Gender Studies Forum 2022: Akar Kekerasan Seksual dan Perlunya Permendikbudristek PPKS di Kampus18/8/2022
Pada Kamis (11/8), Jurnal Perempuan berkesempatan untuk menghadiri forum ilmiah Gender Studies Forum yang bertempat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan juga diadakan secara dalam jaringan (daring). Dengan tema besar “Investigating Sexual Violence in Indonesia’s Higher Education: Intersections and Trajectories”, para pembicara dari berbagai institusi dan lembaga memaparkan tentang pengalaman, opini, riset, serta penulisan-penulisan mereka terkait dengan kekerasan seksual dalam lingkungan perguruan tinggi. Sesi enam, dengan tema “Melacak Akar-akar Kekerasan”, dibawakan oleh Pinky Saptandari (Universitas Airlangga), Lidwina Inge Nurtjahyo, Sabina Puspita dan Lathifah Widuri (Universitas Indonesia), Peppy Anggraini dan Elza Ramona (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), Hasna Azmi Fadhilah (Institut Pemerintahan Dalam Negeri – IPDN), dan Sri Setyawati (Sekolah Pascasarjana Universitas Andalas Padang). Pembicara pertama, Pinky Saptandari menekankan pentingnya melihat aksi kekerasan seksual dengan dimensi Gender Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI). Dimensi GEDSI dinilai dapat menggali akar dari kekerasan seksual dan membuat perubahan yang mendasar. Kemudian, Pinky juga ingin kita semua bersama-sama mewujudkan lingkungan yang aman dan ramah bagi siapapun tanpa terkecuali, termasuk juga kelompok difabel yang terkendala hegemoni patriarki.
Lidwina, Sabina, dan Lathifah menulis tentang moralitas dan seksisme. Mereka berusaha melihat hubungan dan pengaruh pendekatan moralis terhadap upaya penghapusan kekerasan seksual di kampus. Pendekatan moralis dalam melihat kekerasan seksual seringkali menjadi pedang bermata dua, karena juga menyerang korban. Berbicara tentang moral, pasti ada standar baik-buruk dan gender biner yang ditentukan di dalam lingkungan yang seksis dan patriarkis. Selain itu, dalam tulisan mereka juga membahas pasal-pasal yang dapat membantah perkataan moralis yang menganggap Peraturan Menteri Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi no. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak melibatkan aspek keagamaan dalam membuat peraturan dan kebijakannya. Tubuh dan seksualitas perempuan seringkali dipandang sebagai suatu hal yang tabu. Peppy Anggraini menjelaskan bagaimana perempuan adalah subjek yang liyan (yang lain). Perempuan dianggap sebagai suatu ketidaksengajaan dan kesalahan yang diciptakan oleh Tuhan, setelah laki-laki diciptakan dengan sempurna. Cara-cara untuk “melindungi perempuan” pun ada, seperti pelarangan perempuan beribadah ke masjid, menjadi pastor, dan harus menutup aurat. Perempuan dianggap baiknya di rumah saja, melakukan kegiatan yang tidak berbahaya. Padahal, biasanya kekerasan seksual juga terjadi di dalam lingkup domestik. Peppy juga mengatakan bagaimana negara memiliki kuasa atas tubuh perempuan, seperti pelarangan aborsi. Pembicara keempat, Hasna Azmi Fadhilah melihat politik otoriter negara sebagai bagian dari akar permasalahan kekerasan seksual. Sistem politik otoriter berkontribusi membuat fenomena iceberg (gunung es). Ketika politik Orde Baru muncul, mereka mempertahankan dengan represi, kekuasaan material, pengaturan negara terhadap pers, subordinasi bisnis terhadap negara, dan pengendalian birokrasi sipil dan media. Selain itu, kasus kekerasan seksual hampir selalu diupayakan untuk tenggelam atau diselesaikan secara kekeluargaan agar tidak mencoreng nama baik daerah dan mempertahankan stabilitas ekonomi daerah. Pemerintahan daerah tidak ingin daerahnya dipandang bermasalah. Sri Setyawati, selaku pembicara terakhir sesi keenam, banyak membawa topik akar kekerasan di lingkungan Minangkabau. Di Sumatera Barat, Minangkabau dianggap kuat adat dan agama. Mirisnya, Sri melihat justru ada pelaku-pelaku kekerasan seksual dari institusi agama. Bekerja sama dengan Menteri Kebudayaan Bidang Media dan Publikasi, perkampungan adat Nagari Sijunjung dibentuk untuk menggerakan beberapa perempuan Minang yang dikeluarkan dari kotak lembaga Bundo Kanduang. Saat ini, Sri juga sedang mencoba untuk membuat musyawarah adat perempuan Minang. “PPKS di Kampus, Apa Harus Dilakukan?” Menjadi pertanyaan utama pada sesi ketujuh. Terdapat beberapa pembicara untuk sesi ini; Yayah Chanafiah dari Universitas Bengkulu, Anne Shaka dan Alifa Magfira dari Universitas Sanata Dharma, Verani Indiarma dan Titiek Kartika dari Universitas Bengkulu, serta Neng Eri Sofiana dan Luthfiana dari Institut Agama Islam Negeri Ponorogo (IAIN Ponorogo). Terkait dengan kebijakan dari Permendikbudristek PPKS, Yayah Chanafiah berharap kebijakan tersebut tidak hanya menjadi administratif, tapi juga memiliki solusi. Yayah menilai, seharusnya daripada memberikan punishment pada perguruan tinggi yang tidak atau belum membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), lebih baik memberikan reward pada perguruan tinggi yang sudah membentuknya. Kemudian, jangan sampai regulasi yang menyertai kebijakan itu malah menyulitkan, memundurkan, dan juga menghambat. Anne Shaka dan Alifa Magfira melakukan penelitian di bawah Pusat Studi Perempuan, Media, dan Seni (Anjani), Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma. Penelitian tersebut berusaha untuk menganalisis narasi tentang kekerasan seksual di ranah pendidikan tinggi dari media. Ditemukan bahwa media masih lebih mementingkan clickbait dan judul yang sensasional. Selain itu, banyak kasus yang tidak transparan, tidak selesai, cenderung ditutup-tutupi, dan ada pembungkaman korban. Sedikit sekali media yang memberitakan keberhasilan penanganan kasus atau penghukuman pelaku. Padahal, media dapat dijadikan sebagai tempat atau ruang bagi masyarakat sipil untuk memperjuangkan hak dan menyampaikan kebenaran. Pembicara ketiga di sesi tujuh, Verani menyampaikan tentang banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak terlaporkan di lingkungan kampus. Sebenarnya, korban mengerti bahwa hal itu merupakan suatu bentuk kekerasan seksual. Namun, mereka tidak berani karena merasa tidak baik untuk membicarakannya, “lebih baik diam daripada malu.” Verani mencontohkan beberapa kasus dari Universitas Bengkulu yang kebanyakan pelakunya adalah dosen. Ia menilai setiap perguruan tinggi harus melakukan sosialisasi secara terus menerus, memiliki mekanisme perlindungan pelapor, dan pendampingan yang empati terhadap korban. Pembicara terakhir, Eri membahas tentang langkah nyata terkait penanganan kekerasan seksual di IAIN Ponorogo. Di IAIN Ponorogo, terdapat Surat Keputusan (SK) Rektor yang terbit pada Desember 2021, tentang ketika terdapat pelaku kekerasan seksual, maka pelaku tersebut tidak dapat dilindungi atas dasar nama baik lembaga. Terdapat mekanisme penanganan, meliputi pencegahan, pelayanan, penanganan, dan pemberian sanksi. Meski begitu, ada beberapa tantangan di IAIN Ponorogo, seperti belum adanya anggaran karena SK Rektor tersebut disahkan di akhir tahun, ketika anggaran untuk tahun 2022 sudah terbentuk. Namun, untuk ke depannya tentu akan ada anggaran untuk implementasi. Eri juga menilai, tentu saja harus ada sosialisasi yang massif, karena ia mengakui di IAIN Ponorogo isu kekerasan seksual masih menjadi hal yang tabu. Pada akhir sesi, terdapat diskusi ide untuk menaruh indikator penanganan dan anggaran untuk kasus kekerasan seksual sebagai bagian dari akreditasi perguruan tinggi dan instansi-instansi. Namun, baik hal itu akan terlaksana maupun tidak, diharapkan penanganan dan anggaran itu menjadi basic value tiap perguruan tinggi dan instansi. Supaya kampus tidak perlu lagi menutup-nutupi kasus kekerasan seksual dengan dalih, “demi nama baik kampus.” (Bianca Swasono) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |