Rabu, 31 Januari 2018 pukul 09.00, bertempat di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Jurnal Perempuan mengadakan acara Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 95 Perempuan Nelayan. Dedi Supriadi Adhuri, Peneliti Bidang Humaniora Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang hadir sebagai pembicara menyampaikan paparan tentang peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan perikanan yang terbilang sangat penting. Sebelum membahas pentingnya perempuan di sektor pengelolaan sumber daya pesisir dan perikanan, Dedi terlebih dahulu menjabarkan kegentingan yang terjadi di sektor perikanan. Melalui data dari Komisi Nasional Kajian Sumberdaya Ikan (KKP) Dedi memaparkan bahwa pada tahun 2017 tercatat Indonesia memiliki cadangan ikan sebanyak 12,5 juta ton. Akan tetapi, Dedi dengan tegas menyatakan bahwa terdapat paradoks pada penelitian tersebut. Dari jumlah ikan yang tersebar di Indonesia nyatanya banyak wilayah laut Indonesia yang mengalami eksploitasi berlebihan. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada ikan tetapi juga sumber daya pesisir lainnya seperti terumbu karang dan bakau. Mengingat banyaknya persoalan terkait tidak meratanya penyebaran ikan dan juga eksploitasi berlebihan maka dibutuhkan pengelolaan secara berkelanjutan atau sustainability. Dedi memaparkan bahwa nelayan membutuhkan pendekatan berbasis ekosistem yang bukan hanya berfokus pada hasil tangkapan tetapi juga lingkungan sekitarnya. Sebab dengan menggunakan pendekatan berbasis ekosistem, maka aspek pemanfaatan sumberdaya, pemeliharaan lingkungan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam dan ekosistemnya menjadi perhatian. Dalam paparannya Dedi menjelaskan bahwa pendekatan berbasis ekosistem belum memasukkan perspektif gender sehingga ada kebutuhan untuk menambahkan perspektif gender. Itu sebabnya Dedi berpendapat pendekatan berbasis ekosistem perlu digabung dengan pengelolaan kolaboratif berbasis komunitas agar nelayan dapat mengelola hasil tangkapan hingga pemasaran sesuai dengan lingkungan mereka. Pengelolaan sektor perikanan bisa dijadikan acuan untuk mengatur ekonomi dan ekosistem yang berkelanjutan di sektor nelayan. Melalui sistem pengelolaan berbasis komunitas yang didukung oleh pemerintah, komunitas bisa membentuk rancangan pengelolaan perikanan pada wilayah mereka, sehingga, terdapat prinsip yang berkeadilan. Pada posisi ini nelayan perempuan tentunya memiliki ketertindasan ganda. Di satu sisi terdapat fakta bahwa persediaan sumber daya pesisir menurun sementara di sisi lain terdapat fakta bahwa perempuan nelayan tidak diakui sebagai pekerjaan profesional. Dedi menyayangkan nasib perempuan nelayan yang tidak diakui sebagai pekerjaan profesional. Pasalnya dari penelitian yang Dedi lakukan ia menyatakan bahwa dari Sabang hingga Merauke perempuan nelayan ikut serta dalam memajukkan ekonomi nelayan, mulai dari proses penangkapan hingga pemasaran. Tidak jarang pula perempuan nelayan menjadi penentu apakah nelayan laki-laki bisa melaut atau tidak. Hal ini terkait posisi perempuan nelayan sebagai pemasok bahan bakar minyak (BBM) untuk para komunitas nelayan. Melihat pentingnya perempuan dalam dunia perikanan Dedi mengakui bahwa perspektif gender masih sangat dibutuhkan untuk disusupi ke dalam kebijakan dan kultur, mengingat pengelolaan berbasis komunitas dapat terlaksana dengan dukungan komunitas yang ada pada suatu wilayah. Tentunya terdapat dugaan jika perempuan tertindas dalam kultur yang bias, bisa jadi sistem pengelolaan tidak lagi bekerja dalam menyuarakan aspirasi perempuan nelayan. Tidak jarang pula implementasi pengelolaan berbasis komunitas bersifat blind-gender. Oleh karena itu, besar harapan Dedi agar perspektif gender terus digunakan untuk mengkritisi kebijakan dan juga kultur, “penyuaraan kepentingan perempuan dalam pengelolaan sumber daya pesisir masih langka dan oleh karenanya sangat dibutuhkan” tutur Dedi. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |