Ketimpangan gender di sektor perikanan dipengaruhi oleh subkultur masyarakat pesisir yang menganut budaya patriarki yang mewujud dalam bentuk beban ganda, marginalisasi, subordinasi, stereotip dan kekerasan. Pernyataan ini diungkapkan Erma Susanti, Wakil Direktur Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII) saat menjadi pembicara dalam acara Pendidikan Publik yang diselenggarakan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Program Magister Sosiologi Universitas Airlangga dan Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI) di FISIP Unair. Lebih lanjut Erna menjelaskan perempuan nelayan—seperti halnya perempuan di sektor lain—tidak hanya berkecimpung dalam ranah produktif, namun juga ranah reproduktif dan sosial, sehingga jam kerja dan beban kerjanya lebih panjang daripada laki-laki. Hasil pengamatan dan riset menunjukkan bahwa jam kerja perempuan nelayan rata-rata mencapai 14 hingga 17 jam sehari. Perempuan terlibat dalam seluruh rantai perikanan mulai dari praproduksi, produksi hingga pascaproduksi. Banyaknya waktu yang harus dialokasikan perempuan nelayan dalam proses kerja-kerja tersebut mengakibatkan beban kerja yang tinggi yang pada akhirnya mengurangi kualitas hidup perempuan karena mereka tidak mempunyai waktu untuk mendapatkan akses atas peningkatan dan perbaikan kualitas hidup. Di sisi lain faktor budaya yang menganggap perempuan nelayan bukan sebagai profesi yang kemudian tercermin dalam undang-undang yang menempatkan perempuan nelayan hanya sebagai istri nelayan, pada akhirnya membuat mereka tidak bisa mendapatkan kartu nelayan. Dengan kata lain perempuan nelayan mengalami marginalisasi. Lebih jauh Erma menjelaskan pandangan yang menomorduakan perempuan juga terjadi di sektor perikanan, sehingga kepentingan dan persoalan perempuan nelayan dianggap tidak penting. Akibatnya program-program untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan harus menjadi program yang secara khusus menyasar perempuan. Selain itu stereotip atau pelabelan negatif pada perempuan nelayan yang menganggap perempuan tidak memiliki kemampuan melaut dan hanya bisa bekerja di sektor domestik mengakibatkan pembatasan perempuan nelayan. Menurut Erma, kekerasan terhadap perempuan di lingkungan nelayan lebih didominasi oleh perkawinan anak. Rata-rata setelah lulus SMA anak perempuan akan segera dinikahkan. Situasi ketimpangan gender tersebut menurut Erma mengakibatkan akses mereka terhadap kebijakan yang dijalankan pemerintah menjadi terbatas, kecuali program tersebut secara khusus ditujukan bagi perempuan atau program yang sasarannya umum namun mensyaratkan adanya keterlibatan perempuan. Sehingga dapat dikatakan keterlibatan perempuan menjadi semu. Dengan akses yang terbatas, maka partisipasi perempuan juga menjadi minim, terlebih ketika program yang ada masih menempatkan perempuan nelayan hanya sebatas sebagai objek kebijakan karena pengendali program masih dipegang oleh laki-laki. Ketika aksesnya terbatas dan partisipasinya semu, maka manfaat program bagi perempuan juga sulit dicapai. Terlebih ketika berbicara kontrol, selama perempuan tidak menjadi bagian dari pengendali program dan tidak masuk dalam kepengurusan yang mempunyai otoritas untuk menentukan, maka sulit bagi perempuan untuk memiliki kontrol. Erma juga menjelaskan beberapa persoalan di sektor perikanan. Menurutnya, meskipun nelayan berada pada garda depan ketahanan pangan dan perekonomian bangsa, namun masyarakat pesisir merupakan salah satu kantong kemiskinan yang cukup besar, yakni 25 persen dari total penduduk miskin. Maka menjadi ironis ketika kebutuhan protein kita disuplai oleh kelompok nelayan, tetapi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya kelompok nelayan justru belum terpenuhi. Sektor perikanan juga merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Ketika cuaca buruk, maka nelayan tidak bisa melakukan aktivitas penangkapan ikan dan tidak memiliki penghasilan. Dalam situasi semacam ini perempuan nelayan—seperti halnya perempuan di sektor lain—akan merasakan dampak yang lebih berat. Sementara itu, secara budaya perempuan dianggap bertanggung jawab untuk mencari jalan keluar. Oleh karena itu terkait persoalan perubahan iklim, perempuan menjadi kelompok yang lebih adaptif dalam mencari cara agar bisa mendapatkan nafkah ketika dalam situasi semacam ini. Kerentanan sektor perikanan juga terkait dengan isu energi. Ketika solar yang menjadi bahan bakar kapal mengalami kenaikan harga, akan berdampak langsung terhadap pemasukan nelayan. Sementara terkait proses regenerasi, terdapat kecenderungan memprioritaskan anak laki-laki untuk bersekolah dan membebaskan mereka dari tanggung jawab dalam proses produktif. Sedang anak perempuan diberi tanggung jawab untuk membantu kerja-kerja produktif dan reproduktif yang dilakukan para ibu. Hal ini dikarenakan profesi nelayan tidak lagi dipandang sebagai mata pencaharian yang bergengsi, sehingga anak-anak mereka tidak disiapkan untuk menggantikan orang tuanya. Untuk itu menurut Erma perlu ada evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Menteri No 28 tahun 2016 tentang Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di sektor perikanan untuk mengetahui efektivitas dari aturan tersebut. Selain itu dibutuhkan juga pemahaman dan kapasitas pengarusutamaan gender pada tenaga lapangan mengingat biasanya perspektif gendernya belum memadai. Dukungan aturan teknis juga menjadi penting terutama di tingkat lokal. Erma mencontohkan kebijakan soal dana desa, yang bisa diakses untuk pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti yang diterapkan di daerah Tulungagung misalnya. Aturan teknis pendukung ini akan memudahkan nelayan perempuan untuk mengakses dana desa atau program-program lain yang terkait dengan sektor perikanan. Monitoring dan evaluasi atas program juga menjadi penting selain juga perlu kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |