi bahwa meskipun antusiasme tersebut tinggi, tetapi kaum muda dan perempuan menyangsikan kontestasi politik karena kekurangan teladan politisi dan mengetahui bahwa politisi, yang dominan laki-laki dan berusia tua, enggan untuk mendengar mereka. Meskipun hambatan-hambatan yang ada cukup untuk menyurutkan harapan akan politik inklusif, Ikhaputri Widianti menyebutkan mengenai peran-peran yang bisa dilakukan oleh institusi-institusi, termasuk kampus. Ia menyebut bahwa dorongan untuk menciptakan politik yang inklusif tidak boleh berhenti hanya pada affirmative action, tetapi kita perlu memperhitungkan bagaimana dorongan sangat besar dipengaruhi oleh pendidikan yang diberikan. Instusi seperti kampus seharusnya dapat menyediakan pendidikan politik serta mengakomodir praktik berpolitik melalui pelibatan dalam pengambilan kebijakan kampus. Dengan demikian, tema kegiatan ini bukan hanya sebuah diskusi yang memperlihatkan bahwa politik kita penuh dengan kekurangan. Namun, juga sebagai upaya merefleksi perbedaan cara-cara berpolitik yang dapat mengakomodir kaum muda dan perempuan ke depannya. (Ayom Mratita Purbandani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |