Senin (04/06), kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) seri “Feminisme dan Agama” pertemuan ketiga diselenggarakan di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Kelas ketiga diampu oleh Ikhaputri Widiantini, M.Si, dosen di Departemen Filsafat Universitas Indonesia. Ikhaputri dalam kesempatan tersebut membahas tentang analisis semiotik feminis di dalam mantra dan ayat. Pembahasan ini menjadi penting dalam upaya membincangkan spiritualitas perempuan yang selama ini tersisihkan dalam teks, interpretasi dan praktik keagamaan, karena agama dinarasikan dalam ruang simbolik. Menurut Ikhaputri pengalaman perempuan dapat dimunculkan dengan mengangkat unsur semiotik. Ikhaputri dalam penjelasannya meletakkan pokok persoalan pada problem bahasa. Ia mengawali perkuliahan dengan menjelaskan tentang pemikiran tiga gelombang feminisme. Dalam feminisme, generasi pertama hadir dengan tuntutan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki. Generasi kedua feminisme berfokus pada pengalaman perempuan, sedang generasi ketiga mengakui dan merayakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Ikhaputri pemikiran feminis generasi pertama dan kedua masih mengadopsi pola biner. Artinya dua generasi awal feminisme ini masih terjebak pola universalisasi pengetahuan (terutama pada labelisasi identitas). Corak pemikiran ini terjadi karena konteks sosial masyarakat pada waktu itu, di mana logika biner menjadi pemikiran arus utama, sehingga pola pikir yang sama juga masih diadopsi oleh pemikiran feminisme pada era tersebut. Ikhaputri melihat persoalan gender pada aspek bahasa. Menurut Ikhaputri sistem patriarkal memperkuat akar diskriminatifnya melalui bahasa yaitu lewat penekanan dan batasan pembentukan bahasa itu sendiri. Bahasa dalam tataran Simbolik telah memberikan makna singular sehingga menutup kemungkinan bagi perempuan untuk masuk dengan pemaknaan berbeda dalam proses pemaknaan masyarakat. Ikhaputri mengacu pada pemikiran Lacan yang menyatakan bahwa bahasa simbolik memegang peran penting dalam pembentukan individu sebagai subjek yang stabil. Dalam pemikiran Lacan, bahasa simbolik yang mengarah pada bahasa ayah (language of the father) adalah bahasa yang berlaku dalam pembentukan identitas subjek dan bahasa simbolik inilah yang membagi masyarakat ke dalam ruang publik dan ruang privat. Internalisasi language of the father masuk ke dalam tataran keyakinan dan bertransformasi menjadi “yang sakral” sehingga ideologi patriarkal yang bersarang di dalam bahasa terinternalisasi dalam pola pikir dan termanifestasi dalam tindak sosial. Sakralisasi terhadap ayat pada akhirnya berdampak pada cara berpikir dan bersikap masyarakat, sebab ayat-ayat dalam teks agama mewarisi sejumlah kode moral yang dijadikan acuan hidup bersama. Artinya bila terdapat sejumlah gagasan dalam agama-agama semit yang mendiskreditkan perempuan, maka pandangan tersebut akan memengaruhi bagaimana perempuan dimaknai dan diperlakukan di dalam masyarakat. Untuk menunjukkan sejumlah arogansi maskulin dibenarkan lewat sakralisasi ayat, Ikhaputri memaparkan sejumlah ayat dalam teks-teks agama yang memosisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki di dalam keluarga/pernikahan, mendeskripsikan perempuan sebagai sekadar pelengkap, dan memberi penekanan bahwa identitas laki-laki adalah representasi identitas pemimpin. Menurut Ikhaputri, dalam mempersoalkan agama penting bagi kita untuk menghadirkan konsep dekonstruksi bahasa, sebab dengan konsep tersebut kita dapat tiba pada pemaknaan agama yang mengakomodasi gagasan kesetaraan. Ikhaputri menggarisbawahi bahwa interpretasi agama sebetulnya adalah interpretasi budaya. Artinya ada konteks sosial dan budaya tertentu yang melatarbelakangi suatu teks atau ayat sehingga kita tidak bisa serta-merta menerima pemahaman agama secara tekstual melainkan perlu dilakukan analisis konteks sejarah budaya. Penting bagi kita untuk memeriksa dan mengkritisi teks-teks agama, karena menurut Ikhaputri ayat-ayat agama telah membaur dengan sejarah budaya masyarakat patriark semit sehingga pemaknaan atas teks harus diperiksa. Artinya kita tidak dapat begitu saja menerima sebuah pemaknaan sebagai kebenaran tunggal. Ikhaputri menyatakan bahwa, “Ruang agama justru seharusnya memberikan ruang untuk logika, membuka ruang dialogis dan ruang interpretasi.” Dalam perkuliahan tersebut muncul sejumlah respons dari para peserta tentang sejauh apa individu bisa melakukan perubahan terhadap interpretasi dan praktik keagamaan yang bersifat diskriminatif. Ada kecemasan bahwa gagasan dialogis dalam agama adalah sebuah utopia belaka sebab melawan dogma bukanlah perkara mudah bahkan tampak hampir mustahil. Ikhaputri menjelaskan bahwa kritik selalu membawa perubahan, meskipun kadang membutuhkan proses yang panjang dan sulit. Menurut Ikhaputri sejarah telah menunjukkan bahwa telah terjadi sejumlah transformasi dalam pemahaman dan praktik keagamaan, artinya keterlibatan kita sekecil apapun dalam mendorong perubahan menuju masyarakat yang setara akan berdampak nyata. Hal ini terbukti dari sejumlah perubahan dalam interpretasi dan tata cara peribadatan yang telah mengalami transformasi dari abad ke abad. Ikhaputri menyetujui bahwa perjuangan untuk menerapkan gagasan kesetaraan dalam agama bukan tantangan yang mudah sehingga dibutuhkan solidaritas dalam mendorong transformasi masyarakat ke arah yang lebih humanis dan setara. Ikhaputri menambahkan bahwa solidaritas hanya dapat diwujudkan dengan adanya kesadaran dan tindakan yang berlandaskan etika kepedulian. Artinya setiap kita harus mau memberi ruang dialog dan terbuka terhadap pengalaman yang berbeda. Di akhir perkuliahan KAFFE pertemuan ketiga tersebut, Ikhaputri menyatakan bahwa, “Feminisme tidak pernah bertentangan dengan agama manapun. Feminisme selalu bertentangan dengan budaya patriarki. Tradisi patriarki yang ada di dalam agama itulah yang menjadi musuh feminisme.” Dengan demikian menjalankan feminisme dan agama di saat yang bersamaan adalah hal yang memungkinkan. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |