Pada tema pra-konferensi ke-3, International Non-Governmental Organization Forum on Indonesian Development (INFID) membawa tema “Kabar Terbaru Hak Asasi Manusia dari Sektor Bisnis di Indonesia”. Acara dilaksanakan secara dalam jaringan (daring) lewat kanal YouTube INFID dan Zoom pada hari Rabu (13/7) lalu. Melalui tema ini, para hadirin diajak untuk melihat sudah sampai sejauh mana implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga peran negara serta sektor bisnis dalam sektor lingkungan khususnya sektor perhutanan, pertambangan, dan budidaya perikanan di Indonesia. Acara ini dibuka dengan kata sambutan dari Alya Nabiilah Zuhroh selaku Program Officer HAM dan Demokrasi INFID. Terdiri dari empat narasumber, Hajerati (Direktur Kerja sama HAM, Kementerian Hukum dan HAM – Kemenkumham), Tongam Panggabean (Direktur eksektutif Banuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara – BAKUMSU), Abdul Waidi (Senior Program Officer HAM & Demokrasi INFID), dan Ruth Indiah Rahayu (Program Manager Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif – INKRISPENA). Diskusi dimoderatori oleh Masro Delima Silalahi (Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarya Masyarakat dari Tapanuli). Hajerati, Direktur Kerja sama HAM Kemenkumham, menyampaikan komitmen strategi pemerintah dalam implementasi kerangka bisnis dan HAM di Indonesia. Pertama, melanjutkan tugas dari Kementerian Koordinator Bidang Perekenomian, yaitu melakukan fungsi koordinasi dengan pelaku usaha atau kementerian lembaga yang terkait dengan bisnis dan HAM. Kedua, membentuk Gugus Tugas Nasional Bisnis dan HAM (GTN BHAM) dan GT Daerah, bertugas untuk menyusun rancangan Strategi Nasional Bisnis dan HAM (STRANAS BHAM), mengoordinasikan, mengevaluasi, dan melaporkan hasil pelaksanaan STRANAS BHAM kepada Menkumham.
Hajerati juga mengenalkan website PRISMA (Penilaian Risiko Bisnis dan HAM) yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai bisnis dan HAM, yaitu protect (perlindungan), respect (pernghormatan), dan remedy (pemulihan). Terakhir, Hajerati memaparkan tujuan STRANAS BHAM, yaitu sebagai arahan untuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam perlindungan, penghormatan, pemajuan, pemulihan, dan penegakkan HAM di sektor bisnis. Selain itu, meningkatkan pemahaman tentang bisnis dan HAM, meminimalisasi dampak negatif dalam sektor bisnis, dan meningkatkan sinergitas antar program, regulasi, dan/atau kebijakan di tingkat pusat maupun daerah juga terdapat di dalam tujuan STRANAS BHAM. Menurut Tongam Panggabean, selaku direktur BAKUMSU, sektor kehutanan memiliki masalah yang kompleks. Hal ini disebabkan adanya pertambangan, perkebunan, masyarakat adat di hutan, ketidakseimbangan relasi antara negara, perusahaan, dan masyarakat yang cenderung tidak memiliki ruang, juga tempat hutan yang berada di rural area. Komisi Nasional (Komnas) HAM mencatat, dalam pelanggaran HAM di sektor agraria, kepolisian merupakan aktor yang mendominasi, diikuti oleh perusahaan, pemerintah, perorangan, dan kementerian. Masyarakat adat berada dalam posisi yang rentan. Hal ini dikarenakan kedudukannya yang diakui, namun dalam pengaturan dan keberadaannya sangat timpang terhadap pemenuhan hak-haknya. Untuk itu, Tongam menilai setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan, yakni; koreksi menyeluruh terhadap sistem tata kelola kehutanan, reformasi kultural institusi kepolisian melalui prinsip-prinsip HAM, penguatan peran Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), memastikan uji tuntas HAM dan lingkungan bagi keseluruhan rantai pasok, di mana beberapa bank besar di Indonesia mendukung dengan membiayai deforestasi, dan memastikan hak dan kebebasan pembela HAM. Selanjutnya, Ruth selaku Program Manager Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA) menjelaskan bagaimana perusahaan-perusahaan tambang memiliki strategi dalam melakukan penghindaran pemenuhan hak perburuhan. Dari riset yang dilakukan INKRISPENA, ditemukan empat kesenjangan yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan untuk melakukan strategi penghindaran. Kesenjangan tersebut adalah pengalihan wewenang tata kelola dan pengawasan dari pemerintahan daerah atau kota ke pemerintahan provinsi yang menyebabkan lempar-lemparan tanggung jawab, rasio inspektur pengawas dan perusahaan tambang yang tidak ideal, inspektur yang tidak melaksanakan perannya untuk mengawasi dan melindungi buruh. Selain itu, pelanggaran di daerah tambang tidak dapat diselesaikan secara tripartite (pemerintah, perusahaan, dan buruh), melainkan bipartite (perusahaan dan buruh) sehingga perusahaan dapat melakukan pelanggaran lain yang tidak terlihat. Untuk strategi perusahaan sendiri, dilakukan dengan memanfaatkan kewenangan di tingkat pemerintahan provinsi, perusahaan yang menentukan upah, waktu kerja, dan lembur untuk buruh. Strategi berikut untuk memperbaiki sikap perusahaan yang tidak mau memberikan ganti rugi kecelakaan yang bersifat jangka panjang atau rawat jalan, memanipulasi cuti haid dengan uang lembur, melakukan pemberhentian kerja setelah masa kontrak buruh selesai, dan perusahaan bersembunyi di dalam kebijakan ganda dan rantai pasok. Narasumber terakhir, Abdul Waidi, selaku Senior Program Officer HAM & Demokrasi INFID memaparkan hasil riset INFID tentang dukungan dan pemangku kepentingan terhadap sektor budi daya udang. Terlepas dari potensi ekonomi tinggi, tambak udang masih memiliki beberapa masalah. Perempuan memiliki banyak beban karena pekerjaannya yang harus mengurus tambak sekaligus anak, mencari pinjaman, dan juga pekerjaan untuk penghasilan tambahan. Tambak udang juga memiliki beban limbah yang terbuang ke lingkungan perairan serta potensi kerusakan ekosistem karena bencana sehingga lahan tambak berkurang. Kemudian masih terdapat rencana dari Kementerian dan Kelautan Perikanan yang ingin membuat shrimp estate yang mana membutuhkan 11,000 hektar lahan. Terkait dengan penegakan HAM dalam bisnis, undang-undang (UU) kebanyakan hanya mengatur teknis budi daya, bukannya menyentuh aspek HAM, gender, dan lingkungan. Selain itu, perlindungan terhadap kelompok rentan (petambak, perempuan, dan anak buah kapal), buruh, serta lingkungan masih lemah. Diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan khusus yang menguntungkan petambak dengan memasukkan indikator HAM dan gender dalam sertifikasi produk. Adanya dorongan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sipil juga dibutuhkan untuk tidak mengonsumsi udang yang dihasilkan bisnis yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan dan HAM. Akhir kata, meski pembahasan lebih menitikberatkan kepada perusahaan sebagai pelanggar HAM dalam sektor bisnis, negara tetap harus memiliki andil untuk mewujudkan bisnis dan HAM. Sekiranya, organisasi rakyat, pemerintah, dan perusahaan dapat saling bekerja sama untuk mengimplementasikan HAM dalam berbagai macam sektor bisnis; tidak hanya perhutanan, pertambangan, dan perikanan. (Bianca Swasono) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |