Sabtu (18/12) Migrant Care bersama AWO International mengadakan acara “International Migrants Day” untuk memperingati Hari Pekerja Migran Sedunia. Acara ini juga menandai momentum bersejarah yang terjadi 31 tahun yang lalu yaitu pengesahan Konvensi Internasional untuk perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya pada sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Acara yang dimoderatori oleh Ana Azmi (Pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat) ini dihadiri oleh enam narasumber yakni Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE Jakarta), Timboel Siregar (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Watch Jakarta), Rendra Setiawan (Direktur Bina Perlindungan Pekerja Migran, Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia), Alex Ong (Country Representative Migrant CARE Malaysia), Sammi Gunawan (Indonesian Family Network Singapore), dan Ratna Saptari (Sekretaris Jenderal Indonesian Migrant Workers Union Netherland). Acara ini dimulai dengan pemaparan dari Wahyu Susilo tentang krisis mobilitas manusia. Wahyu menerangkan bahwa krisis jenis apapun selalu membawa dampak mobilitas bagi manusia. Krisis kesehatan saat ini, yaitu pandemi COVID-19, membawa dampak besar bagi mobilitas pekerja migran. Pasalnya pekerja migran sering mendapatkan stigma sebagai “agen” penyebar virus. Walaupun demikian, stigma seperti ini bukanlah hal baru melainkan sudah terjadi sangat lama. Wahyu menekankan bahwa stigma bisa menjadi basis diskriminasi layanan dalam pengelolaan mobilitas manusia pada wilayah perbatasan. Sehingga dalam proses mobilitas, pekerja migran mengalami begitu banyak kendala.
Selain itu, Wahyu juga menjelaskan bahwa pada situasi saat ini pekerja migran sulit mendapatkan perlindungan kesehatan dan perlindungan pekerja. Hal tersebut dibenarkan oleh Timboel Siregar. Menurut Timboel, yang selama ini menjadi problem perlindungan pekerja untuk pekerja migran adalah tidak adanya bantuan subsidi upah selama 2020 dan 2021, kesulitan dalam mendapatkan Kartu Pekerja bantuan dana dan informasi pasar kerja, dan rendahnya akses terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan kondisi-kondisi tersebut, perlu diadakan sosialisasi dan perluasan informasi terkait program jaminan sosial. Sementara itu, Rendra Setiawan menjelaskan soal regulasi, kebijakan, dan Perlindungan pekerja migran. Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah memiliki beberapa acuan program Regional dan Multilateral yakni Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW) yaitu komite ASEAN yang menangani perlindungan hak-hak pekerja migran berserta keluarganya, Abu Dhabi Dialogue (forum konsultasi antar negara pengirim dan negara penerima pekerja migran), Colombo Process (forum konsultasi sesama negara pengirim), Global Forum on Migration and Development (forum konsultasi global yang menangani isu migrasi dan pembangunan, termasuk migrasi tenaga kerja), dan Safe and Fair Migration milik Interational Labour Organization. Acuan program tersebut akan diperkuat dengan kerjasama, perlindungan, market intelligence, dan kebijakan migrasi – untuk staf teknis dan kepala bidang ketenagakerjaan di perwakilan Republik Indonesia. Penguatan semacam itu dirasa perlu dilakukan demi tercapainya perlindungan bagi pekerja migran Indonesia. Kemudian melalui pengalaman pekerja migran Indonesia yang berada di Singapura, Sammi Gunawan menceritakan fakta-fakta di lapangan untuk menggambarkan situasi pekerja migran Indonesia. Sammi menjelaskan bahwa selama pandemi COVID-19 pekerja migran di Singapura tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Hal ini disebabkan karena majikan berada di rumah setiap hari. “Para pekerja migran yang tidak memiliki private room juga merasa terenggut hak privasinya dengan majikan yang selalu di rumah dan berbagi space dengan mereka” tutur Sammi. Selain itu pekerja migran Indonesia di Singapura juga mencari pekerjaan paruh waktu di tempat lain karena menurut mereka selama pandemi COVID-19 banyak majikan yang keuangannya tidak stabil sehingga mereka tidak dibayar secara penuh. Dengan begitu banyak kesulitan yang terjadi, tidak sedikit pekerja migran di Singapura meminta untuk ditransfer (pindah majikan). Namun majikan mereka mempersulit prosesnya dan mereka malah terancam pemberhentian kerja secara sepihak. Kerugian lain juga dialami oleh newcomers atau pekerja baru yang mulai bekerja di Singapura tahun 2020. Mereka menerima potongan gaji sebesar Rp 35.000.000,- hingga Rp 45.000.000,- untuk kepentingan karantina di hotel. biaya tersebut tidak ditanggung oleh majikan ataupun yayasan. Untuk vaksin, Singapura telah memberikannya kepada para pekerja migran. Akan tetapi, kendalanya adalah banyak majikan yang justru melarang pekerja migran untuk divaksin. Sehingga masih ada pekerja migran Indonesia di Singapura yang belum menerima vaksin. Berbeda dari Singapura, menurut Alex Ong, pekerja migran Indonesia, banyak yang belum menerima vaksinasi COVID-19 di Malaysia. Bahkan dalam proses pemakaman jenazah pekerja migran Indonesia yang terinfeksi COVID-19 terjadi begitu banyak masalah. Dengan begitu terlihat jelas perlu adanya kerjasama yang erat antara negara pengirim dan penerima pekerja migran. Berbeda dari Malaysia dan Singapura, menurut Ratna Saptari selama pandemi COVID-19 Pekerja Migran Indonesia di Belanda memiliki kendala pengurangan jam kerja yang disebabkan karena isu kesehatan. Hal tersebut tentunya menjadi masalah karena pengurangan jam kerja berdampak langsung dengan pengurangan pemasukan mereka. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |