Pada tahun 2020 lalu, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) disahkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Peraturan ini diharapkan dapat mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Hal ini merupakan terobosan progresif untuk mengentaskan kekerasan seksual di lembaga pendidikan tinggi. Namun, hingga kini, implementasi peraturan tersebut masih abu-abu. Beberapa kampus sudah mulai menyusun peraturan tambahan untuk menyokong Permendikbudristek PPKS, tetapi beberapa kampus lainnya bahkan belum mengkaji peraturan menteri tersebut. Guna membahas implementasi Permendikbudristek PPKS, Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum (FH) Universitas Pancasila, serta Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia (APPHGI) menyelenggarakan diskusi publik dalam jaringan (daring) bertajuk “Urgensi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi” pada Senin (11/4/2022) lalu.
Hadir di diskusi sebagai pembicara, yaitu Siti Aminah Tardi (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan – Komnas Perempuan), Kunthi Tridewiyanti (APPHGI), dan Nur Rochaeti (Akademisi FH Universitas Diponegoro), dipandu Evarisan (Klinik Hukum Ultra Petita Semarang) sebagai moderator. Ani Purwantari (Ketua APPHGI) memberikan ceramah pembuka. Ia menyinggung pentingnya Permendikbudristek PPKS bagi segenap sivitas akademika di perguruan tinggi. Selanjutnya, Retno Saraswati (Dekan FH Universitas Diponegoro) dalam sambutannya menyinggung diskusi publik ini sebagai akselerasi untuk mengimplementasikan Permendikbudristek PPKS. Menurutnya, peraturan ini sangat penting, sebab menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Menutup sesi sambutan, Eddy Pratomo (Dekan FH Universitas Pancasila) menyampaikan dukungannya terhadap Permendikbudristek PPKS. Ia juga berharap Permendikbudristek PPKS segera didukung oleh Undang-Undang (UU) nasional, untuk memperkuat dasar hukumnya. Sesi materi dibuka oleh Kunthi Tridewiyanti. Dalam paparannya, diketahui bahwa relasi kuasa menjadi salah satu kendala terbesar yang dihadapi dalam kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Terutama, apabila pelakunya berada di satu lingkungan dengan korban. Kebanyakan korban kasus kekerasan seksual pun enggan melaporkan ke pihak kampus. Adanya Permendikbudristek PPKS menjadi angin segar untuk pemenuhan hak pendidikan pelajar serta merapikan alur penanggulangan kasus kekerasan seksual. Hal lain yang penting dari peraturan ini adalah sifatnya yang mengedepankan hak korban. “Dalam berbagai kasus, sering kali hak pelaku dimunculkan, sementara hak korban tenggelam,” tutur Kunthi. Siti Aminah Tardi memaparkan temuan Komnas Perempuan terkait kekerasan seksual, terutama selama pandemi. Data Komnas Perempuan pada tahun 2021 menunjukkan adanya peningkatan aduan kekerasan seksual sebesar 50% dibanding tahun 2020. Sepanjang tahun 2017-2021, terdapat peningkatan kasus Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) sebagai kekerasan dominan yang menimpa perempuan. Dalam konteks pendidikan, perguruan tinggi menempati posisi pertama sebagai lembaga pendidikan dengan kasus kekerasan seksual tertinggi. Oleh sebab itu, Permendikbudristek PPKS sangat dibutuhkan. Siti juga menyebut adanya relasi kuasa sebagai hambatan dalam proses klaim keadilan. Khalayak yang cenderung lebih mempercayai pelaku yang memiliki otoritas keilmuan dan keagamaan biasanya akan menyalahkan korban. Nur Rochaeti menutup paparan dengan menjelaskan kondisi penerapan Permendikbudristek PPKS di Universitas Diponegoro. Menurutnya, saat ini Universitas Diponegoro tengah menyusun landasan peraturan rektor, yang nantinya akan menindaklanjuti Permendikbudristek PPKS sekaligus menjawab kekhawatiran sivitas akademika Universitas Diponegoro mengenai isu kekerasan seksual. Ia juga mendorong disahkannya payung hukum bagi Permendikbudristek PPKS, seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), agar peraturan tersebut dapat didukung oleh peraturan yang lebih kuat. Selain itu, adanya payung hukum berbentuk UU nasional juga mencegah kekosongan dalam hierarki hukum. Mengenai hal tersebut, Rochaeti mendorong kelompok pelajar, akademisi, dan jaringan masyarakat untuk terus bekerja sama mengawal pengesahan UU TPKS. “Diperlukan kerja sama dengan berjejaring,” ujarnya. Berita baiknya, pada Selasa (12/4/2022) keesokan harinya, RUU TPKS resmi diundangkan menjadi UU TPKS oleh DPR RI. Hal ini dapat mengamankan posisi hukum dari Permendikbudristek PPKS, sehingga peraturan tersebut menjadi lebih kuat dan tidak bermasalah secara hierarki hukum. Dibutuhkan pengawalan dari semua pihak agar penerapan UU tersebut menjadi maksimal dalam melindungi korban dan saksi. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |