Kamis, 22 Februari 2018, penyelenggara Women’s March Jakarta bersama dengan Universitas Atma Jaya Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta mengadakan acara Diskusi Perempuan Melek Hukum dengan topik “Kekerasan Dalam Pacaran”. Acara tersebut merupakan rangkaian acara Women’s March Jakarta yang akan diselenggarakan tanggal 3 Maret 2018 mendatang. Pada Diskusi Perempuan Melek Hukum ini tidak sedikit mahasiswa perempuan yang mengutarakan pendapat dan pengalamannya sebagai korban dari kekerasan dalam pacaran. Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang datang, Nike Nadia, Inisiator HelpNona menyatakan bahwa kekerasan dalam pacaran tidak selalu mewujud, karena bentuk kekerasan bermacam-macam bisa kekerasan fisik maupun psikis. “Ada pemahaman bahwa perempuan cenderung mengalami kekerasan fisik dan laki-laki cenderung mengalami kekerasan psike” tutur Nike. Diskusi tentang kekerasan dalam pacaran yang diadakan oleh Women’s March Jakarta terbilang menarik, sebab korban kekerasan dalam pacaran bukan hanya perempuan tetapi juga dialami oleh laki-laki. Walaupun pada faktanya angka kekerasan terhadap perempuan memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan terhadap laki-laki. Menurut Nike Nadia siklus kekerasan dalam pacaran memang bisa ditebak. Pada kekerasan dalam pacaran terdapat 4 fase yaitu fase bulan madu yang ditandai bahwa hubungan baik-baik saja, yang kedua adalah fase ketegangan pada fase ini mulai terjadi perdebatan antara keduanya, kemudian yang ketiga adalah fase kekerasan yang berarti mulai terjadinya kekerasan psikis maupun fisik dan yang terakhir adalah fase penyesalan dimana pelaku mulai meminta maaf dan berjanji untuk berubah. Tidak jarang keempat fase ini menjadi fase yang berulang terus menerus. Oleh karena itu, tidak jarang kita mendapati bahwa korban kekerasan dalam pacaran sulit untuk keluar dari lingkaran kekerasan. Uli Pangaribuan, Pengacara LBH APIK Jakarta yang juga hadir sebagai pembicara menyatakan pendapatnya mengenai perempuan yang sering menjadi korban pada kekerasan dalam pacaran. “Kekerasan pada perempuan bukan hanya terhenti pada kekerasan fisik, bagaimana jika terjadi pemaksaan hubungan seksual, berlanjut pada kehamilan, lalu aborsi karena mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, polisi akan mendapati perempuan sebagai pelaku, itu mengapa lingkaran kekerasan pada perempuan terus terjadi”, tutur Uli. Menyikapi hal tersebut kita seharusnya tidak tinggal diam atau beranggapan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah hal biasa. Kate Walton, Pendiri Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG) yang merupakan penyintas kekerasan dalam pacaran ikut serta mengambil andil dalam memberi support untuk korban kekerasan. Kate mengaku bahwa ia ingin menolong banyak korban kekerasan dalam pacaran, karena penyintas dapat memahami betul bagaimana rasanya menjadi korban. Tetapi, Kate menegaskan bahwa kita perlu memahami kapasitas kita sebagai manusia. Oleh karena itu, para penyintas bisa melakukan alternatif dengan membawa para korban kekerasan dalam pacaran kepada organisasi yang dapat membantu mereka seperti Yayasan Pulih maupun LBH APIK. Lanjutnya Kate menjelaskan “Pada kekerasan dalam pacaran terdapat kontrol antara yang satu kepada yang lain. Bukan hanya kontrol, kekerasan ekonomi juga bisa terjadi. Sehingga, untuk membantu para penyintas perlu ada support system dari teman-teman dan keluarga”, tutur Kate. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |