Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sebuah organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak digital, menyelenggarakan peluncuran kertas kebijakan terkait Revisi Informasi dan. Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Kamis (25/4/2024) lalu. Acara yang diselenggarakan secara luring di Ke:Kini Ruang Bersama, Cikini, Jakarta Pusat, serta daring melalui platform Zoom ini menggandeng KEMITRAAN melalui program Enhancing the Leverage of Women Environment Human Rights Defenders (ELEVATE) guna menyajikan evaluasi yang komprehensif mengenai hasil revisi UU ITE, sehingga peka terhadap kesetaraan gender dan hak-hak digital masyarakat sipil. Dibuka langsung oleh Nenden Sekar Arum (Direktur Eksekutif SAFEnet), acara ini mengundang Tessa Ardia (Peneliti dan Penyusun Kertas Kebijakan UU ITE), beserta dua orang penanggap, yakni Fatia Maulidiyanti (Aktivis Perempuan Pembela HAM) dan Johanna Poerba (Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform–ICJR).
“Harapannya peluncuran ini merupakan langkah awal bagi masyarakat sipil untuk terus mengadvokasi UU ITE ataupun regulasi yang mengatur hak digital sehingga bisa peka gender dan berperspektif yang lebih baik,” ungkap Nenden melalui pembukaannya. Dirinya juga menyoroti bahwa implikasi dari produk hukum yang tidak memperhatikan kedua aspek tersebut akan memberikan lebih banyak dampak negatif bagi perempuan. Hal ini salah satunya dicerminkan melalui tingginya kerentanan kaum perempuan dalam menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), serangan digital, kriminalisasi, ataupun hal-hal lainnya. Tessa Ardia selaku Peneliti dan Penyusun Kertas Kebijakan UU ITE mengungkap adanya 9 pasal dari UU ITE yang belum peka gender dan berperspektif hak digital. Pasal-pasal tersebut diantaranya, Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) terkait Pidana Kesusilaan, Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) UU ITE tentang Penyerangan Kehormatan atau Nama Baik Orang Lain, Pasal 27B ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (10) tentang Pemerasan dan Pengancaman, Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) terkait Kebencian atau Permusuhan berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), Pasal 28 ayat (3) juncto Pasal 45A ayat (3) terkait Penyebaran Berita Bohong, Pasal 29 juncto Pasal 45B terkait Ancaman Kekerasan, Pasal 36 juncto Pasal 51 ayat (2) terkait Data Pribadi, Pasal 40 ayat (2a), (2b), (2c), dan (2d) terkait Pencegahan Penyebarluasan dan Kewenangan Pemerintah Memutus Akses, dan Pasal 43 ayat (3) dan ayat (6) terkait Penggeledahan, Penyitaan, Penangkapan, dan Penahanan. Dirinya menekankan bahwa pasal-pasal yang dimuat oleh UU ITE banyak yang tidak berperspektif korban kekerasan seksual. Padahal, hasil pemantauan SAFEnet melalui form aduan telah menunjukkan bahwa perempuan sebagai korban KBGO mendapatkan kerentanan yang berlapis. Tessa juga memaparkan bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 1.052 aduan kasus KBGO yang meningkat dari tahun 2022, yakni sebanyak 698 kasus. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang menghapus diskriminasi gender, termasuk tindakan yang mendorong kekerasan berbasis gender online, sepatutnya dilibatkan dalam revisi UU ITE. Melalui sesinya, Fatia Maulidiyanti selaku Aktivis Perempuan Pembela HAM memberikan tanggapan bahwa UU ITE versi kedua ini dapat menciptakan politik ketakutan sehingga dapat mengancam kebebasan berekspresi hingga hak atas rasa aman bagi masyarakat sipil. Implikasinya, perempuan pembela HAM akan menjadi salah satu kelompok yang mengalami kerentanan berlapis. Selain mendapatkan kekerasan fisik, mereka turut rentan mengalami kekerasan seksual, doxxing, penyerangan identitas gender, hingga pelabelan negatif seperti perempuan yang tidak baik. Dirinya menambahkan bahwa pelibatan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan merupakan aspek yang vital, tetapi sering dilupakan oleh pemegang otoritas. “Banyak hal yang cukup fundamental dalam revisi kali ini, tetapi pemerintah tidak pernah melibatkan masyarakat untuk memberikan rekomendasi atas kebijakan-kebijakannya,” tegas Fatia. Penanggap terakhir, Johanna Poerba selaku Peneliti ICJR, memperhatikan kedudukan yang tumpang tindih antara pasal-pasal dari UU ITE dengan kebijakan lain yang mengatur kebebasan berekspresi. Dirinya turut memandang bahwa suara-suara kritis masyarakat dapat terbungkam oleh hal tersebut sehingga benih-benih pemikiran mereka tak lagi mampu dituangkan dalam ruang publik. Sekali lagi, mereka yang sepatutnya menerima perlindungan akan rentan mengalami reviktimisasi akibat pasal-pasal karet UU ITE. Sejalan dengan laporan yang disampaikan oleh Tessa, Johanna menilai bahwa ini pada akhirnya akan semakin membuat publik mempertanyakan keseriusan dan komitmen pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat sipil dalam ranah digital. Peluncuran kertas kebijakan Revisi UU ITE merupakan bentuk kepedulian masyarakat sipil terhadap pemenuhan hak mereka dalam ruang digital. Hak untuk mengakses internet, perasaan aman, hingga kebebasan berekspresi merupakan hal yang harus mendapatkan perlindungan dan penanganan yang serius melalui produk hukum. Kebijakan yang berperspektif gender dan hak-hak digital diharapkan tidak hanya melindungi masyarakat sipil secara keseluruhan, tetapi juga perempuan dan kelompok minoritas lainnya dalam kedudukan yang rentan di ruang digital. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |