Gerakan feminisme merupakan gerakan yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan kesetaraan ini telah dilakukan oleh para feminis sejak lama, tetapi sampai kini kesetaraan belum tercapai sepenuhnya. Adanya miskonsepsi dalam masyarakat mengakibatkan kaburnya makna etika feminis. Salah satu bentuk etika dalam feminisme adalah etika kepedulian (ethics of care). Untuk itulah, Komunitas Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia (KOMAFIL UI) bekerja sama dengan Jurnal Perempuan dalam menyelenggarakan diskusi publik mengenai etika kepedulian, serta pentingnya kesinambungan antara teori dan praktik etika feminis. Acara ini menghadirkan Dr. Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan dan dosen di Montgomery College, Amerika Serikat) dan Dr. Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan) selaku punggawa feminis Indonesia. Diskusi publik ini berlangsung pada Kamis (25/5/2023) di Auditorium Gedung 4, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, Depok. Acara ini juga disiarkan melalui Live Streaming YouTube. Rafi Syabi dari KOMAFIL UI bertindak sebagai moderator dalam diskusi ini. Diskusi dibuka oleh sambutan dari Fristian Hadinata, Kepala Program Studi Filsafat UI. “Saya mengenal feminisme secara lebih mendalam itu lewat Ibu Gadis. Salah satu magnum opus karya Ibu Gadis yang sangat penting untuk dibaca adalah Filsafat Perspektif Feminis. Bahwa sebenarnya, dalam setiap periode sejarah, selalu ada filsuf perempuannya. Namun yang kita terima selalu nama-nama filsuf laki-laki saja,” ujar Fristian menjabarkan. Sebelum memasuki pembahasan teoritis etika feminis, Gadis menyampaikan pada peserta, bahwa feminisme adalah perjuangan untuk mengakhiri penindasan yang seksis. Ini adalah hal yang sederhana, tapi pada umumnya orang-orang akan menganggap bahwa feminisme itu menakutkan dan lekat kaitannya dengan perempuan-perempuan yang tidak menepati moral masyarakat. Anggapan umum menstigma feminis sebagai perempuan yang sering mengenakan rok pendek, berwatak ugal-ugalan, atau pemberontak. Secara lebih luas, feminisme ialah perjuangan terhadap penindasan orang-orang marginal, baik marginal berdasarkan kelas sosialnya, gendernya, seksualitasnya, dan sebagainya. Diskusi ini didasarkan pada cara berpikir social justice atau keadilan sosial, yang artinya bukan saja memajukan kelompok tertentu, tapi memajukan semua kelompok. “Secara global, kesenjangan gender itu sebesar 32%. Artinya, perempuan hanya memiliki nilai material sebesar 68% dibandingkan laki-laki. Jadi semisal Mba Upie belum memiliki rumah, Pak Frist sudah memiliki 5 rumah,” ujar Gadis. Feminis Indonesia ini melanjutkan, “Di Indonesia, bisa dilihat lewat data dari BPS atau dari indeks ketimpangan gender, di dalam 5 atau 10 tahun terakhir itu relatif ada perbaikan. Misalnya dari 146 negara, Indonesia ada di posisi sekitar 90-an.” Namun begitu, kita harus tetap kritis dalam melihat data. Meskipun peningkatan tersebut ada benarnya, tapi apakah peningkatan itu sudah mencakup bidang politik, ketenagakerjaan, pendidikan, maupun kesehatan? Gadis mengajak peserta diskusi untuk tidak hanya memikirkan kondisi dirinya, tapi juga kondisi kelompok lain yang mengalami beban berlapis. “Salah satu alasan indeks kesetaraan gender Indonesia menjadi rendah adalah partisipasi di bidang politik, yakni sekitar 0,1% atau 0,15% saja. Yang mana hal ini berdampak pada banyak aspek, seperti dalam pengambilan kebijakan, atau pembuatan produk-produk hukum yang tidak sensitif gender, dan lain sebagainya,” tambahnya lagi. Sebelum memasuki pembahasan lebih jauh, Gadis terlebih dulu menekankan perbedaan antara gender dan seks. Gender adalah konstruksi sosial, sementara seks adalah perbedaan berdasarkan jenis kelamin. Kedua hal ini dianggap sama dalam sistem masyarakat kita. Secara historis, wacana feminis selalu terpinggirkan. Hal ini bisa dilihat dalam filsafat Yunani, filsafat abad pertengahan, filsafat modern bahkan filsafat kontemporer. “Filsuf John Rawls mengatakan, bahwa untuk mengatasi kesenjangan gender adalah dengan melakukan distribusi secara equal,” ujar Gadis, mulai menjelaskan posisi feminisme dalam filsafat arus utama, “Namun, bukan saja equal, melainkan filsafat feminis seharusnya diposisikan sebagai suatu subjek. Begitu juga dengan gender. Gender biasanya selalu dijadikan studi add on dalam arti tambahan, yang ini merupakan problem,” jelasnya. Menurut Gadis, gender juga sepatutnya diperlakukan sebagai subjek, bukan hanya sekadar tambahan. Dalam filsafat, etika adalah bagian dari studi moralitas. Tujuan dari studi ini adalah untuk memahami dan menjustifikasi keyakinan moral manusia. Gadis menjelaskan, dalam ilmu filsafat, kita mengenal tiga jenis etika, yaitu metaetika, etika normatif, dan etika terapan. Etika kepedulian ini berada di etika normatif, sama seperti etika Kantian. Gadis melanjutkan, bahwa etika arus utama memang sudah maju dalam upaya memperjuangkan keadilan. Tetapi, keadilan saja tidak cukup, harus ada kepedulian. Dalam etika arus utama, prinsip equality menjustifikasi kedudukan laki-laki dan perempuan haruslah sejajar. Kendati begitu, di dalam feminisme hal itu tidaklah cukup. Sebab yang dibutuhkan orang perempuan adalah equity, atau keadilan. Equality memberikan hak yang sama kepada setiap manusia, tetapi equity memenuhi kebutuhan kelompok marginal secara spesifik dan partikular. Atas hal itu, kita harus up-to-date dalam memahami perkembangan etika feminis. Etika feminis interseksional adalah pendekatan terbaru dalam diskursus feminis yang dapat menjangkau jarak antara equality dan equity. Etika feminis interseksional melihat suatu hal dengan beragam irisan hal lainnya. Ini membuat kita bisa menghubungkan bukan semata gender, tapi melihat bahwa gender juga berhubungan dengan kelas, sementara gender berhubungan dengan etnis, dengan seksualitas, bahkan gender juga berhubungan dengan lingkungan. Pendekatan interseksionalitas dapat melihat secara komprehensif penindasan berlapis-lapis yang terjadi. Sebab etika feminis selama ini tidak dilihat keterhubungannya dengan yang lain. Etika feminis melihat persoalan feminis selalu berkaitan dengan gender, ras, etnis, kelas, nasionalitas, orientasi seksual, abilitas, dan disabilitas.
Selain itu, etika feminis interseksional itu harus bersifat praksis, yang artinya bukan hanya dibicarakan di dalam kelas kuliah melainkan juga secara aksi ada gerakan untuk menumpas atau menyudahi ketidakadilan yang terjadi di lapangan. Demikian, feminis interseksional berkaitan erat dengan kerja-kerja aktivisme akar rumput yang dapat menjangkau berbagai kebutuhan dan kekhususan perempuan. Sebagai seorang aktivis, Abby Gina menyetujui perspektif tersebut. “Interseksionalitas itu melengkapi kita dengan lensa yang lebih luas untuk melihat bahwa individu bisa jadi punya berbagai ketidakberuntungan atau berbagai kerentanan dalam menghadapi permasalahannya. Ini menjadi penting, sebab dengan kita mengetahui lebih banyak informasi, berbagai ketimpangan, kita akan bisa merespons secara lebih tepat, lebih spesifik sesuai dengan kebutuhannya.” jelas Abby. Contoh lain, misalnya dalam persoalan kerusakan lingkungan atau krisis iklim. Kelompok perempuan menjadi kelompok yang rentan menghadapi krisis lingkungan. Tetapi dengan lensa interseksionalitas, kita harus mempertanyakan kembali, perempuan mana yang lebih rentan? Apakah benar jika berhadapan dengan krisis iklim semua perempuan mengalami kerentanan? Begitupun dalam isu kesehatan reproduksi. Hal-hal ini tidak bisa dipukul rata, sebab setiap persoalan memiliki kekhasan dan butuh penanganan yang khusus dan detail. “Untuk itulah mengapa etika feminis interseksionalitas penting, dia harus menjadi cara pandang kita dalam semua hal, baik di dalam relasi keluarga, relasi pertemanan, relasi kita terhadap negara, dan lainnya. Karena ketika kita tidak memakai lensa itu, kita akan cenderung tidak mengenali atau abai terhadap berbagai kekerasan yang sangat mungkin terjadi di berbagai kelompok, khususnya perempuan,” pungkas Abby. Dengan mengaplikasikan etika kepedulian, kita dapat menjangkau dan menandai kelompok yang lebih rentan dibanding kelompok lainnya. Perbedaan kerentanan ini juga berdampak pada perbedaan fasilitas dan kebijakan yang lebih optimal. Kini, penerapan etika feminis tidak dapat dipisahkan dari perspektif interseksionalitas untuk menandai dan mengurai masalah. Paparan Gadis dan Abby menekankan pentingnya hal tersebut. Selain itu, pengakuan akan beban berlapis pada beberapa kelompok perempuan juga merupakan hal yang seharusnya dilakukan, terutama bagi pengampu kebijakan. Dengan demikian, keadilan gender dapat tercapai, sedikit demi sedikit. (Alfiyah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |