Memperingati Hari Bumi, Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Makassar (UNM) mengadakan webinar Hari Bumi 2022 bertajuk “Ekofeminisme: Meneroka Problem Paradigmatik di Balik Kerusakan Lingkungan” pada Jumat (22/4/2022) lalu. Dipandu oleh A. Syafa Mutmainna Azus, acara ini menghadirkan Dr. H. Azikin Solthan, M. Si. (Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia – DPR RI), Abby Gina Boang Manalu, M.Hum. (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan), dan Siti Maimunah (Peneliti dan Aktivis Lingkungan) sebagai pembicara dengan Sopian Thamrin, S. Pd., M. Pd. (Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial-Hukum UNM – FIS-H UMN) selaku moderator. Sebelum diskusi dimulai, terdapat sesi sambutan yang dimulai oleh Mustam Arif sebagai wakil dari Jurnal Celebes. Dengan kesadaran bahwa perempuan adalah memegang salah satu peran kunci untuk memelihara lingkungan dan perlindungannya yang berkelanjutan, Mustam berharap acara ini dapat memanfaatkan sudut pandang para pembicara pada kegiatan pemeliharaan lingkungan. Dalam hal ini, perspektif ekofeminisme diharapkan mampu membantu terwujudnya keinginan tersebut.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Prof. Dr. Jumadi, S.Pd., M.Si., Dekan FIS-H UNM. Menurut Jumadi, webinar kali ini merupakan kolaborasi yang sangat baik antara akademisi dan peneliti. Kedua pihak yang dimaksudnya adalah Jurnal Perempuan dan Jurnal Celebes. Dengan kolaborasi yang disampaikan dekat dengan kegiatan akademik kampus, diharapkan generasi muda tidak hanya menikmati lingkungan dan mengetahui kondisi-kondisi terbarunya saja. Akan tetapi mereka seharusnya juga mampu menjaga lingkungan secara berkelanjutan. Hal tersebut bisa direalisasikan dengan edukasi wisata (eduwisata) dan edukasi entrepreneur (edupreneur). Sehingga keterampilan serta pengetahuan yang dipraktikkan dapat menjadi kolaborasi yang luar biasa dalam mempertahankan kelestarian lingkungan. Sesi selanjutnya, yaitu sesi diskusi, dimulai oleh Dr. H. Azikin Solthan, M. Si. Anggota Komisi IV DPR RI ini menekankan bahwa terdapat tiga aspek penting di dalam pengelolaan hidup, yaitu kepedulian, cinta, dan toleransi. Tidak hanya lingkungan hidup, Azikin beropini bahwa aspek-aspek yang tersebut juga memiliki peran yang sangat penting untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam pemeliharaan lingkungan. Ia lalu memaparkan usaha-usaha pemerintah di dalam mengurangi kerusakan lingkungan. Beberapa hal yang telah dilakukan adalah pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan pendekatan lingkungan dan penerapan peraturan undang-undang. Azikin menyampaikan, peraturan yang dibuat oleh pemerintah dapat memberi ketegasan terhadap para pengelola lingkungan yang tidak menerapkan pemeliharaan berkelanjutan. Sebagai contoh, ia memaparkan bagaimana para pengusaha tambang mengeksploitasi lingkungan untuk menikmati (SDA)-nya, tetapi tidak menerapkan kegiatan reklamasi setelahnya. Di daerah tempatnya aktif bekerja, Azikin juga melihat partisipasi masyarakat dalam merawat lingkungan. Dalam penanganan banjir, contohnya, dilakukan dengan kegiatan kerja bakti yang dimulai di sekolah-sekolah. Ia juga berharap pihak-pihak yang berpartisipasi pada webinar kali ini dapat bertemu dengannya secara langsung agar dapat turut melihat kondisi serta pengelolaan lingkungan di sekitarnya. Pembicara kedua, Abby Gina, memaparkan sebuah presentasi bertajuk Ekofeminis Interseksionalitas. Ekofeminisme melihat manusia sebagai subjek yang memiliki relasi langsung di dalam penindasan terhadap alam dan perempuan. Perempuan yang menjadi objek dominasi seringkali tidak dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan lingkungan. Diskriminasi ini terjadi karena budaya yang patriarki dan mengekang perempuan untuk keluar di ruang publik dan mengelola lingkungan hidup. Lingkungan hidup serta alam yang gelap dan berbahaya dianggap tidak tepat untuk dikelola oleh perempuan, sehingga kesan maskulin dari lingkungan semakin diglorifikasikan. Hal ini menyebabkan munculnya kritik terhadap kultur maskulin yang menjadi landasan eksploitasi alam dan eksploitasi perempuan. Ekofeminisme muncul pada tahun 70-an di berbagai belahan dunia. Gerakan-gerakan yang melawan eksploitasi alam dan perempuan, seperti Chipko (1970) di India dan Green Belt (1977) di Kenya, mewarnai aktivisme ekofeminisme pada saat itu. Di Indonesia, gerakan yang sarat akan perjuangan ekofeminisme terjadi di Kendeng, Wadas, dan Aleta Baun. Selain itu, selama memperjuangkan hak tata kelola lingkungan hidup dan alam di Indonesia, perempuan sudah berpartisipasi dan membantu secara aktif. Namun karena diskriminasi adat dan pemikiran patriarki masyarakat, maka perempuan belum mendapatkan haknya secara penuh. Diskriminasi tersebut masih terjadi walaupun komunitas yang diperjuangkannya sudah mendapatkan hak mereka untuk mengelola lingkungan hidup dan alam. Menurut Abby, dekonstruksi tidak hanya dibutuhkan dalam mengelola alam, tetapi juga menata kembali budaya dan pemikiran masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa ekofeminisme harus diimplementasi secara inklusif. Hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya faktor, seperti agama, ras, usia, demografi, status, dan kelas sosial, yang menyebabkan ketimpangan. Hal tersebut membuat ekofeminisme interseksionalitas dapat diimplementasi dengan baik, serta memberikan sudut pandang kapada perempuan bahwa mereka berhak untuk juga mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik mereka. Siti Maimunah, atau yang biasa disapa Mai Jebing, memaparkan topik Ekofeminis dan Tubuh – Tanah Air pada sesi diskusi yang terakhir. Menurut Mai, literasi ekofeminis adalah hal yang sangat penting. Dengan kesadaran feminisme dan alam, kita sadar bahwa peyampaian masalah perempuan saja tidak cukup. Perbedaan pengalaman antara seorang perempuan dengan yang lainya juga perlu disadari. Oleh karena itu, tidak ada cerita tunggal dalam penyampaian pengalaman perempun dan relasi mereka dengan lingkungan hidup dan alam. Mai juga sepakat dengan pemikiran bahwa kita harus berhenti berpikir bahwa kita adalah yang berkuasa akan alam dan lingkungan. Sebagai contoh, akibat virus COVID-19, terlihat dengan jelas bahwa manusia tidak berdaya akibat virus yang berasal dari alam tersebut. Dalam konteks Indonesia, terdapat 1% orang kaya yang menguasai hampir setengah dari kekayaan alam di bangsa ini. Mereka punya pengaruh terhadap politik dan pemerintahan yang, sayangnya, seringkali digunakan untuk mengeksploitasi alam. Selain itu, eksploitasi yang mereka lakukan juga tidak ada habisnya. Mai memberi contoh penambangan di Kalimantan. Sebelum kapal-kapal tongkang membawa batu bara, para pengusaha tambang sebenarnya mengelola kayu yang mereka tebang dari hutan. Akan tetapi, akibat perbuatan mereka hutan pun habis. Akibatnya eksploitasi yang mereka lakukan berpindah dari kayu ke batu bara. Perempuan yang seharusnya dapat membantu mengelola SDA dengan lebih baik jarang sekali mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Salah satu sebabnya adalah politik ibuisme di era Orde Baru yang menempatkan posisi perempuan sebagai orang kedua di dalam rumah. Sedangkan, jika sudut pandang mereka diperhitungkan, maka paradigma feminisme dan environmentalisme mampu menunjukkan bahwa eksploitasi alam adalah konsekuensi dari pemikiran yang patriarki. Selain itu, lensa ekofeminisme juga sarat akan perjuangan dan perlawanan akan ketubuhan tanah air kita. Sehingga pelibatan perempuan dan implikasi ekofeminisme sangat penting untuk mengelola dan menjaga lingkungan hidup dan alam. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |