Pada hari Sabtu (5/12/15) Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 87 Keragaman Gender dan Seksualitas. Di acara yang diadakan di Joglo Patheya, Kemang Utara ini Gadis Arivia menceritakan penelitiannya yang dipublikasikan di Jurnal Perempuan 87 Keragaman Gender dan Seksualitas mengenai makna hidup bagi LGBT. Gadis memaparkan bahwa di dalam penelitian yang ia lakukan dengan Abby Gina tersebut ada 4 hal yang menjadi kesulitan untuk meneliti LGBT. Kesulitan-kesulitan itu lebih besar ia temukan dibandingkan ketika ia meneliti perempuan atau etnis minoritas tertentu. Hambatan pertama adalah seringnya konsep-konsep agama dibenturkan dengan LGBT yang berdampak pada diskriminasi, karena mereka dianggap “menyimpang” dari jalan Tuhan. Gadis mengatakan bahwa tuduhan tidak “direstui” agama tidak ia jumpai pada perempuan. Hal kedua adalah rendahnya kesadaran akan pentingnya penelitian tentang LGBT karena seringkali dianggap sebagai gaya hidup atau lifestyle. Di samping itu media seringkali merepresentasikan LGBT dengan kehidupan glamor, misalnya banyak dari mereka yang menjadi fashion designer. Hal itu menimbulkan keraguan, “Apakah mereka benar-benar tertindas? Apakah mereka kelompok miskin? Apakah mereka kelompok yang harus dilindungi?”. Yang terakhir adalah kenyataan bahwa mereka “tidak terlihat” karena seringkali menyembunyikan identitasnya. Misalnya jika memiliki kekasih, tidak dapat secara gamblang menunjukkan afeksinya karena ada permasalahan kultur dan agama. Bagi Gadis, keempat hal itu merupakan problem metodologi yang harus dihadapi. Problem itu tercermin dari penelitian Gadis tentang kekerasan terhadap LGBT. Ada gap antara data kuantitatif dengan narasi kualitatif yang didapat dari responden. Misalnya secara kuantitatif, sebanyak 60 persen responden mengaku mengalami kekerasan, tetapi ketika dilakukan wawancara mendalam, hampir seluruhnya pernah mengalami kekerasan baik secara psikis, fisik, ekonomi, maupun seksual. Berbagai hambatan yang dipaparkan tadi mengharuskan peneliti untuk lebih sabar dan cermat dalam menteorisasi temuan-temuannya. Hal lainnya adalah, sebagai subjek penelitian, LGBT memiliki definisi yang sangat kaya sekaligus sangat cair. Kekayaan definisi itu tidak hanya berhenti pada jenis kelamin, tetapi juga orientasi seksual, identitas, ekspresi gender dan lain sebagainya. Sayangnya kekayaan dan kecairan itu di sisi lain menjadi dasar bagi penindasan terhadap mereka. Kesulitan untuk merumuskan definisi itu menjadi masalah yang berdampak pada berbagai hal, contoh yang paling signifikan adalah kebijakan-kebijakan negara, seperti Kartu Tanda Penduduk yang tidak mengakui gender ketiga. Akhirnya hak-haknya sebagai warga negara tidak terpenuhi. Misalnya dalam hal pernikahan, sebagai kelompok yang “tidak terlihat”, teman-teman LGBT dilarang untuk menikah, “Padahal semua orang punya hak untuk mencintai”, papar Gadis. Dalam penelitian mengenai LGBT, Gadis lebih mengandalkan analisis narasi dibandingkan dengan data kuantitatif. Gadis mengatakan, “Menurut saya, mendengarkan mereka bercerita membuat saya lebih memahami mereka.” Lebig lanjut ia mengatakan, “Seringkali kebijakan negara hanya memikirkan distribusi, tidak mau mendengarkan konversasi.” Dengan mendengarkan suara mereka, kita baru bisa memahami dan membuat kebijakan yang adil. Persoalannya adalah suara-suara itu tidak muncul, pengalaman mereka tidak terkisahkan. Di dalam penelitiannya, Gadis juga menyoal absennya negara dalam melindungi hak-hak LGBT. Di dalam kasus kekerasan terhadap LGBT, ketika teman-teman melapor, otoritas terkait justru cenderung membenarkannya karena mereka dianggap menyimpang, dan malah diancam untuk diperkosa. Dalam hal ini negara absen, otoritas tidak mau melindungi. Yang muncul adalah perda-perda yang mengkriminalisasi homoseksual. Yang terakhir, mengenai makna hidup dan kebahagiaan bagi kaum LGBT, Gadis mengatakan, “Jika bagi Aristoteles tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, apakah ada kebahagiaan bagi mereka?”. Satu hal penting yang jarang ditemukan oleh teman-teman LGBT adalah dukungan dari keluarga. Mayoritas mereka memiliki kedekatan dan kepercayaan yang lebih besar kepada sahabat-sahabatnya, bukan keluarga. Mengenai pernikahan, itu merupakan hal yang sangat jauh dari pikiran mereka. Harapan mereka adalah tidak lagi mendapatkan pelecehan dan penindasan dari masyarakat. Yang terpenting bagi teman-teman LGBT saat ini bukan persoalan distribusi, tetapi rekognisi. (Lola Loveita) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |