Pada 8 Maret 1975, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) meresmikan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional (HPI). HPI diperingati dalam rangka mendorong kesetaraan dan emansipasi perempuan. Peringatan tahunan ini dirayakan dengan tema yang berbeda-beda tiap tahunnya. Tahun 2022 ini, HPI membawa tema “Gender equality today for a sustainable tomorrow” oleh United Nation (UN) Women dengan tagar #BreakTheBias oleh gerakan International Women’s Day sebagai slogan. Dengan tema tersebut, diharapkan tahun 2022 menjadi titik penting untuk meraih kesetaraan gender dalam konteks perubahan iklim, lingkungan, dan pencegahan risiko bencana yang menjadi tantangan global terbesar pada abad ke-21. Guna merayakan HPI, Women’s March Indramayu menyelenggarakan Instagram Live bertajuk “Makna di Balik Tagar #BreakTheBias” pada Kamis (17/03/2022) silam. Acara ini mengundang Retno Daru Dewi G. S. Putri (Redaksi Jurnal Perempuan dan anggota Puan Menulis) yang akrab disapa dengan Daru sebagai narasumber, dipandu oleh Tiana Jeanita (Koordinator Women’s March Indramayu 2019) sebagai pemantik.
Sebagai pembuka, Daru menjelaskan semangat HPI 2022, yaitu merayakan prestasi perempuan, meningkatkan kesadaran untuk melawan bias, dan mengambil tindakan untuk mewujudkan kesetaraan. Daru menjelaskan, ketiga poin tersebut dapat diterapkan secara mikro dan makro dalam kehidupan sehari-hari kita. Salah satu contoh tindakan tersebut adalah dengan mempraktikkan tindakan afirmatif terhadap perempuan, dimana kita dapat menggali tantangan apa yang menyulitkan posisi perempuan untuk memahami kesulitan tersebut. Perempuan kerap disulitkan dengan pilihan-pilihan hidupnya, seperti perempuan pekerja yang sering kali terpaksa memilih pekerjaannya atau menjaga anaknya. Pada situasi tersebut, salah satu tindakan afirmatif yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan menyediakan daycare (penitipan) anak bagi karyawan perempuan. Selain daycare, keberadaan ruang menyusui atau nursing room—yang dapat disebut dengan ‘ruang keluarga’ juga—seharusnya terdapat di banyak fasilitas publik. Sayangnya, tidak semua tempat memiliki daycare maupun nursing room. Mengenai makna slogan #BreakTheBias, Daru menerjemahkannya sebagai upaya mendobrak bias di sekeliling kita. Bias-bias tersebut berbentuk stereotip gender yang sudah terlalu melekat pada identitas perempuan. #BreakTheBias mengajak seluruh masyarakat untuk tidak lagi memberikan ruang pada citra negatif yang mengecilkan peran atau identitas perempuan dengan cara mengedukasi lingkaran terdekat kita. “Kita bisa mengedukasi diri sebelum mengedukasi orang lain juga. Kita mesti paham betul antara kita dan perempuan lain belum tentu ada pada kondisi yang sama,” jelas Daru. Perihal edukasi, Tiana turut membagikan pengalamannya. Ia banyak mendengar edukasi kesetaraan gender dianggap sebagai guyonan semata oleh komunitas yang sejatinya sudah pernah belajar memahami konsep gender. Contohnya, pendapat bahwa kesetaraan gender dibuktikan dari kesanggupan perempuan dalam mengangkat galon air—sebuah peran yang tadinya dikhususkan pada laki-laki sebagai pihak yang lebih kuat. Mengenai hal tersebut, Daru mengatakan, adanya guyonan seperti itu di suatu komunitas menandakan komunitas tersebut tidak memahami konsep gender seutuhnya. Gender tidak dapat disamakan dengan keadaan fisik orang, sehingga kuat-tidaknya seorang perempuan mengangkat galon air minum tak bisa dijadikan parameter kesetaraan. Oleh karena itu, kita harus berani menegur perilaku ‘beracun’ tersebut. Melanjutkan diskusi, Tiana menyinggung sulitnya perempuan untuk eksis di ruang publik. Bahkan hanya sebatas berjalan di luar rumah saja, banyak perempuan menerima tindakan kekerasan berbentuk catcalling (siulan atau panggilan bernada seksual yang bertujuan untuk merendahkan seseorang). Masyarakat yang patriarki akan menyarankan perempuan agar memakai pakaian tertutup untuk menghindari kekerasan seksual tersebut. Terdapat bias dalam perilaku ini; menyalahkan tampilan perempuan alih-alih menyalahkan perilaku berbahaya laki-laki. Daru mengingatkan pentingnya empati dalam melihat masalah penindasan gender. Dalam feminisme, empati menjadi dasar pergerakan dan perlawanan. Dengan empati, kita dapat memahami kondisi perempuan lain yang terjebak dalam penindasan. Ia menambahkan, dengan empati pula kita bisa membela orang dari kelompok marjinal lainnya, baik yang mengalami penindasan gender maupun penindasan lainnya. Pengalaman ketika mendapat diskriminasi yang sama menumbuhkan empati pada diri kita, sehingga kita dapat bersolidaritas. Sebagai penutup, Daru berpesan pada seluruh perempuan untuk terus berjuang melawan penindasan dan bias. Perjuangan penghapusan bias gender tidak akan berhenti sampai khalayak ramai berhenti memberikan komentar yang bias pada perempuan. Selain itu, Daru juga berpesan untuk terus optimis akan langkah-langkah kita. Meskipun langkah yang kita lakukan adalah langkah-langkah yang terlihat kecil dan sepele, tetapi itu artinya kita selalu melangkah ke depan. “Perjuangan kita punya label baru, yg mengingatkan bahwa salah satu masalahnya adalah rasa bias yang ada di sekeliling kita atau ada di diri kita sendiri,” tukas Daru. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |