Studi gender idealnya mendapatkan porsi pembahasan yang luas dalam ranah akademik. Hal tersebut karena gender sangat terkait dengan berbagai aspek penting masyarakat. Salah satunya adalah kekerasan seksual yang berkelindan erat dengan isu gender. Dengan semangat tersebut, telah diadakan forum ilmiah Gender Studies Forum pada Rabu (10/08) dan Kamis (11/8) lalu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Gender Studies Forum tahun ini mengangkat tema “Investigating Sexual Violence in Indonesia’s Higher Education: Intersections and Trajectories”. Tahun ini, Gender Studies Forum terwujud oleh kolaborasi dari berbagai universitas, yayasan, hingga pemangku kebijakan. Jurnal Perempuan berkesempatan menghadiri dan mewartakan beberapa sesi dari acara ini. Beberapa di antaranya adalah sesi empat dan sesi lima. Sesi empat (10/8), berbicara mengenai keadilan restoratif dan perlindungan saksi dan korban. Dalam konteks kekerasan seksual, keadilan restoratif justru menguntungkan pelaku, bukan korban. Sebab, keadilan restoratif berfokus pada upaya mendamaikan pelaku dan korban. Paparan dari Sri Wiyanti Eddyono mengutarakan bahwa istilah keadilan restoratif justru seakan-akan hanya menjadi idiom saja. Dalam praktiknya, keadilan restoratif justru menghilangkan keadilan dari sisi korban. Dalam kekerasan gender, terdapat praktik yang diskriminatif, salah satunya adalah relasi kuasa antara pelaku dan korban. Sehingga, dalam berbagai kasus keadilan restoratif, proses pengadilan pidana dihentikan. Dosen dari Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut juga menyinggung bahwa praktik keadilan restoratif adalah cheap justice: mediasinya meletakkan korban dalam situasi yang tidak berimbang dan seakan dapat diselesaikan dengan ganti rugi material.
Siti Mazumah dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik dan Ani Rufaida dari UGM juga menyinggung hal yang sama. Apalagi dengan banyak studi yang mengemukakan bahwa perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual sepanjang hidupnya. Atas hal ini, mekanisme hukum Indonesia yang paling ideal untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dengan UU TPKS, keadilan restoratif akan diusahakan pada korban, bukan pada pelaku. Selanjutnya, Naomi Rehulina Barus dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menyinggung “malpraktik” dari keadilan restoratif. Sejatinya, penggunaan keadilan restoratif dalam mekanisme hukum pidana tidak bisa menghentikan acara pidana dan perlindungan pada korban. Penghentian perkara hukum tidaklah sama dengan keadilan restoratif. Namun, dalam realita hukum di Indonesia, penggunaan keadilan restoratif seakan menghentikan proses pidana. Demikian, kita membutuhkan alat baru untuk mencapai pemulihan pada korban. UU TPKS dapat bertindak sebagai alat baru ini. Sebagai penutup sesi, Asih Widiowati dari Umah Ramah menyatakan bagaimana sistem pendidikan Indonesia kini membuat siswanya tidak mengenal tubuhnya sendiri. Dalam contoh kasus pesantren, pendidikan seksual yang terbatas membuat siswanya menganggap tabu tubuhnya. Anak harus dididik untuk memastikan ia memahami otoritas ketubuhannya. Pendekatan interseksional harus digunakan untuk mencapai hal tersebut. Sesi lima dimulai pada hari Kamis (11/8) dengan bahasan mengenai negara dan komitmen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Yang dimaksud adalah regulasi Peraturan Menteri (Permen) PPKS Nomor 30 tahun 2021. Permen ini mewajibkan seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki Satuan Tugas (Satgas) dan langkah-langkah progresif untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Salma Safitri dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2PT2A) kota Batu memaparkan pengalamannya sebagai advokator berbagai kasus kekerasan seksual di Universitas Brawijaya dan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Menurutnya, penyelesaian dari kedua contoh kasus itu masih kurang memuaskan. Salah satu alasannya adalah ketidakberpihakan petinggi kampus dalam menyediakan dan melaksanakan regulasi anti kekerasan seksual. Para petinggi kampus umumnya takut mempermalukan kampus bila banyak kasus kekerasan seksual terkuak ke publik. Selanjutnya, Maria Gracia Manurung dari Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Jakarta memaparkan berbagai program instansinya dalam mencegah kekerasan seksual di ruang publik. Beberapa di antaranya adalah Pos SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) di beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan instansi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kini, PPAPP Jakarta tengah mengusahakan adanya Pos SAPA di transportasi umum, menggandeng Dinas Perhubungan (Dishub) dan organisasi penyedia angkutan. Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardika menyambung paparan selanjutnya. Ia menekankan, kita perlu melihat isu kekerasan seksual menggunakan perspektif interseksi. Dengan perspektif interseksi, kita akan memahami adanya lapisan-lapisan identitas dan tantangan yang memberikan kekhususan dari setiap perempuan. Ika menyatakan, identitas gender yang luas dan tidak heteronormatif dapat memantapkan pemahaman mengenai perbedaan pengalaman antara perempuan. Perspektif ini juga idealnya digunakan dalam implementasi Permen PPKS dan UU TPKS. Demikian, regulasi-regulasi tersebut dapat menjawab kebutuhan korban. Adanya forum akademik yang berfokus pada isu-isu gender merupakan suatu langkah progresif yang dapat disebarluaskan. Karena masalah gender sangat berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari dan persoalan politik suatu negara. Atas hal tersebut, pelibatan perempuan dalam forum ilmiah dapat memberikan pengakuan sekaligus memberdayakan perempuan dalam kancah akademik. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |