“Dalam analisis wacana kritis, kita harus menyadari bahwa ada problem bahasa, mengutip dari Mikhail Bakhtin bahwa ada probelm heteroglossia, multilanguagedness, seringkali kita menganggap dalam berbahasa hanya menggunakan satu bahasa, padahal sebenarnya tidak”, ungkap Ikhaputri Widiantini dalam kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan pada Jumat (21/04/2017) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Ikhaputri menjadi salah satu pembicara dalam Kaffe seri Analisis Wacana Kritis yang telah memasuki pertemuan keempat—yang merupakan pertemuan akhir kuliah Kaffe seri ini. Dalam pertemuan keempat ini, topik yang dibahas adalah Analisis Wacana Kritis dan Feminisme. Ikhaputri yang merupakan dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya menjelaskan bahwa dalam mempelajari analisis wacana kritis penting untuk tahu bahwa ada persoalan yang mendasar yaitu pada bahasa, maka pada kuliah Kaffe ini Ikhaputri mendekati persoalan bahasa dalam analisis wacana kritis dengan pemikiran Julia kristeva tentang semiotika. Ikhaputri menjelaskan bahwa tidak semua problem gender itu berbicara khusus tentang problem feminisme, sebaliknya ketika berbicara problem feminisme memang akan ada isu gendernya tapi bisa jadi kita tidak melulu membahas isu gender tersebut, bisa saja isu gender tersebut dijadikan sebuah diskursus, sebuah teori besar. Maka pada proses itu kerap kali ada kebingungan untuk mempraktikan teori besar atau menurunkannya pada tataran praktis yaitu bahasa. Menurut Ikhaputri analisis wacana kritis ini dapat digunakan untuk memindahkan apa yang ada dalam teori ke wilayah praktis—yang bukan hanya pengalaman tapi juga pemahaman. “Dalam analisis wacana kritis pengalaman tidak cukup kuat untuk dijadikan alat analisis, melainkan harus adanya pemahaman juga. Misalnya pengalaman kekerasan seksual harus bisa dijadikan practice untuk memahami kekerasan seksual itu sendiri, ini poin penting penggunaan bahasa dalam analisis wacana kritis”, tutur Ikhaputri. Lebih jauh dosen Filsafat UI sekaligus pendiri Komunitas Ungu ini menjelaskan bahwa analisis wacana kritis feminisme digunakan untuk membongkar logika yang salah dalam masyarakat—logika patriarkal, yang kemudian melanggengkan mitos dan stereotipe gender melalui bahasa. Ikhaputri melanjutkan bahwa analisis wacana kritis feminisme berfokus pada transformasi sosial dan keadilan gender dengan membongkar problem gender dalam bahasa. “Berangkat dari analisa Mikhail Bakhtin, ternyata kita mempunyai multi makna dalam pembahasaan, sementara di wilayah bahasa yang patriarkal ada kecenderungan untuk menghilangkan multi makna tersebut”, tutur Ikhaputri. Ashley Graham seorang model yang biasanya dijuluki big size model/plus size model, yang kemudian menolak julukan tersebut dan mengungkapkan bahwa ingin disebut my size model, merupakan contoh yang diberikan Ikhaputri tentang bagaimana bahasa digunakan atau dimainkan dalam tataran praktis. Ikhaputri menjelaskan bahwa bahasa kerap kali dianggap hal kecil namun bisa jadi secara tidak sadar kita menggunakan bahasa yang diskriminatif dan tidak memberdayakan dalam kehidupan sehari-hari. Ikhaputri menjelaskan bahwa pada mulanya bahasa sebagai alat tidaklah bergender, namun ketika bahasa itu masuk dalam dunia maskulin dan misoginis, pada akhirnya bahasa berjenis kelamin. Pada beberapa bahasa kita dapat menemukan klasifikasi gender, misalnya bahasa Perancis, Spanyol, Rusia, Jerman. Mengutip Luce Irigaray, Ikhaputri menuturkan bahwa bahasa yang netral gender adalah bahasa yang paling berbahaya karena diam-diam menyimpan bias gender, contohnya adalah bahasa Indonesia. Misalnya banyak ungkapan yang bias seperti “wah dapet cewek baru, mau test drive dulu ya”, padahal menurut Ikhaputri konsep ‘test drive’ atau ‘mobil’ itu sendiri tidak ada jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan, namun karena bahasa tersebut netral gender, maka kerap kali bahasa lebih bias. Ikhaputri menjelaskan bahwa menurut Julia Kristeva perempuan sulit masuk dalam ruang publik karena ada problem bahasa. Perbedaan pengalaman antara perempuan dan laki-laki membuat perempuan tidak memiliki jembatan antara bahasanya, perempuan kerap kali tidak bisa menurunkan pengalamannya ke dalam wilayah practice/wilayah bahasa. Dalam bahasa semiotik karena tidak ada tanda per tanda maka tidak ada pembakuan, hal ini sejalan dengan apa yang disebut Bakhtin multilanguagedness, metafora setiap teks pasti memiliki multi makna. Bahasa dalam tataran simbolik memberikan makna singular sehingga menutup kemungkinan bagi perempuan untuk masuk dengan pemaknaan berbeda dalam proses pemaknaan masyarakat (publik). Norma, bahasa, pengetahuan masyarakat yang berada di ruang publik, membuat identitas perempuan tidak stabil dan terasing dari dirinya sendiri, ini yang disebut Kristeva sebagai chora—jarak sebelum masuk ke ruang publik. “Begitu banyak bahasa dan tanda yang ingin disampaikan oleh perempuan, tetapi tidak mungkin disampaikan karena norma simbolik belum membuat persetujuan dalam ruang publik”, tutur Ikhaputri. Lebih jauh Ikhaputri menjelaskan tentang semiotik chora dan penandaanya yaitu bahwa chora feminin perlu memberikan tanda, meninggalkan jejak sehingga bahasa yang beredar dalam ruang simbolik tahu dan memiliki referensinya. Bahasa simbolik adalah bahasa yang referensial sehingga chora feminin perlu meninggalkan jejak agar dapat ditarik sebagai penandaan dalam ruang simbolik. Contohnya adalah ketika perempuan marah kemudian dikaitkan dengan menstruasi, padahal tidak ada kaitannya kemarahan dengan siklus menstruasi perempuan, karena sesungguhnya pengalaman menstruasi tiap perempuan berbeda-beda dan hal ini gagal dipahami dalam ruang simbolik. Hal lainnya adalah ketika perempuan menstruasi, ia kerap kali menggunakan kata ‘dapet’ atau ‘M’, perempuan enggan menggunakan kata ‘menstruasi’ untuk merepresentasikan apa yang terjadi terhadapnya. Hal-hal seperti itu yang menurut Ikhaputri gagal dipahami dalam ruang simbolik. Keterputusan ruang semiotika dan publik pada akhirnya bukan hanya menjadi persoalan perempuan, karena sesungguhnya laki-laki juga kehilangan penandaannya demi diterima di ruang simbolik. Mantra menjadi salah satu contoh bahasa simbolik yang bekerja dalam ruang publik. Ikhaputri menuturkan bahwa dalam mantra subjek terlibat dalam bahasa dan hal ini bisa membuat hubungan yang erat antara bahasa dengan subjeknya sehingga terhindar dari keterasingan identitas simbolik. Hal ini tidak terjadi pada teks Undang-Undang atau kebijakan publik, yang sesungguhnya tidak melibatkan subjek di dalamnya—khususnya perempuan. Begitu juga pada interpretasi teks kitab suci yang kerap kali bias gender, menurut Ikhaputri penandaan dalam setiap ayat di kitab suci terletak pada kesejarahaanya, sehingga penting melihat asal usul turunnya ayat tersebut agar dapat menghadirkan keadilan gender. “Semiotika bisa menjadi salah satu pisau analisis wacana kritis feminisme”, ungkapnya. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |