Bukan Pengabdian, Tapi Pekerjaan: Eksperimen Sosial Kerja Perawatan Magdalene dan ILO Indonesia23/1/2024
Media berperspektif gender, Magdalene, bersama International Labour Organization (ILO) Indonesia mengadakan pemutaran dan diskusi film hasil eksperimentasi sosial terkait kerja perawatan dan perempuan pada Kamis (18/01/2024) di Kineforum Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Acara yang dimulai pukul 10:00 WIB ini dengan tajuk “Eksperimen Sosial Kerja Perawatan” berusaha menyampaikan urgensi kerja keperawatan melalui mendokumentasikan aktivitas dan keluh kesah yang dialami oleh lima partisipan perempuan yang berdomisili di Jabodetabek dengan latar beragam. Rangkaian acara dimulai dengan pemutaran film, lalu dilanjutkan dengan diskusi bersama para pakar. Pertama-tama, Early Dewi Nuriana selaku Project Officer Pencegahan dan Perawatan HIV/AIDS Nasional ILO Indonesia menyambut acara dengan menyampaikan bahwa penting bagi kita untuk merekognisi kerja keperawatan di Indonesia. Hal ini agar perempuan sebagai pihak yang dominan berada di sektor kerja keperawatan bisa mendapatkan perlindungan dan pilihan di dalam sektor kerja ini. Kata pengantar dari Early berkorelasi dengan isi dari film dokumentar yang diputar kemudian. Di dalam film dokumenter hadir lima perempuan, yakni Arni, Natalia, Emmy, Erna, dan Riris. Kelima perempuan tersebut menyampaikan latar belakang, tantangan, serta keluhan dalam melakukan kerja perawatan sehari-harinya.
Selain itu juga disampaikan bahwa selama proses eksperimentasi, partisipan mencatat dan merekam kerja-kerja perawatan dan pengasuhan yang mereka lakukan di rumah tangga mereka, termasuk kerja domestik di kesehariannya. Pencatatan ini penting untuk dibandingkan dengan aturan jam kerja di Undang-Undang Cipta Kerja (40 jam per minggu) dan dihitung dengan perbandingan jumlah gaji untuk mendapatkan nilai valuasinya. Dalam proses memperoleh valuasi dari kerja perawatan yang mereka lakukan, para partisipan mengisi berapa pendapatan saat ini atau penghasilan terakhir jika sudah tidak bekerja. Kemudian, dari hasil pencatatan, ditemukan bahwa kelima partisipan memiliki jam kerja perawatan rata-rata sekitar 200 jam perbulannya, dimana dengan jam kerja tertinggi dipegang oleh Natalia dengan total 414,3 jam per bulan. Selain itu ditemukan, empat dari lima partisipan (kecuali Erna), melakukan pekerjaan perawatan melebihi standar kerja 40 jam per minggu. Bahkan Natalia, sebagai partisipan dengan jam kerja terbanyak, mendapatkan angka valuasi gaji sebesar 258,96 persen dari upah minimum yang berlaku. Meski sudah ada data perhitungan jam kerja dan valuasi gaji dari kerja keperawatan, akan tetapi tetap saja kerja-kerja keperawatan masih dianggap sebagai pekerjaan yang ‘remeh’. Hal ini karena adanya anggapan bahwa kerja perawatan tidak menguntungkan secara ekonomi dan tidak memerlukan kemampuan yang tinggi dalam melakukannya. Tidak berhenti di sini, temuan Magdalene dan ILO menyatakan bahwa mayoritas partisipan juga tidak mendapatkan dukungan dan perlindungan yang cukup dalam melakukan pekerjaan keperawatan, terkhusus pada aspek psikis. Dampaknya, stress dan burnout sering dialami oleh partisipan. Di sisi lain, beban psikis ini harus ditanggung sendiri oleh partisipan karena keterbatasan pilihan serta dukungan yang ia punya. Temuan lainnya, berdasarkan survei ILO dan Katadata Insight Center, dari jumlah responden 2.217, sebanyak 68,3 persen laki-laki menilai suatu kewajaran bahwa perempuan meninggalkan penghasilan untuk pekerjaan perawatan dan 66,2 persen perempuan juga menilai hal serupa, dimana menjadi suatu hal yang biasa terhadap keputusannya untuk meninggalkan penghasilan demi pekerjaan perawatan. Survei juga menemukan adanya konstruksi sosial bahwa perempuan memiliki beban yang ganda terkait kerja domestik, dimana sebanyak 61,6 persen laki-laki memiliki istri atau saudara perempuan dengan beban ganda dan 79,3 persen perempuan merupakan perempuan dengan beban ganda. Survei ini menunjukkan perempuan bertanggung jawab atas kerja perawatan dan kerja-kerja domestik lainnya. Lalu pada akhirnya, ini menjadi beban ganda tersendiri bagi perempuan. Selanjutnya, serangkaian temuan Magdalene dan ILO ini, dibahas lebih detail dalam diskusi. Selain dihadiri oleh Early dan Devi Asmarani, diskusi juga dihadiri oleh Eko Novi Ariyanti sebagai Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Selain itu, terdapat narasumber lainnya, yakni Diahhadi Setyonaluri, Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Universitas Indonesia; dan Wita Krisanti, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE). Tiap narasumber menyadari bahwa masalah soal kerja keperawatan berpengaruh besar bagi perempuan. Beban ganda dan konstruksi sosial mengenai urusan keperawatan, domestik, dan pengasuhan menjadi urusan perempuan, merupakan problem yang sistemik. Masyarakat mengkondisikan bahwa pekerjaan perawatan itu sewajarnya dilakukan oleh perempuan. Tak jarang, banyak perempuan turut menginternalisasi stigma tersebut ke dalam dirinya. Padahal, sesungguhnya, urusan pengasuhan itu bukan urusan perempuan saja. Perempuan berhak mendapatkan pilihan atas apa yang Ia ingin lakukan dan kerjakan. Oleh karena itu, dibutuhkan penyelesaian terhadap masalah ini, dengan melakukan advokasi terhadap masyarakat bahwa kerja perawatan adalah suatu pekerjaan, bukan usaha pengabdian semata. Bagi Early, advokasi dapat dimulai dengan menyebarkan pandangan tentang kerja keperawatan melalui sisi ekonomi. Seperti yang nampak pada eksperimentasi, dimulai melalui upaya pencatatan jam kerja dan valuasi gaji untuk menyadarkan masyarakat bahwa kerja perawatan merupakan kerja yang produktif dan memiliki nilai. “Perhitungan dengan melihat framing ke arah ekonomi ini akan membuat kita lebih menghargai, misalnya rekan-rekan PRT yang membantu keluarga itu mereka bekerja, bukan hanya mengabdi, sehingga perlu istirahat,” tambahnya. Pengentasan masalah kerja perawatan perlu dilakukan secara bertahap. Pertama-tama perlu ada advokasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal penghargaan terhadap kerja keperawatan sebagai kerja yang produktif. Setelahnya, melalui adanya pengakuan ini, motivasi untuk mendukung dan melindungi kerja keperawatan oleh berbagai pihak akan semakin meningkat, termasuk pemerintah. Dengan begitu, terbentuk sistem yang menyeluruh untuk melindungi tenaga kerja keperawatan, baik dari masyarakat melalui perubahan perspektif hingga pemerintah melalui realisasi kebijakan perlindungan sosial. Pada akhirnya, tanggung jawab keperawatan tidak lagi menjadi milik perempuan saja, melainkan semua pihak dalam sistem yang kolaboratif. (Kezia Krisan) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |