Aborsi merupakan suatu tindakan dari seorang perempuan atas kehendak dirinya dalam menggugurkan kandungannya. Tindakan aborsi sendiri mengundang pro dan kontra di dalam masyarakat. Bagi kelompok pro aborsi atau yang biasa dikenal sebagai pro-choice, aborsi merupakan suatu hak yang perempuan atas tubuhnya. Sedangkan, di sisi lain Kelompok kontra aborsi atau kelompok pro-life menganggap aborsi adalah tindak kriminal dan amoral. Untuk membahas permasalahan aborsi, Forum Let’s Talk About Sex n Sexualities (LETSS Talk) mengadakan bincang-bincang seri ke-55 dengan tajuk “Ke Arah Aborsi Sebagai Hak” pada Minggu (2/26/2023) lalu. Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan secara daring dengan menghadirkan lima narasumber, yakni K.H. Husein Muhammad (Pengasuh Pondok Pesantren Dar el-Fikr dan Ketua Yayasan Fahmina), dr. Marcia Soumokil (Dokter dan Direktur Eksekutif Yayasan IPAS Indonesia-Mitra Keadilan Reproduksi), Ninuk Widyantoro (Psikolog dan Pendiri Yayasan Kesehatan Perempuan Jakarta), KBP Sumy Hastry Purwanti (Dokter Spesialis Forensik Kepolisian Republik Indonesia), Rita Serena Kalibonso (Advokat dan Pendiri Mitra Perempuan) serta Farid Muttaqin (Pendiri LETSS Talk; Kandidat Ph.D. Departemen Antropologi State University of New York, Binghamton, New York, AS) sebagai moderator. Sebelum pemaparan narasumber, terdapat sambutan yang diberikan oleh Ira selaku perwakilan LETSS Talks. Ira menyampaikan alasan dari tujuan keberlangsungan diskusi ini, pertama adalah agar dapat terbangun sebuah ruang dialog, khususnya mengenai hak keadilan reproduksi serta hak perempuan. Kedua, dapat menghadirkan alternatif pemikiran atau diskursus mengenai aborsi yang tidak hanya menekankan aborsi dari segi penghakiman atau bahkan kriminalitas. Selanjutnya, Farid Muttaqin selaku moderator membuka awalan diskusi dengan lontaran pertanyaan terkait seberapa banyak kasus yang terjadi antara aborsi aman dengan kasus aborsi tidak aman di Indonesia. Jawaban atas pertanyaan tersebut dilihat dari historisitas kemunculan aborsi dan perkembangannya di masyarakat. Hal ini dipaparkan oleh Ninuk Widyantoro sekaligus Pendiri Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Beliau memaparkan, kemunculan aborsi di Indonesia ada setelah prgram Keluarga Berencana (KB) mulai diwajibkan yaitu pada tahun 1970. Saat ini dapat dibilang bahwa aborsi aman di Indonesia masih jauh dari kata benar, meskipun pelayanan yang dilaksanakan telah menjunjung nilai-nilai medis. Hal tersebut dapat ditemukan dari absennya kegiatan konseling serta pelaksanaan aborsi yang sembrono, tanpa mempertimbangkan keselamatan. Selanjutnya, Farid sebagai moderator juga mempertanyakan bagaimana pelayanan aborsi di Indonesia saat ini yang tentu telah berbeda dari sebelumnya. Pertanyaan ajuan tersebut terjawab oleh Marcia Soumokil selaku Direktur Eksekutif Yayasan IPAS Indonesia, yang memaparkan bahwa di Indonesia sendiri tidak ada data yang secara gamblang menjawab hal tersebut. Yang ada hanya survei yang dilaksanakan selama 20 tahun sekali. Maria menyebutkan, dari survei tersebut didapat hasil bahwa pada tahun 2018 terdapat 1,7 juta kasus aborsi di Pulau Jawa. Dari besaran kasus tersebut, diketahui bagaimana masyarakat melaksanakan aborsi, yaitu melalui penggunaan jamu, pil, hingga metode pijat. Berbicara mengenai metode aman dan tidak aman, perlu dilihat dari arti terminologi itu sendiri. World Health Organization (WHO) sebagai organisasi kesehatan dunia telah membagi menjadi dua cara: Pertama dengan metode surgical (bedah). Kedua, dengan menggunakan obat-obatan pada usia kehamilan yang tepat. Pembahasan berikutnya adalah terkait tanggapan kepolisian mengenai aborsi, baik dari segi data terutama ketika kasus aborsi menjadi kasus hukum. Tanggapan diberikan oleh Hastry selaku Dokter Spesialis Forensik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memaparkan, data aborsi dan hukum terdapat dalam satuan Mabes Polri. Selain itu, dapat dikatakan jika belum ada data pasti mengenai keterkaitan aborsi dengan hukum. Moderator menanggapi dengan memantik diskusi baru, ia mempertanyakan efek kasus aborsi yang ditutupi dari masyarakat. Pertanyaan diskusi ini dijawab oleh Marcia, bahwa pada dasarnya stigma aborsi sangat memberikan pengaruh buruk yang kuat, baik terhadap perempuan, pemberi layanan kesehatan, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Kekuatan akan stigma ini berimbas pada bagaimana perempuan, khususnya para penyintas pemerkosaan, mencari tempat atau layanan aborsi aman. Seiring perkembangan dan pembahasan aborsi saat ini, kita perlu menghilangkan stigma bahwa perempuan melakukan aborsi hanya karena memikirkan dirinya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ninuk, pelaksanaan atau pemutusan aborsi pasti juga melibatkan pertimbangan yang kompleks, seperti kualitas bayi, pertumbuhan bayi mendatang, dan tentu kehidupan setelah aborsi. Ketika kita sudah memahami tujuan aborsi tidak sebatas memenuhi keegoisan perempuan, maka kita akan lebih mudah melihat aborsi sebagai hak dan pilihan. Secara singkat, perubahan pola pikir adalah hal penting untuk dapat memahami dan berempati terhadap aborsi. K.H. Husein Muhammad selaku Pengasuh Pondok Pesantren Dar el-Fikr, menyambung pemaparan materi dengan membahas terkait keputusan dan rekomendasi dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 mengenai "Perlindungan Jiwa Perempuan dari Bahaya Akibat Perkosaan". Pertama, hukum melindungi keselamatan korban perkosaan adalah wajib berapa pun usia kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan maupun menghentikan kehamilan sesuai dengan perlindungan medis atau psikiatris. Kedua, semua pihak mempunyai tanggung jawab dalam melindungi perempuan akibat kehamilan dari perkosaan. Ketiga, hukum bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab dan kemampuan tetapi tidak memberikan perlindungan pada perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan itu adalah haram. Pada intinya, yang perlu dan penting adalah transformasi untuk membuat isu aborsi menjadi terbuka dan tidak ditutup-tutupi kepada masyarakat luas.
Rita Kolibonso, sebagai perwakilan dari Pendiri Mitra Perempuan, memaparkan permasalahan hukum di Indonesia dalam orientasinya masih belum menyentuh perempuan yang mengalami kehamilan tidak rencanakan (KTD). Selanjutnya, Rita menjelaskan bahwa hal paling penting saat ini adalah Indonesia telah memiliki dan mengalami perubahan Undang-Undang mengenai upaya menghentikan pidana aborsi. Tenaga kesehatan yang berhak memberi regulasi mengenai kesehatan reproduksi. Pemaparan terakhir dilakukan oleh Ninuk Widiyantoro mengenai situasi di Indonesia dari beberapa aspek terkait layanan hak-hak pelaksanaan aborsi. Ninuk menyampai bahwa pelaksanaan aborsi di Indonesia layaknya benang kusut yang sulit terurai. Hal ini dapat ditinjau dari pernikahan dini yang tanpa disadari menjadi salah satu pemicu terbesar. Pernikahan anak usia dini disebabkan kurangnya pengetahuan pada masyarakat. Keputusan para pembuat kebijakan juga berpengaruh pada persoalan-persoalan seperti ini. Paparan lanjutan dijelaskan oleh K.H. Husein Muhammad yang menjelaskan pengetahuan keagamaan kaum Muslimin merupakan produk abad pertengahan Timur Tengah yang misoginis. Oleh karena itu, sudah saatnya kita memahami teks keagamaan secara terbuka. Kyai Husein menyatakan, sumber persoalan terdiri dari dua kata, yaitu "kekuasaan laki-laki" dan "perempuan sebagai sumber kekacauan sosial". Berbicara mengenai agama pada dasarnya menjadi suatu hal penting untuk membicarakan dan menanggapi isu-isu seksualitas, seks, dan reproduksi saat ini. Rita Kolibonso masuk ke diskusi. Ia menyatakan, pembahasan moral adalah penting dan pendidikan seksualitas komprehensif menjadi bagian yang wajib di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, Rita juga berharap masyarakat tidak hanya bekerja sama antar disiplin ilmu, tetapi juga ketiga berbicara mengenai kemanusiaan, keadilan, dan tidak ada yang ditinggalkan. Sebagai penutup, Marcia menyatakan bahwa semuanya kembali lagi mengenai bagaimana mendorong laki-laki untuk memahami persoalan otonomi tubuh perempuan, dan kehamilan, menyusui, dan aborsi merupakan keputusan perempuan Pada dasarnya, cara pandang, model diskusi, dan perilaku mengenai hak-hak reproduksi, hak perempuan, dan hak-hak kita sebagai manusia itu tidak lain berkaitan dengan proses belajar. Sudah sepatutnya kita mulai terbuka untuk belajar berempati dan menghargai otonomi tubuh perempuan. Melalui pembelajaran dan keterbukaan dalam berbicara mengenai seks, reproduksi, dan seksualitas, maka kita dapat memahami kenapa ketidakadilan itu dapat terjadi. (Esa Geniusa Religiswa Magistravia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |