
Pengelolaan sektor perikanan bisa dijadikan acuan untuk mengatur ekonomi dan ekosistem yang berkelanjutan di sektor nelayan. Melalui sistem pengelolaan berbasis komunitas yang didukung oleh pemerintah, komunitas bisa membentuk rancangan pengelolaan perikanan pada wilayah mereka, sehingga, terdapat prinsip yang berkeadilan. Pada posisi ini nelayan perempuan tentunya memiliki ketertindasan ganda. Di satu sisi terdapat fakta bahwa persediaan sumber daya pesisir menurun sementara di sisi lain terdapat fakta bahwa perempuan nelayan tidak diakui sebagai pekerjaan profesional. Dedi menyayangkan nasib perempuan nelayan yang tidak diakui sebagai pekerjaan profesional. Pasalnya dari penelitian yang Dedi lakukan ia menyatakan bahwa dari Sabang hingga Merauke perempuan nelayan ikut serta dalam memajukkan ekonomi nelayan, mulai dari proses penangkapan hingga pemasaran. Tidak jarang pula perempuan nelayan menjadi penentu apakah nelayan laki-laki bisa melaut atau tidak. Hal ini terkait posisi perempuan nelayan sebagai pemasok bahan bakar minyak (BBM) untuk para komunitas nelayan.
Melihat pentingnya perempuan dalam dunia perikanan Dedi mengakui bahwa perspektif gender masih sangat dibutuhkan untuk disusupi ke dalam kebijakan dan kultur, mengingat pengelolaan berbasis komunitas dapat terlaksana dengan dukungan komunitas yang ada pada suatu wilayah. Tentunya terdapat dugaan jika perempuan tertindas dalam kultur yang bias, bisa jadi sistem pengelolaan tidak lagi bekerja dalam menyuarakan aspirasi perempuan nelayan. Tidak jarang pula implementasi pengelolaan berbasis komunitas bersifat blind-gender. Oleh karena itu, besar harapan Dedi agar perspektif gender terus digunakan untuk mengkritisi kebijakan dan juga kultur, “penyuaraan kepentingan perempuan dalam pengelolaan sumber daya pesisir masih langka dan oleh karenanya sangat dibutuhkan” tutur Dedi. (Iqraa Runi)