“Perempuan tidak boleh ditinggalkan, suara perempuan menentukan” Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi mengadakan deklarasi bertajuk perempuan penyelamat demokrasi dan HAM pada Jumat (22/12/2023) yang bertempat di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat. Deklarasi ini diselenggarakan berbarengan dengan memperingati Hari Gerakan Perempuan Indonesia yang ke-95 dengan melibatkan suara 30 organisasi perempuan dan intelektual lainnya yang prihatin atas lemahnya keberpihakan visi, misi, serta agenda yang diusung oleh calon kandidat presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 2024-2028. Koalisi yang didukung oleh 304 organisasi masyarakat sipil dan aktivis perempuan ini kemudian membuat pernyataan sikap yang dibagi ke dalam tujuh catatan kegentingan perempuan didasari oleh situasi politik gaduh yang jauh dari demokratis dan utamanya tidak memprioritaskan bahkan mempertimbangkan kepentingan perempuan. Ketujuh catatan kegentingan perempuan disampaikan oleh tujuh perwakilan organisasi sebagai deklarator.
Pertama, Anis Hidayah sebagai Komisioner Komnas HAM menyampaikan deklarasi di bawah isu rawannya demokrasi: nepotisme, oligarki korupsi dan penyalahgunaan kewenangan melalui hukum dan perapuhan lembaga-lembaga demokrasi (MK, KPK, dll). Ia menyatakan bahwa kegentingan demokrasi ditandai dengan situasi politik yang mencerminkan praktik pelanggaran etika politik, korupsi, dan nepotisme. Kondisi ini berdampak salah satunya pada buruknya keadilan gender di Indonesia. Kedua, Ika Ayu sebagai Ketua Save All Women and Girls mendaklarasikan isu hak sipil dan politik perempuan atas representasi perempuan di parlemen dan situasi perempuan pembela HAM. Diskriminasi gender berlapis yang dialami perempuan menurutnya kurang dianggap sebagai dampak dari minimnya partisipasi perempuan dalam ruang politik. Sementara upaya affirmative action yang dijamin oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai ratifikasi CEDAW seringkali dihambat oleh kepentingan partai politik yang patriarkis, isu perempuan yang hanya sebagai isu pelengkap serta politik dinasti yang tidak mempertimbangkan kualitas dalam aksi pemberdayaan perempuan dan demokrasi sehingga tidak mampu mengupayakan perempuan secara substansial. Ketiga, isu pemiskinan perempuan dideklarasikan oleh Budhis Utami dari KAPAL Perempuan. Ia menyampaikan bahwa masalah ini secara sistematis berangkat dari asumsi bias gender. Kebijakan pemberdayaan ekonomi misalnya bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal yang merupakan tempat perempuan mencari penghidupan sekaligus mengelola rumah tangga sering kali didekati sebagai kegiatan usaha kaum laki-laki saja. Selain itu, kemiskinan yang terjadi pada pekerja perempuan rentan disebabkan oleh berbagai eksploitasi di area domestik dan kerja publik. Eksploitasi ini menurut deklarator dilanggengkan dengan sistem upah murah dan eksklusifivitas perlindungan sosial dari jaminan sosial, bantuan sosial dan layanan lainnya sekaligus pelanggaran hak reporduksi perempuan seperti cuti haid, cuti hamil dan cuti melahirkan. Keempat, isu pengabaian atas kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi perempuan dideklarasikan oleh Nanda Dwinta Sari dari Yayasan Kesehatan Perempuan. Ia menyoroti pelanggaran berupa kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual dalam memperoleh layanan serta praktik sunat perempuan yang masih langgeng terjadi hingga kini. Walaupun Indonesia telah melaksanakan hak HKSR yang bebas dari diskriminasi dan kriminalisasi tetapi nyatanya langkah ini belum memadai dalam memenuhi hak reporduksi perempuan. Ia kemudian melihat kurangnya layanan kesehatan yang responsif gender terutama bagi perempuan disabilitas. Dengan demikian, ia melihat calon presiden telah mengabaikan banyak hal seperti hak hidup untuk anak berkembang, angka perkawinan anak yang tidak turun, penanganan stunting yang tidak menimbang perihal soal relasi kuasa, akses dan kontrol perempuan pada ekonomi keluarga. Kelima, Yuni Warlif sebagai perwakilan Solidaritas Perempuan mendaklarasikan isu ketidakadilan iklim, politik lingkungan eksploitatif, ketidakadilan pangan dan transisi energi yang meminggirkan perempuan. Ia melihat betapa patriarkisnya cara pemerintah dalam pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Padahal ekonomi pro-oligarki ini menjadi biang masalah yang telah menguras sumber daya alam dan berdampak pada kehidupan perempuan. Dalam hal ini, akses perempuan sering terpinggirkan. Kondisi ini menurutnya dapat menghilangkan pengetahuan dan pengalaman perempuan beserta kearifan-kearifan lokal. Padahal banyak dari perempuan yang kehilangan sumber penghidupannya dan tentunya akan berdampak pada krisis pangan, bahkan juga ikut memaksa mereka untuk bekerja di luar negeri. Keenam, Listyowati dari Kalyanamitra mendeklarasikan isu keberagaman identitas dan interpretasi yang mendiskriminasi perempuan. Ia menegaskan bahwa pelanggaran kebebasan sipil dan politik yang dibiarkan melanggar hak asasi dasar yang tercatut dalam perundang-undangan dan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif. Setidaknya terdapat 300-400 Perda diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, negara telah abai terhadap perempuan dengan tidak memperhatikan keragaman suku, agama termasuk kondisi sosial dan ekonomi mereka. Ketujuh, isu terakhir berjudul penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang tak tuntas dideklarasikan oleh Mutiara Ika sebagai Ketua Perempuan Mahardhika. Ia menyatakan bahwa bangsa kita memiliki luka sejarah yang besar terkait pelanggaran HAM di masa lalu, dimana korbannya mengalami trauma, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya, bahkan diabaikan oleh pemerintah. Hak mereka atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan dengan prinsip keadilan gender terutama bagi korban perempuan. Mereka belum menerima hak mereka hingga hari ini, walaupun telah diperjuangkan selama lebih dari puluhan tahun. Dengan kondisi kegentingan ini, maka Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM menuntut:
Konklusi: Perwujudan demokrasi akan terwujudkan jika seluruh perempuan dari seluruh golongan umur dilibatkan. (Lisa Aulia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |