Bertempat di KeKini Coworking Space, Jakarta Pusat, Inklusi bersama Migrant Care dan Pena Bulu menyelenggarakan acara peluncuran buku Dilema Bansos pada Rabu (24/1/2024) yang lalu. Dihadiri oleh Budi Susilo (Deputi Direktur Eksekutif Pena Bulu), Hamong Santono (Penulis Dilema Bansos), Yanu Endar Prasetyo (Penulis Dilema Bansos dan Badan Riset dan Inovasi Nasional—BRIN), Wahyu Susilo (Migrant CARE), Romlawati (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga—PEKKA), dan Dian Kartika Sari (Aktivis Perempuan), acara ini meliputi diskusi mengenai latar belakang publikasi buku Dilema Bansos. Sebelum diskusi dimulai, Budi Susilo memberikan sambutannya. Budi menyampaikan bahwa buku ini sangat penting untuk mengingatkan masyarakat luas bahwa bantuan sosial (bansos) merupakan pintu masuk negara untuk memberdayakan masyarakat sipil. Perlu diingat bahwa bansos bukanlah kemurahan hati atau kebaikan hati pemerintah, tapi merupakan hak masyarakat. Maka transformasi bansos yang melindungi masyarakat dari kerugian dan masalah sosial sangat diperlukan. Budi juga memaparkan bahwa perkembangan bansos sejak era pandemi menuju ke new normal sangat menarik untuk dikaji dari isu sosial ke isu politik. Sehingga buku Dilema Bansos dicetuskan dan pada akhirnya dipublikasikan. Ia lalu berharap semoga buku ini dapat membantu menghasilkan tata kelola bansos yang lebih baik di masa yang akan datang. Hamong Santono sebagai salah satu penulis Dilema Bansos membuka diskusi dengan mengutarakan awal mula penulisan buku ini. Dilema Bansos didasari oleh riset pada tahun 2022, di mana pemulihan kondisi ekonomi setelah COVID-19 mulai terlihat. Para penulis melihat adanya kesalahpahaman mengenai perlindungan sosial. Bansos seharusnya menjadi bagian dari jaminan sosial di mana warga negara tidak perlu membayar seperti perlindungan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Setiap warga berhak mendapatkan bansos. Akan tetapi, mereka seolah-olah harus menjadi miskin dahulu untuk mendapatkan haknya. Negara harus menetapkan status miskin warganya terlebih dahulu, misalnya melalui surat keterangan, sebelum membagikan bansos. Sehingga hak bantuan yang seharusnya bisa diberikan secara merata dan adil belum dapat diwujudkan. Salah satu penulis Dilema Bansos dan bagian dari BRIN, Yanu Endar Prasetyo, memulai paparannya dengan menjeaskan banyaknya jenis bansos yang lahir di masa pandemi COVID-19. Dua contoh di antaranya adalah bansos untuk nelayan dan bansos untuk warung-warung tradisional. Selain itu, beberapa kementerian, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga membagikan bermacam-macam bansos. Tidak hanya banyaknya jenis bansos, tetapi salah satu hal yang disoroti pada buku ini adalah menariknya proses penyaluran bansos yang tidak jelas peta jalannya. Maka sulit sekali merealisasikan pembagian bansos yang adil dan merata. Selain itu terdapat bansos-bansos baru yang lahir di tengah pandemi. Namun di tahun 2023 yang sudah memasuki masa pasca pandemi, banyak juga bansos yang menghilang. Yanu kemudian memaparkan lima masalah yang terdapat pada kebijakan bansos; fragmentasi bentuk bantuan yang tumpang tindih, penamaan bansos yang tidak konsisten dan membingungkan, sifat yang responsif tetapi cakupannya kecil, road map dan keputusan dicabutnya bansos yang tidak jelas, dan politisasi serta personalisasi bansos. Tidak hanya masalah pada kebijakannya, bansos juga memiliki masalah pada proses penyalurannya. Korupsi serta maladministrasi, data yang tidak akurat serta tidak mutakhir, keefektifan bansos uang yang berbeda dibandingkan dengan barang, kelompok marginal yang belum terjangkau, dan bias gender adalah lima masalah penyaluran bansos. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Yanu memaparkan lima bentuk transformasi yang dibutuhkan. Kebijakan bansos perlu diubah menjadi sinergi atau dipusatkan di satu lembaga saja. Konsisten dalam mengolah data dan program juga sangat diperlukan untuk memperbaiki sistem yang sudah ada. Memperluas cakupan pada kelompok rentan, menyusun peta jalan bansos yang baik, dan mewujudkan penegakkan hukum yang baik serta partisipasi publik dalam mengawasi bansos turut dibutuhkan dalam mentransformasi kebijakan mengenai bansos agar menjadi lebih baik. Mewakili kelompok rentan pekerja migran, Wahyu Susilo turut menjadi pembicara dalam peluncuran buku Dilema Bansos ini. Migrant CARE turut mengkaji akses jaminan sosial yang menjadi hak pekerja migran di tujuh kabupaten selama pandemi COVID-19. Sayangnya, para pekerja migran banyak yang tidak terdaftar. Akibatnya, sebagian besar tidak menerima bansos melainkan subsidi listrik saja. Pada kata pengantar di buku Dilema Bansos, Wahyu memaparkan bahwa masalah ini sudah pernah disosialisasikan sebelumnya. Proses penyelesaiannya tertutup oleh isu korupsi.
Seperti Budi dan Hamong, Wahyu juga menekankan kembali bahwa bansos seharusnya menjadi social safety net atau jaring pengaman sosial. Indonesia sendiri sudah memiliki contoh-contoh transformasi bansos seperti beras miskin (raskin) yang kemudian menjadi beras sejahtera (rastra), lalu berubah menjadi tunai pangan, hingga menjadi bagian dari sembilan bahan pokok (sembako). Ia kemudian menyoroti fenomena bagi-bagi bansos yang terjadi di tahun-tahun pemilu yang terjadi pada 2024 ini. Harapannya figur-figur yang berkampanye mempu mengkampanyekan gagasan mengenai bansos. Sehingga bukan bagi-bagi bansos untuk mendapatkan suara dari warga semata. Wahyu menginginkan adanya keinginan dari para calon pemimpin untuk membicarakan isu ini pada debat calon presiden dan wakil presiden berikutnya agar lebih jelas rencana kerjanya. Selain itu, bansos juga perlu menerapkan perlindungan dengan perspektif anak. Dengan begitu, makanan yang dibagikan tidak selalu instan agar dapat menyehatkan anak. Wahyu juga menyarankan pembagian mainan yang membantu tumbuh kembang anak pada program-program bansos di masa yang akan datang. Romlawati dari PEKKA melanjutkan diskusi dengan memaparkan rangkuman riset bertajuk Efektivitas Bantuan Merespons Krisis. Hasil dari penelitian tersebut diambil dari 17 provinsi, 42 kabupaten, 69 kecamatan, 90 desa, dan 90 RT, dan 4000 keluarga. Bantuan yang diberikan secara merata hanya subsidi listrik saja. Sedangkan bantuan uang sebesar 35,56% dan makanan sebesar 24,56%. Kepala desa yang terlibat di dalam riset ini selalu membagi rata bansos walaupun ada keluarga-keluarga yang tidak membutuhkan. Hal ini mereka lakukan tanpa didasari data yang jelas dengan alasan untuk menghindari kesalahan. Data yang tidak mutakhir juga menyebabkan perempuan kepala keluarga seringkali tidak dapat bansos karena tidak dianggap sebagai kepala keluarga sesungguhnya. Masalah ini tidak memberikan kelonggaran bagi mereka walaupun suaminya sudah tidak jelas keberadaannya. Pengelolaan data tidak jelas termasuk masih adanya nama warga yang meninggal, pindah domisili, dan tidak miskin. Riset ini bahkan menemukan data ganda karena adanya pernikahan poligami. Revisi data sulit dilakukan karena data tidak terbuka dan transparan. Romlawati memberikan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki pembagian bansos kepada warga. Yang pertama adalah bantuan pemberdayaan ekonomi, yang mana warga tidak hanya membutuhkan uang maupun barang melainkan keinginan untuk mampu mandiri dalam meningkatkan kondisi ekonomi hidup mereka. Data berbasis komunitas menjadi rekomendasi berikutnya. Sebaiknya pendokumentasian warga dikumpulkan dari bawah. Hal ini juga bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan pangan juga. Sebagai contoh, masyarakat yang secara budaya tidak makan beras dapat diberikan sumber karbohidrat lainnya. Atau keluarga nelayan, yang hampir setiap hari makan ikan, sebaiknya diberikan makanan lain sebagai bantuan perbaikan gizi mereka. Data yang terpilah secara gender serta kebijakan afirmasi kelompok rentan menjadi rekomendasi dari Romlawati yang terakhir. Pembicara terakhir, seorang aktivis perempuan, Dian Kartika Sari, mengacu pada landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945. Bansos seharusnya menjadi bagian dari perlindungan sosial dan kebijakan sosial. Perlindungan sosial terdiri dari bansos, jaring pengaman sosial, pemberdayaan sosial, integrasi sosial, dan jaminan sosial. Sedangkan beberapa contoh kebijakan sosial adalah harga pangan terjangkau, penerapan tarif khusus, Perlindungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Seperti pembicara-pembicara sebelumnya, Dian kembali mengingatkan bahwa bansos adalah upaya untuk memenuhi hak martabat manusia, bukan belas kasihan. Jika tidak dipenuhi, maka sikap negara akan masuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Bansos juga dapat membantu roda ekonomi negara yang 50% didukung oleh konsumsi. Jika masyarakat lemah daya konsumsinya, maka roda ekonomi tidak dapat berjalan. Bansos yang rentan korupsi, utamanya pada saat pandemi COVID-19, diakibatkan oleh adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan No. 1 tahun 2020 yang tidak mewajibkan adanya audit untuk dana bansos. Hal ini diperburuk oleh penerapan trial and error yang selalu dilakukan oleh setiap presiden. Sayangnya prinsip one fit for all yang dianut setiap presiden tidak bisa memenuhi kebutuhan semua orang. Jika mengacu pada undang-undang yang mengatur bansos di masa pandemi COVID-19, maka semua warga yang terkena COVID-19 dan tidak bisa keluar rumah seharusnya mendapat bansos. Untuk menghindari kesalahan-kesalahan berikutnya, Dian merekomendasikan buku Dilema Bansos sebagai acuan untuk memperkuat pengesahan RUU Perlindungan Sosial. Selain itu, bansos harus didasari oleh siklus hidup dan sosial masyarakat, bukan siklus politik. Menurut Dian, bansos di Indonesia sebenarnya sudah lebih maju. Hal ini dikarenakan bansos sudah diberikan sejak warga masih di dalam kandungan hingga orang tua yang berusia lanjut. Sayangnya ada kesenjangan bansos di kalangan kaum muda dan kelompok rentan, seperti buruh migran. Bansos untuk kaum muda dan kelompok rentan seolah-olah menghilang karena mereka tidak masuk dalam kelompok usia yang bergantung pada bantuan tersebut. Masalah pembagian bansos dengan adil dan rata juga dipersulit oleh pemahaman keluarga yang atomik sehingga tidak membantu peta jalan bansos. Dian melihat bencana alam yang seringkali terjadi di Indonesia seharusnya bisa menjadi pintu terbukanya peningkatan jalur serta kualitas bansos dari pemerintah kepada warganya. Ia juga berpesan bahwa solidaritas dalam bentuk kontrol sosial dan advokasi bansos sangat diperlukan. Sehingga penyaluran bansos dapat merata dan adil dan dapat terhindar dari konflik. (Retno Daru Dewi G. S. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |