Isu kekerasan seksual (KS) yang terjadi di lembaga keagamaan sedang marak terjadi. Pada akhir tahun 2021, sebanyak 12 santriwati di Bandung diperkosa oleh guru mereka. Setahun sebelumnya, kekerasan seksual terjadi di sebuah gereja Katolik di Depok dan merugikan 21 korban di bawah umur. Menanggapi isu tersebut, Let’s Talk About SEX and SEXUALITIES (LetSSTalk) mengadakan diskusi dengan perwakilan dari tokoh-tokoh agama Katolik sebagai salah satu institusi yang disorot perihal KS. Talkshow yang diselenggarakan pada Jumat (09/09/2022) lalu ini bertajuk “Gereja Katolik dan Kekerasan Seksual: Memahami Persoalan, Memikirkan Perubahan”. Sebanyak lima orang narasumber dihadirkan untuk merespons isu kekerasan seksual di gereja Katolik; Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ (Cendekiawan Katolik), Dra. Agustina Prasetyo Murniati, MA. (Teolog Feminis Katolik; Penulis "Getar Gender" dan "Konseling Feminis"), Justina Rostiawati, M.Hum. (Ketua Presidium Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik Republik Indonesia – DPP WKRI), Triasri Wiandani, SE., SH. (Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan – Komnas Perempuan, 2020-2024), Suster Lusiana RGS (Pendamping Korban Susteran Gembala Baik), dan Pater Charles Beraf, MS. (Detukeli Research Centre, Nusa Tenggara Timur).
Sebelum diskusi sesi pertama dimulai, Diah Irawaty (Aktivis LetSS Talk) menyampaikan bahwa proses diskusi persiapan acara ini yang sudah berlangsung selama dua bulan. Ia merasa percaya diri bahwa talkshow kali ini sudah dipersiapkan dengan sangat baik. Acara kemudian diambil alih oleh moderator, Lorentius Yustianus Dedi Kristanto (Yayasan Sesawi dan Kawal Gereja). Dedi menyampaikan bahwa jalannya diskusi akan mengacu pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan oleh tim LetSS Talk. Ia kemudian menekankan tujuan dari diskusi yang sedang berlangsung; mendorong hasil yang konstruktif dan positif serta mendobrak pengacuhan isu KS yang selama ini melibatkan gereja Katolik. Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Suster Lusiana RGS. Selama proses dampingannya, Suster Lusiana menemukan variasi dari demografi penyintas KS. Akan tetapi, dominasi dari mereka yang menjadi korban adalah perempuan dewasa dan anak-anak. Suster Lusiana juga menemukan bentuk-bentuk KS yang beragam, seperti relasi seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan verbal, sentuhan, jamahan, serta Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang secara spesifik meliputi paksaan meminta foto bugil korban. Paparan dilanjutkan dengan proses terjadinya KS. Menurut Suster Lusiana, proses biasanya diawali dengan manipulasi, membangun kepercayaan, hingga akhirnya membuat calon korban tergantung pada pelaku. Pelaku sendiri berasal dari kalangan gereja dengan demografi bapak-bapak, tokoh relijius, lajang, maupun yang sudah berkeluarga dan mengkhianati pernikahannya. Kasus-kasus KS yang terjadi biasanya membuat korban merasa terpuruk, tidak berharga, dan tidak berdaya. Sikap yang diambil Paus Fransiskus dalam menyikapi kasus-kasus KS di dalam gereja Katolik menjadi paparan yang dikemukakan narasumber berikutnya, Pater Charles Beraf. Walaupun tidak terlalu spesifik dalam mendefinisikan KS dan jenis-jenisnya, Vos Estis Lux Mundi merupakan sebuah awal yang baik dari gereja Katolik dalam menindak maraknya kasus KS. Di tempat Charles beribadah dan berkhotbah sendiri, sudah terdapat buku panduan yang memaparkan tiga delik KS; jenis-jenis kekerasan, otoritas yang berwenang, dan korban yang berasal dari kelompok rentan seperti anak-anak. Untuk jenis-jenis KS yang disebutkan dalam delik tersebut adalah produksi benda atau materi KS, eksebisi, distribusi benda atau materi KS melalui media elektronik, sexting, dan grooming. KS juga didefinisikan sebagai eksploitasi seksual untuk kenikmatan seksual orang dewasa berupa kontak fisik maupun non-fisik. Prater Charles menutup dengan kesimpulan bahwa Vos Estis Lux Mundi sudah bisa dianggap sebagai keputusan yang progresif dari gereja Katolik oleh Paus Fransiskus. Tanggapan berikutnya pada sesi pertama diskusi dipaparkan oleh Romo Franz Magnis-Suseno. Menurutnya, kita tidak bisa hanya berhenti pada pertobatan hati saja. Dalam menanggapi KS, pertobatan tindakan di gereja juga harus dilakukan. Hal ini disebabkan adanya potensi perlindungan yang dilakukan oleh gereja Katolik terhadap pelaku KS. Romo Magnis-Suseno juga memberikan contoh-contoh kasus KS yang terjadi di Jerman dan Prancis. Sayangnya, gereja Katolik di Indonesia baru sadar dan memperhatikan KS yang terjadi di dalamnya. Dalam merespons, gereja seringkali melindungi diri dengan menutup-nutupi adanya pelanggaran tersebut. Kemudian pelaku hanya ditegur dan dipindahtugaskan saja. Oleh karena itu, idealnya gereja Katolik harus lebih kuat dan tegas dalam merespons KS. Agustina Prasetyo Murniati, biasa dipanggil Nunuk, berbagi pengalamannya dalam merespons KS di gereja Katolik. Menurutnya, setiap kasus KS harus dipandang secara utuh. Hal ini dikarenakan kompleksnya permasalahan KS. Sebagai contoh, dalam pendampingan saja harus diperhatikan kebutuhan setiap korban; anak-anak, dewasa, dan dewasa rentan. Mereka tidak bisa didampingi dengan metode yang sama. Proses kesadaran akan keadilan gender juga diperlukan. Menurut Nunuk, wawasan akan gender mampu menganalisis lapisan penindasan yang kemudian mengarah kepada KS terutama di tengah-tengah pemikiran misoginis yang terdapat di dalam masyarakat. Pembicara berikutnya, Justina Rostiawati, menekankan pentingnya tanggapan protokol penanganan kasus KS yang terjadi pada perempuan dan anak-anak di gereja Katolik. Perjuangan penerapan penanganan kasus KS yang baik pada kongregasi juga tidak berjalan semulus yang diharapkan. Justina juga sepakat bahwa biasanya setelah kasus KS terkuak, maka pelaku dipindahkan agar citra gereja yang suci masih bisa dipertahankan. Sedangkan pengalaman dan pemulihan korban tidak diindahkan. Menurut sejarahnya, Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), yang menjadi tempat Justina bernaung, memiliki perhatian pada buruh rokok di tahun 1920-an. WKRI mendirikan sekolah pendidikan putri sebagai pencegahan KS melalui edukasi. Kini, ada Rumah Kita sebagai tempat bernaung dan rumah aman untuk korban KDRT. Justina juga menekankan bahwa WKRI selalu mengutamakan fokus kepedulian mereka terhadap korban. Sesi pertama diakhiri oleh paparan dari Triasri Wiandani. Menurutnya, Komnas Perempuan menerima laporan KS yang meningkat sebanyak lebih dari 2000 kasus di berbagai sektor. Dalam laporan-laporan tersebut, terdapat upaya-upaya penutupan dan pencegahan penyaluran hak korban. Maka, Komnas Perempuan mendorong adanya regulasi, program, pedoman, atau panduan yang dapat melindungi korban di dalam institusi-institusi keagamaan. Implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga sangat disarankan. Karena UU TPKS mengutamakan hak asasi dan kepentingan korban. Selain itu, harus dipastikan bahwa ruang-ruang institusi keagamaan kembali menjadi ruang aman untuk beribadah dan percepatan pemulihan korban untuk selalu diutamakan. Sesi kedua dipantik oleh moderator dengan permasalahan umat Katolik yang hanya diam, cuek, dan enggan mengungkit kasus KS. Hal ini diperburuk dengan terlibatnya imam, klerus, dan korban perempuan. Selain itu, terdapat pertanyaan mengenai bagaimana membentuk pendidikan seminari yang seharusnya kuat dalam aspek moral dan kesucian, tetapi kini seolah-olah melanggengkan adanya KS. Nunuk menimpali dengan menekankan adanya ketimpangan relasi yang dilakukan oleh para pejabat gereja. Sehingga para korban, yang sudah pasti inferior, tidak berani mengungkap para superior yang merupakan predator seksual di gereja. Keengganan mengungkap aib juga dialami oleh korban. Sayangnya gereja turut menunjukkan sikap yang serupa dan malah melindungi pelaku. Nunuk mengatakan bahwa ketimpangan relasi ini terjadi dari tingkatan yang paling rendah hingga paroki yang dianggap raja di dalam gereja. Sindrom penyalahgunaan kekuasaan inilah yang kemudian menyulitkan penindakan kasus KS yang terjadi di dalam gereja Katolik. Romo Magnis-Suseno kemudian menimpali dengan pentingnya membela korban perempuan. Selama ini kasus KS yang seringkali terkuak dan dapat ditangani adalah yang melibatkan orientasi seksual ke sesama laki-laki atau homoseksual. Namun penting bagi gereja untuk berhenti bersikap malu, diam saja, dan malah menyalahkan korban. Sedangkan untuk proses seminari yang menjadi tahapan penting dalam perjalanan menjadi Yesuit tidak bisa digeneralisasi begitu saja. Menurut Romo Magnis-Suseno, kesiapan mental para calon imam selama mengikuti seminari merupakan hal yang harus dipastikan dengan serius. Jangan sampai penindakan selalu terjadi karena sudah terjadi pelanggaran KS di dalam gereja. Pater Charles menambahkan bahwa kondisi penyalahgunaan kekuasaan diperburuk dengan relasi asimetrik gereja; bapak-anak, pastur-umat yang menyebabkan umat sungkan untuk menyampaikan traumanya. Akan tetapi harapan tetap ada. Terdapat kongregasi yang progresif dalam menangani KS di gereja. Selain itu, upaya dalam memberi kesadaran bahwa KS adalah kejahatan tetap haris selalu dilakukan. Opini ini ditambahkan oleh Suster Lusiana yang menekankan bahwa pelaku harus dihukum. Hukuman tidak dapat dilakukan dengan menikahkan korban dan pelaku. Selain itu sikap menyalahkan korban perempuan yang kerap terjadi juga harus dihentikan. Berikutnya, moderator melemparkan pertanyaan mengenai jaminan yang mampu diberikan oleh UU TPKS dalam menghentikan kekerasan seksual. Triasri merespons dengan menyatakan UU TPKS tentu tidak dapat sepenuhnya menghentikan pelaku melakukan KS terhadap korban. Namun peraturan tersebut menjamin penanganan dan pendampingan korban. Maka UU TPKS harus disosialisasikan seluas-luasnya. Justina lalu menambahkan bahwa gereja tidak boleh meremehkan jumlah kasus KS yang dianggap sedikit. Setiap pelanggaran harus ditindak dengan baik sehingga korban mendapatkan haknya untuk dibela. Pemikiran tersebut serupa dengan Nunuk yang melengkapi bahwa sikap misoginis dalam menyalahkan perempuan juga harus dihentikan dan dibongkar dengan transformasi. Tidak hanya janji semata yang kemudian merugikan korban. Perempuan juga harus mengetahui bahwa mereka tidak sendirian. Dekonstruksi stigma sosial yang mereka alami juga harus dilakukan. Agar korban mampu bangkit dan speak up dalam memberantas kekerasan seksual di dalam gereja Katolik. (Retno Daru Dewi G. S. Putri). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |