Rabu, 6 Desember 2017, Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan bekerjasama dengan Program Studi Magister Sosiologi Universitas Airlangga dan Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI) didukung oleh Ford Foundation. Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan yang diadakan di Gedung Adi Sukadana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga menghadirkan Prof. Dr. Emy Susanti, MA (Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga), Abby Gina (Redaksi Jurnal Perempuan), Erma Susanti (Wakil Direktur Women and Youth Development Institute of Indonesia) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai Moderator . Pendidikan Publik ini dibuka oleh Dekan Fakultas Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Dr. Falih Suaedi. Dalam sambutannya Dr. Falih mengungkapkan bahwa isu perempuan belum terintegrasi dlm strategi pembangunan. Setelah sambutan dari Dekan FISIP Universitas Airlangga, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, M.Sc memberikan pidato kunci terkait diskusi yang akan membahas status perempuan nelayan. "Dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan, namun lautan belum menjadi prioritas, tentu tidak aneh profesi nelayan hadir di seluruh Indonesia disamping petani. Secara budaya Indonesia telah lama mengklaim memiliki budaya maritim, hal tersebut ada dalam lagu-lagu, misalnya 'Nenek Moyang Ku Seorang Pelaut', tapi seberapa besar pengetahuan kita tentang laut dan manusia-manusia yang hidup dari dan bersama dengan laut?", tutur Atnike. Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan tersebut menjelaskan bahwa secara budaya masyarakat kerap kali menerima begitu saja pelabelan bahwa pekerjaan nelayan adalah pekerjaan laki-laki. Hal lain yang digaris bawahi oleh Atnike ialah soal kerja-kerja perempuan di sektor perikanan yang perlu diakui oleh negara seperti membersihkan, mengolah dan menjual hasil tangkapan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Jurnal Perempuan, Atnike menyebutkan bahwa perempuan nelayan memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian keluarga nelayan dan perekonomian bangsa. Hadirnya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia merupakan bukti bahwa perempuan mampu memimpin di institusi pemerintahan yang dianggap 'maskulin'. Namun menurut Atnike, tidak semua perempuan dapat mencapai hal tersebut, khususnya perempuan nelayan tradisional yang hidup dalam rantai kemiskinan struktural. Lebih jauh Atnike menjelaskan bahwa ada pembagian kerja yang bias dalam konteks rumah tangga maupun sosial, yaitu perempuan dilekatkan dengan identitas pekerjaan domestik dan laki-laki dengan pekerjaan publik. Dikotomi publik-domestik tersebut membuat kerja perempuan nelayan di ruang publik masih dianggap hanya 'membantu' suaminya saja. "Pandangan yang bias tentang kerja publik dan domestik, mengakibatkan pengabaian terhadap fakta bahwa ada perempuan nelayan yang melaut", tegas Atnike. Menurut Atnike, produk dan pelaksanaan kebijakan belum membawa dampak positif tergadap kehidupan perempuan nelayan, sehingga menurutnya pemerintah dan juga para akademisi perlu memberikan perhatian lebih terhadap kontribusi ekonomi perempuan nelayan dalam sektor perikanan. Tidak diakuinya perempuan nelayan sebagai nelayan berdampak pada minimnya akses kredit dan asuransi untuk perempuan nelayan. "Pengabaian eksistensi perempuan dalam sektor kelautan adalah akar ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan", tegas Atnike. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |