Dalam situasi bencana, berbagai pihak harus bahu-membahu agar kondisi tidak semakin buruk akibat respons bencana yang kurang memadai. Keterlibatan kaum muda dalam respons bencana bukanlah hal baru, tetapi bentuk keterlibatannya perlu dikritisi: apakah mereka sudah dilibatkan secara strategis sejak tahap perencanaan? Itulah yang berusaha dijawab dalam penelitian pelibatan kaum muda dalam respons kemanusiaan yang telah dilakukan oleh lima anak muda, bekerja sama dengan Plan Indonesia. Berkaitan dengan itu, pada Sabtu (26/8/2023), Plan Indonesia menyelenggarakan webinar untuk memaparkan hasil riset terkait respons kemanusiaan yang dilakukan anak muda. Acara dibuka dengan sambutan oleh Berton Panjaitan, Direktur Mitigasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Berton menyampaikan bahwa ia mendorong anak muda untuk melakukan inovasi yang mampu menjawab tantangan secara lokal tetapi bisa berdampak luas. Ia menyambut baik penelitian humanitarian yang telah dilakukan para peneliti muda dalam proyek ini.
Acara dilanjutkan dengan presentasi dari perwakilan tim peneliti muda dari Plan Indonesia: Arwa, Yoris, dan Amir. Riset dimulai pada Februari dan berakhir pada awal Juni 2023, dan dilakukan di lima wilayah yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi Barat. Riset ini merupakan kerja sama antara kaum muda dengan Plan Indonesia. Tujuan riset ini salah satunya adalah mengetahui strategi terbaik pelibatan kaum muda dalam respons kemanusiaan, dan mengetahui apakah ada kebijakan lokal dan nasional terkait keterlibatan kaum muda dalam respons kemanusiaan. Penelitian dilakukan dengan metode mixed method dengan survei daring, FGD, dan wawancara mendalam. Penelitian melibatkan 385 responden kaum muda (usia 18-24 tahun) dari 5 provinsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa 65,4% responden pernah terlibat dalam respons kemanusiaan, yang dinilai sebagai tren positif. Sementara 61,6% responden survei tidak tergabung dalam organisasi atau komunitas yang berfokus pada respons kemanusiaan, tetapi 25,6% dari mereka tetap pernah terlibat dalam respons kemanusiaan. Salah satu hasil wawancara menunjukkan misalnya kelompok remaja masjid terlibat dalam respons kemanusiaan meskipun bukan merupakan komunitas yang berfokus dalam isu bencana. Mirisnya, hanya 14,9% responden yang menyatakan bahwa mereka diberikan ruang yang cukup untuk memimpin dan menjalankan respons kemanusiaan secara mandiri di lingkungan setempat. Secara motivasi, 79% kaum muda menajwab bahwa mereka ingin terlibat dalam respons kemanusiaan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kaum muda hanya dilibatkan dalam pelaksanaan, tetapi tidak dilibatkan dalam perencanan. Kebanyakan dari mereka terlibat dalam distribusi bantuan dan kegiatan fisik lainnya karena anak muda dianggap memiliki fisik yang lebih prima. Namun, melalui komunitas mereka, kaum muda juga melakukan fungsi penyediaan dukungan psikososial dalam situasi bencana. Terkait pengalaman mereka melakukan respons kemanusiaan di situasi bencana, kebanyakan responden merasa kapasitas mereka diragukan oleh pihak pemerintah di lapangan. Terkait kapasitas anak muda, penelitian menemukan adanya daerah-daerah yang secara rutin memberikan kapasitasi terkait respons bencana kepada anak muda, tetapi tidak merata. Sebanyak 61,6% responden menyatakan tidak diberikan pemahaman yang mengakomodasi perbedaan kebutuhan berdasarkan gender, usia, dan disabilitas atau GEDSI. Terkait kebijakan, ditemukan bahwa belum ada payung hukum dari tingkat nasional sampai lokal yang mengakomodasi secara khusus kaum muda sebagai aktor kemanusiaan, meskipun faktanya anak muda amat terlibat di lapangan. Tim peneliti juga menilai bahwa kebijakan dan regulasi terkait bencana dinilai kaku dan bersifat hanya berupa komando atau perintah. Penelitian juga menyebutkan praktik-praktik baik terkait peningkatan kapasitas kaum muda dalam respons kemanusiaan. Misalnya adanya pelibatan kaum muda dalam penyusunan rencana kontijensi dan rencana operasional desa, dan kaum muda sebagai fasilitator dan pendidik sebaya dalam sekolah tangguh bencana. Kesimpulan penelitian ini adalah, sebagian besar kaum muda memiliki pengalaman dalam respons kemanusiaan, tetapi kualitas pelibatannya perlu diperhatikan kembali. Kaum muda juga perlu diberikan peningkatan kapasitas dalam respons bencana atau kemanusiaan, misalnya pelatihan pemahaman GEDSI. Berdasarkan motif kaum muda mengikuti respons kemanusiaan yaitu rasa kemanusiaan tinggi, tim peneliti muda berpendapat bahwa motivasi anak muda ini perlu didukung oleh kapasitas dan dukungan yang memadai dari berbagai pihak. Dalam tanggapannya, Berton dari BNPB menyatakan bahwa sebenarnya anak muda dapat terlibat dalam lebih banyak hal. Misalnya, ia belum melihat anak muda menggunakan media sosial untuk melakukan edukasi terkait bencana. Terkait kekakuan, Berton menganggap bahwa dalam respons bencana memang dibutuhkan kekakuan tersebut, tetapi bukan berarti anak muda perlu ikut menjadi kaku. Ia berharap anak muda justru dapat mengatasi kekakuan tersebut. Mengenai ruang yang dikatakan sempit bagi anak muda dalam terlibat, ia tidak setuju dan mengatakan bahwa pemuda dapat memanfaatkan sumber daya seperti dana desa untuk melakukan kegiatan terkait respons kemanusiaan. Dalam sesi diskusi, tim peneliti muda mendapatkan beberapa apresiasi, pertanyaan dan masukan. Masukan yang cukup penting adalah bahwa rekomendasi penelitian masih bersifat terlalu umum, tidak secara spesifik memberikan rekomendasi aksi yang dapat dilakukan oleh aktor-aktor terkait. Arwa sebagai perwakilan tim peneliti menanggapi bahwa masukan-masukan dapat dilakukan dalam penelitian berikutnya. (Asri Pratiwi Wulandari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |