Dalam rangka memperingati momen Pemilu 2024 yang bertepatan dengan hari Valentine, Solidaritas Perempuan bersama dengan Mongabay Indonesia menyelenggarakan diskusi yang bertemakan “Valentine Bukan Budaya Kita, Budaya Kita Adalah Domestifikasi Perempuan” pada Selasa (13/2/2024). Forum yang dilaksanakan melalui IG Live tersebut dimoderatori oleh Mareta (Staf Kampanye Solidaritas Perempuan) dan menghadirkan tiga pembicara yang terdiri dari Lusia Arumningtyas (Jurnalis Mongabay.co.id), Sekar Banjaran Aji (Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia), dan Dessy (Staf Penguatan SP Anging Mammiri). Mareta memantik diskusi dengan ulasan tentang bagaimana peran dan isu perempuan tidak cukup dibicarakan dalam forum-forum debat kandidat pemilihan presiden. Selama ini, gagasan dan rancangan kebijakan yang diajukan setiap kandidat terkait isu perempuan masih berputar pada persoalan ruang domestik. Sedangkan, identitas perempuan bersifat jauh lebih cair dan luwes daripada yang dibicarakan para kandidat. Berangkat dari keresahan yang sama, Sekar menyebutkan bahwa rangkaian rancangan kebijakan yang diajukan oleh kandidat pilpres luput dalam menyoal peran di luar ruang domestik. Misalnya, peran perempuan dalam mengawal isu-isu penting bagi rakyat dan negara.
Dalam konteks lingkungan, Lusia menyampaikan bahwa perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terdampak krisis iklim. Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak kebijakan pemerintah yang mendiskreditkan dan meminggirkan perempuan untuk ikut andil dalam proses musyawarah dan penentuan kebijakan. Hal yang sama dialami oleh Dessy dan rekan-rekan perempuan di Sulawesi Selatan yang kerap dihadapkan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pada sektor perkebunan, Dessy dan rekan bersinggungan dengan PT Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV), sementara pada sektor kelautan terdapat pembangunan Makassar New Port. Menurut Dessy, arah pembangunan Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja sebab dilakukan dengan memihak kepentingan ekonomi global yang berorientasi pada investasi. Pembangunan negara yang berorientasi pada investasi inilah yang justru merampas sumber penghidupan perempuan dan menciptakan kemiskinan struktural. Jika dilihat seperti ini, sebenarnya persoalan lingkungan, perempuan, dan pemerintahan adalah tiga hal yang terhubung dan saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Sekar, kebobrokan tata negara, krisis ekologis, dan kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin menjadi adalah dampak nyata dari kekuasaan oligarki. Saat ini, 70 persen dari anggota DPR RI merupakan pengusaha yang berhubungan erat atau bahkan merupakan bagian dari oligarki. Pengesahan perundang-undangan seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja juga dilakukan demi kepentingan oligarkis. Oleh karena itu, Greenpeace Indonesia berusaha mengusung tagar #SalahPilihSusahPulih dalam rangka mendemonstrasikan kepada masyarakat signifikansi peran pemerintah sebagai penentu sekaligus penyelenggara kebijakan terhadap keberlangsungan hidup lingkungan dan masyarakat Indonesia kedepannya. Terdapat beberapa hal yang dapat masyarakat lakukan dalam menyongsong kehadiran pemimpin pro-lingkungan yang berkesadaran gender. Dari perspektif sehari-hari, Lusia menyorot keteresediaan informasi yang dapat diproses masyarakat dengan kepala yang dingin, mulai dari artikel berita, hasil riset, dan film atau karya seni yang berbicara mengenai lingkungan dan hak masyarakat sebagai warga negara yang perlu dijamin keamanan, kesehatan, dan kesejahteraannya. Dari perspektif organisasi, Sekar memberikan penekanan bahwa selain memiliki basis riset yang kuat dan mengkampanyekan isu dengan kreatif, kita juga perlu berkolaborasi dengan kelompok akar rumput dengan baik sehingga dapat membersamai saksi atau korban di lapangan. Kemudian, dari sisi akar rumput, Dessy memberikan pandangan bahwa forum diskusi bersama perempuan petani, nelayan, dan pekerja migran di daerah-daerah memiliki fungsi penting dalam memberikan edukasi terkait visi misi dan rekam jejak calon pemimpin kita. Harapannya, usaha-usaha ini dapat membangun kesadaran masyarakat untuk menjadi lebih cermat dalam memilih pemimpin pada tingkatan eksekutif di pusat juga legislatif dan daerah-daerah yang memiliki kesadaran bahwa krisis lingkungan hanya dapat diselesaikan dengan melibatkan masyarakat. Perempuan sebagai bagian dari kelompok rentan sekaligus kelompok yang sering kali menjadi yang paling aktif dalam menyuarakan isu-isu lingkungan dan kemasyarakatan merupakan bagian krusial yang perlu dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan. Representasi perempuan dalam reformasi agraria perlu dilakukan dengan memperhatikan hak asasi manusia dan keadilan substantif sehingga keterlibatannya menguatkan peran perempuan sebagai subjek. (Nurma Yulia Lailatusyarifah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |