Perempuan di seluruh dunia merayakan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) pada tanggal 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya. Perayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran soal tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Dalam beberapa tahun belakangan, peringatan 16 HAKTP di Indonesia didominasi oleh kampanye anti kekerasan seksual dan rape culture, sebab praktiknya masih sangat tinggi. Menanggapi hal ini, mahasiswa Kelas Paradigma Feminis, Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) menyelenggarakan kampanye 16 HAKTP bertajuk Gerakan Pita Ungu (GPU). Kampanye ini dibuka dengan menyebarkan pamflet anti kekerasan seksual, membagikan pita ungu, mengadakan pameran, hingga menyelenggarakan diskusi 16 HAKTP sebagai puncaknya. Pada Rabu (14/12/2022) lalu, Jurnal Perempuan berkesempatan berpartisipasi dalam acara puncak GPU. Bertempat di FIB UI Depok, diskusi menghadirkan Siti Aminah Tardi (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan – Komnas Perempuan), Vivi Widyawati (Perempuan Mahardhika), Retno Daru Dewi G.S. Putri (Jurnal Perempuan), dimoderatori Amira Ruzuar (Kolektif Advokat Gender untuk Keadilan).
Siti Aminah Tardi membuka paparan dengan menjelaskan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara umum. Dalam paparannya, ia menekankan UU TPKS sebagai regulasi baru yang dapat melindungi korban. Selain itu, UU TPKS juga lebih menyeluruh dibanding regulasi serupa di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena satu tujuan dari UU TPKS adalah mencegah segala bentuk kekerasan seksual. UU TPKS juga tidak hanya memberikan definisi kekerasan seksual, tetapi turut memasukkan definisi tersebutke dalam pasal-pasal spesifik. Sehingga, perdebatan yang melelahkan mengenai definisi kekerasan seksual yang terlalu luas dapat dihindari. Definisi yang spesifik juga penting untuk memastikan segala bentuk tindakan yang merendahkan dan melecehkan perempuan adalah bentuk kekerasan seksual. Disampaikan pula, bahwa UU TPKS menganut double track system. Artinya, sistem ini menggunakan dua jalur sanksi, yakni mengatur sanksi pidana di satu pihak dan juga sanksi tindakan di pihak lain. Hal ini dapat terlihat dalam kasus penghalangan penyelidikan oleh anggota keluarga pelaku. Mereka dapat dikenai hukum pidana karena sudah menyulitkan penuntasan kasus kekerasan seksual. Dalam UU TPKS pula, bagian hukum acara pidana mendapat porsi paling banyak. Hukum ini mengatur bagaimana korban harus diperlakukan di kepolisian, kejaksanaan, dan pengadilan, sehingga diskriminasi dan reviktimisasi terhadap korban bisa ditekan. Menurut Aminah, hukum Indonesia terdahulu banyak melakukan reviktimisasi terhadap korban. Salah satu sebabnya adalah ilmu viktimologi yang belum berkembang sejauh ini. Alhasil, dalam UU sebelumnya, tidak ada pasal mengenai hak korban. Menutup paparan, Aminah menyatakan UU TPKS kini sudah berlaku efektif dan sudah ada beberapa kasus yang disidang menggunakan UU TPKS. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual di Pesantren Shidiqiyyah Jombang, Jawa Timur. Pelaku dihukum menggunakan UU TPKS sementara pendukungnya dikenakan hukum pidana obstruction of justice karena menghalangi penyelidikan. Narasumber kedua, Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika, menyatakan bahwa perempuan sudah dikenalkan pada kekerasan bahkan sesaat setelah dilahirkan. Contohnya adalah praktik sunat perempuan (Female Genital Mutilation). Di masa lalu, kelahiran bayi perempuan pun kerap dilanjutkan dengan pembunuhan terhadapnya, karena dianggap tidak menguntungkan keluarga. Budaya-budaya yang sudah lama terjalin di masyarakat tersebut kemudian berkembang menjadi rape culture. Rape culture ini merupakan masalah dunia, bukan hanya masalah negara dunia ketiga. Vivi juga menjelaskan perkosaan sebagai senjata untuk menaklukan komunitas. Praktik ini kerap terjadi dalam konflik etnis, konflik masyarakat, bahkan konflik negara. Perempuan menjadi kelompok paling rentan akan pemerkosaan ini. “Kekerasan seksual digunakan untuk menghukum perempuan bila perempuan tidak taat dengan norma gender masyarakat,” tambah Vivi. Hal ini juga yang menjadi justifikasi perkosaan dalam pernikahan, yakni seorang istri tidak pantas menolak ajakan berhubungan seksual dari suaminya sebab suaminya sudah “memiliki” tubuh istrinya. Aktivis di Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban (JPHK) ini juga menambahkan, kekerasan seksual tidak berdiri sendiri, ia selalu ditopang oleh sesuatu yang sistematis dan struktural. Vivi menyinggung adanya 421 Peraturan Daerah (Perda) seksis dan diskriminatif yang mengatur kehidupan dan tubuh perempuan, yang datanya diafirmasi oleh Aminah. Tantangan kita untuk menghilangkan rape culture adalah, masih banyaknya orang yang menganggap kekerasan seksual adalah wajar dan layak ditertawakan. Pelaku kekerasan seksual yang kebanyakan adalah orang terdekat juga menjadi tantangan. Akhir kata, Vivi mengajak audiens melawan kekerasan seksual dari diri sendiri, dengan memutus rantai budaya kekerasan dalam pikiran kita. Retno Daru Dewi G.S. Putri yang akrab disapa Daru menyambung paparan dua narasumber sebelumnya. Daru membuka paparan dengan berkata, “Rape culture sudah mendarah daging dalam sistem patriarki.” Hal ini memberi dampak negatif pada korban, yaitu pelaku yang kerap tidak dihukum. Masyarakat pun cenderung berpihak pada pelaku dan menyalahkan korban. Pemahaman akan konsep maskulinitas yang kuno, pembagian kerja domestik yang tidak berimbang, juga objektivikasi terhadap perempuan membuat perempuan rentan menjadi korban. Bahkan, perempuan pun masih tidak dipercaya ketika ia mengambil keputusan. Patriarki juga paralel dengan penderitaan yang dihadapi laki-laki, seperti kesulitan menunjukkan emosi. Banyak studi menunjukkan bahwa laki-laki sebagai pelaku bunuh diri terbanyak karena terlalu banyak memendam perasaan negatif. Patriarki menggiring kita untuk percaya bahwa laki-laki harus memegang peran-peran tertentu. Dalam contoh sederhana, seperti dalam pemilihan ketua kelas, secara tidak sadar kita mempersilakan laki-laki terlebih dulu. Mengenai kekerasan seksual, Daru menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah power abuse yang dilakukan pihak lebih kuat ke pihak lebih lemah. Daru menyampaikan beberapa riset yang pernah diterbitkan oleh Jurnal Perempuan, salah satunya dari Sulistyowati Irianto yang menunjukkan banyaknya penyintas kekerasan seksual dari kalangan mahasiswi, sebab mereka terjebak dalam relasi kuasa. Riset dari Ikhaputri Widiantini juga menyoroti banyaknya kekerasan seksual di perguruan tinggi. Riset-riset ini membuktikan rape culture masih ada, bahkan di lingkungan kampus yang terlihat lebih terpelajar. Sebagai penutup paparannya, Daru juga mengingatkan audiens bahwa body shaming juga termasuk dalam rape culture. Mengenai hal ini, Daru memberikan sebuah tips. Bila kita menyaksikan orang-orang terdekat kita di lingkungan kampus masih melakukan body shaming, kirimkanlah pasal yang melarang body shaming dalam Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) kepada orang tersebut. Tips lainnya untuk melawan rape culture adalah berani bicara, membangun kesadaran bersama akan bahaya kekerasan seksual, dan mendobrak konsep maskulinitas kuno di dalam diri kita sendiri. GPU menjadi salah satu contoh nyata penerapan pengetahuan feminis dalam kehidupan sehari-hari. Kampanye ini dapat mengantarkan pemahaman mengenai isu-isu gender secara horizontal, seperti lingkungan pertemanan di kampus. Penyebaran pengetahuan dari teman ke teman dapat memudahkan masyarakat memahami pentingnya isu penghapusan kekerasan seksual di lingkungan manapun. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |