Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) yang kurang dari satu bulan lagi, Migrant CARE melaksanakan konferensi pers Catatan Awal Pemantauan Pemilu Luar Negeri pada tanggal 18 Januari 2024 pukul 13.00—15.00 secara bauran. Konferensi pers ini menghadirkan Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE; Trisna D.Y. Aresta, Koordinator Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant CARE; Usep Hasan Sadikin dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); dan Masykurudin Hafidz dari Akademi Pemilu dan Demokrasi Indonesia. Selain itu, konferensi pers ini juga menghadirkan testimoni dan pengalaman dari para pekerja migran Indonesia (PMI) yang berada di Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia. Dalam pembukaannya, Wahyu Susilo menyampaikan bahwa Migrant CARE sejak tahun 2009 telah melakukan pemantauan Pemilu di luar negeri. Ia mengemukakan, meskipun para Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri memiliki hak pilih secara politik, mereka kerap ditinggalkan dalam persiapan penyelanggaraan maupun aspirasinya dalam Pemilu. Dengan jumlah WNI yang cukup banyak di luar negeri, sesungguhnya mereka bisa menjadi daerah pemilihan (dapil) tersendiri. Namun sayangnya, dapil Luar Negeri digabung dengan dapil Jakarta 2. Hal ini mengakibatkan bahwa aspirasi pekerja migran, sebagai salah satu kelompok WNI terbesar di luar negeri, tidak terwakilkan oleh para calon legislatif.
Trisna D.Y. Aresta melanjutkan dengan hasil awal dari pantauan Migrant CARE, yang dilakukan di empat wilayah, yaitu Hong Kong, Taiwan, Malaysia, dan Singapura. Menurutnya, PMI adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang paling besar di luar negeri. Setidaknya ada empat permasalahan utama yang ditemukan oleh Migrant CARE terkait Pemilu luar negeri. Pertama, pemilihan jadwal Pemilu yang tidak tepat. Karena di luar negeri berlaku mekanisme early voting (Pemilu pendahuluan), rata-rata jadwal Pemilu dilaksanakan pada tanggal 5-14 Februari 2024. Pada pekerja migran yang bekerja di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan, jadwal ini menyulitkan mereka karena bertepatan dengan Tahun Baru Imlek, di mana kemungkinan besar mereka kesulitan mendapatkan izin libur dari para pemberi kerja untuk pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, adanya permasalahan dalam surat suara. Ada pekerja migran yang mendapatkan lebih dari satu surat suara dengan nama yang berbeda-beda, tetapi sebaliknya, sekitar 35% pekerja migran masih belum mendapatkan surat suara. Permasalahan lainnya, di Taipei, Taiwan, para pekerja migran telah mendapatkan surat suara di tanggal 18-25 Desember 2023, dengan alasan percepatan karena kantor pos yang tutup di tahun baru. Ketiga, berkurangnya jumlah TPS dan bertambahnya metode pemilihan via pos. Dari yang awalnya TPS dijadwalkan untuk berada di 31 lokasi, kini dikurangi hanya menjadi 4 lokasi, sehingga mayoritas pemilihan dilakukan via pos. Metode pemilihan di TPS merupakan cara yang paling transparan, tetapi Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) berdalih bahwa pengurangan ini karena tidak mendapatkan izin pemerintah setempat. Terakhir, para pekerja migran tidak dilibatkan dalam proses persiapan Pemilu, dan bahkan diabaikan aspirasinya. Usep Hasan Sadikin menyebutkan, calon legislatif semestinya terhubung dengan para pemilih, termasuk aspirasinya. Dapil Luar Negeri harus diperlakukan khusus, karena permasalahan yang dialami oleh WNI di luar negeri—yang sebagian besar merupakan pekerja migran—tidaklah sama dengan permasalahan yang dialami di Jakarta. Para calon legislatif yang masuk ke dapil Luar Negeri tidak ada yang berkepentingan terhadap permasalahan para pekerja migran, karena merasa pemilihnya paling banyak berada di Jakarta. Masykurudin Hafidz merupakan salah satu pihak yang menyusun indikator kerawanan Pemilu, di mana salah satu bentuk kerentanan Pemilu adalah penyelenggaraan di luar negeri. Ia merekomendasikan bahwa semestinya Kotak Suara Keliling (KSK) dan pos dikurangi jumlahnya, atau bahkan dihapuskan, bukan TPS yang dikurangi. Menurutnya tidak masuk akal jika TPS dikurangi karena alasan biaya, karena biaya Pemilu besar. Berarti permasalahannya ada di prioritas dan alokasi anggaran. Dengan tanda-tanda sebagaimana temuan Migrant CARE—pekerja migran tidak difasilitasi, mengurangi anggaran pelaksanaan Pemilu luar negeri—hal ini mengindikasikan bahwa para pekerja migran ditinggalkan dalam mekanisme Pemilu. Hal ini sangat disayangkan mengingat para pekerja migran telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi negara. “Hanya satu hari saja agar mereka memilih kok tidak difasilitasi? Itu hak warga negara mereka yang harus dijamin,” tutupnya. Konferensi pers ini juga menghadirkan empat pekerja migran Indonesia yang membagikan pengalamannya secara daring melalui Zoom. Fajar, dari Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS) di Taiwan, misalnya, menyampaikan bahwa ada pekerja migran yang hingga mendapatkan 10 surat suara yang dikirim pada alamat pemberi kerjanya. Hal ini mengakibatkan konflik antara pekerja migran dengan pemberi kerja, karena pekerja migran tersebut dianggap telah menyebarkan data pribadi. Sementara itu, Sammi dari Indonesian Family Network di Singapura, memaparkan permasalahan lain. Selain karena kendala jadwal Pemilu yang berbarengan dengan Tahun Baru Imlek, masih banyak pekerja migran yang belum mendapatkan informasi tentang Pemilu karena kurangnya sosialisasi. Terkait jadwal, memang pekerja migran bisa mengganti metode pemilihan dari memilih di TPS menjadi pos. Akan tetapi, mereka tetap harus mengajukan permohonan tersebut ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di hari kerja, di mana itu juga menyulitkan karena mereka hanya mendapat libur di hari Minggu. Sringatin, dari Indonesian Migrant Workers Union di Hong Kong, mengeluhkan hal serupa. Ia menganggap bahwa persiapan Pemilu di Hong Kong tidak transparan. Sosialisasi Pemilu juga tidak edukatif, karena hanya dijadikan sebagai ajang untuk membagikan suvenir. Terakhir, Zaelani, dari Persatuan Anak Rantau Indonesia (PARI) di Malaysia, mengeluhkan tidak adanya transparansi, termasuk dalam pelantikan PPLN. Ia merasa bahwa PPLN yang dilantik adalah orang-orang yang tidak memiliki pengalaman hidup di luar negeri, dan tidak ada pelibatan pekerja migran dalam PPLN. Padahal menurutnya, jumlah WNI di Malaysia terbanyak dibandingkan negara-negara lain. Akan tetapi, ia merasa bahwa sebagai pekerja migran ia tidak bisa menikmati haknya dalam Pemilu dan tidak bisa menyampaikan aspirasinya sebagai warga negara. Catatan Awal Pemantauan Pemilu Luar Negeri oleh Migrant CARE menggambarkan realitas yang dialami oleh para pekerja migran di luar negeri. Hak pilih pekerja migran Indonesia diliputi sejumlah kendala, mulai dari jadwal pemilihan yang tidak sesuai, distribusi surat suara yang tidak merata dan bermasalah, hingga minimnya partisipasi pekerja migran dalam persiapan Pemilu. Sebagai warga negara yang memberikan kontribusi pada pembangunan, kehadiran mereka perlu diakui dan hak pilihnya perlu dipenuhi. Ini adalah catatan penting bagi keberlangsungan demokrasi, dengan menjamin hak setiap warga negara—termasuk pekerja migran yang berada di luar negeri—tanpa hambatan dan diskriminasi. (Fadilla D. Putri) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |