"Mahkamah Agung harus membuat pembaruan dalam pemeriksaan Judicial Review (JR)", ujar Prof. Dr. Mahfud. M.D membuka acara diskusi terbatas dengan judul "Mendorong Judicial Review Terbuka di Mahkamah Agung" pada hari Senin, 3 Desember 2018 bertempat di Kantor Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). Mahfud menjelaskan bahwa pembaruan tersebut diperlukan karena saat ini masyarakat dihadapkan tantangan besar yakni banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang harus dibatalkan oleh pemerintah karena banyak merugikan masyarakat. Pada acara tersebut, selain menghadirkan Prof. Dr. Mahfud M.D sebagai pengantar diskusi, juga hadir Azriana (Komisioner Komnas Perempuan), Bivitri Susanti (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan/PSHK), Bayu Dwi Anggono (APHTN-HAN) sebagai narasumber dan Riri Khariroh (Komnas Perempuan) sebagai moderator. Azriana menyampaikan bahwa persoalan kebijakan diskriminatif telah ditemukan oleh Komnas Perempuan sejak sepuluh tahun lalu. Azriana mengungkapkan bahwa diskriminasi yang terdapat pada kebijakan dapat dilihat dari proses perumusan dan implementasinya. Menurutnya, banyak kebijakan yang bermuatan netral, namun dampaknya diskriminatif terhadap perempuan. Komnas Perempuan telah mencatat sebanyak 421 kebijakan diskriminatif sepanjang tahun 2009 hingga 2016, 262 diantaranya berbentuk Perda. Salah satu alasan penting yang didorong Komnas Perempuan untuk keterbukaan Judicial Review di MA adalah karena pengujian peraturan perundang-undangan di MA kerap kali tidak menghadirkan para pihak yang berperkara, keterangan dari para pihak hanya disampaikan secara tertulis. Hal tersebut dianggap bertentangan dengan asas Audi Alteram et Partem (pihak-pihak yang berperkara harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan menyampaikan pendapatnya). Bayu Dwi Anggono menyampaikan bahwa putusan MA selama ini sesungguhnya telah batal demi hukum. Dikatakan batal demi hukum karena proses persidangan di MA selama ini telah melanggar Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48/Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa seluruh pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum dan putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Bayu mengungkapkan bahwa jika MA tetap melakukan proses pemeriksaan secara tertutup dan mengabaikan UU Kekuasaan Kehakiman, maka putusan MA pun tidak perlu diikuti. Tertutupnya proses pemeriksaan di tingkat MA hanya akan mempersulit proses pengajuan JR Perda diskriminatif yang ingin diajukan oleh kalangan masyarakat. Bivitri menyampaikan bahwa proses pengujian yang selama ini dilakukan di MA telah melanggar asas independensi dan partial juga asas peradilan cepat dan biaya ringan. Menurut Bivitri, putusan MA yang tidak langsung berlaku akan berdampak pada tidak adanya kepastian hukum sehingga hanya akan menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, beban biaya proses pengujian yang harus ditanggung oleh pemohon juga sangat tidak tepat untuk dilaksanakan. Menurutnya, biaya perkara yang dibebankan kepada masyarakat hanya akan membatasi ruang keadilan bagi masyarakat tidak mampu. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi yaitu perihal asas keterbukaan yaitu dapat disaksikan oleh semua pihak. Keterbukaan ini juga dimaksudkan untuk keadilan bagi masyarakat. Sedangkan rekomendasi yang harus dilakukan adalah mengirimkan surat kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai permasalahan JR di MA. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |