Untuk menjembatani polarisasi pandangan akan RUU tersebut, anggota Baleg DPR dari Fraksi PPP, Illiza Sa’aduddin Djamal mengusulkan dalam rapat hari pertama Senin (12/7) agar pembahasan RUU PKS dibawa ke Panitia Khusus (Pansus) DPR. “Saya takut ini deadlock lagi. Di satu sisi, kita paham bahwa korban membutuhkan lahirnya aturan perundang-undangan. Dari masukan yang ada, ini harus dibahas secara komprehensif,” ujar Illiza. “Kami sangat paham terkait kekosongan hukum yang ada.”
Illiza mengatakan pihaknya mengerti bahwa ada kekosongan hukum yang berfungsi sebagai acuan permasalah kekerasan seksual, dan PPP sejak awal mempunya perhatian terhadap RUU PKS. Anggota Baleg lainnya, Taufik Basari, mengatakan dalam rapat dengar pendapat hari kedua Selasa (13/7) bahwa kesalahpahaman beberapa kelompok masyarakat yang menentang RUU PKS ini dapat menghambat pembahasan dan pengesahannya, sehingga perlu ada dialog dan edukasi untuk meluruskan pemahaman yang berbeda itu. Menurutnya, RUU PKS justru dapat menjamin adanya perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan upaya-upaya pemulihan korban. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat selama 2020, ada 4.849 orang yang mengalami kekerasan seksual. "Menurut saya, pengalaman pahit korban itu adalah fakta. Dasar yang seperti ini, kalau kita bicara metodologi, maka ini dasar yang paling valid. Kalau menurut saya, sumber yang primer," ujar anggota Fraksi Partai NasDem itu. "Dengan tingginya jumlah korban pelecehan seksual, seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak agar mengawal dan mengesahkan RUU PKS menjadi undang - undang," ujarnya. RUU PKS adalah salah satu dari 33 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 berdasarkan kesepakatan dengan Kementerian Menteri Hukum dan HAM dalam rapat kerja 3 Maret lalu. Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang mewakili jaringan masyarakat sipil pendukung RUU PKS mengatakan dalam rapat hari kedua bahwa RUU PKS tidak hanya untuk kepentingan kelompok perempuan, karena dari angka kekerasan yang ada, korban kekerasan juga meliputi laki-laki, anak-anak, dan kelompok marginal serta disabilitas, karena itu adanya undang-undang tersebut akan memenuhi keadilan yang setara bagi semua korban kekerasan seksual terlepas korban berasal dari kelompok apa. Dari sisi performa negara, Mike mengatakan RUU PKS adalah bagian dari implementasi Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) atau SDGs yang akan memastikan “semua pihak tidak terabaikan dan berhak mengakses keadilan yang sama.” Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir, tren kasus kekerasan seksual masih tercatat dalam ranah domestik, namun saat ini kekerasan seksual sudah mengarah ke ranah publik yang terjadi di tempat kerja, kampus, sekolah, bahkan di lembaga-lembaga keagamaan, serta di ruang publik lainnya. Mike mengatakan RUU PKS menjadi jalan bukan saja sebagai payung hukum tapi juga sebagai kultur yang bersama saling menghargai dan sama-sama mencegah kekerasan seksual di mana pun berada. “Kalau kita bicara tentang RUU PKS, itu adalah suara korban. Suara korban yang selama ini sulit harus bersuara atau mengadu karena budaya yang patriarki, dan juga suara pendamping korban yang tidak punya acuan yang pasti untuk mendampingi korban,” ujar Mike. “RUU PKS juga adalah suara penegak hukum yang tidak punya landasan hukum yang kuat dalam menghadapi kasus-kasus yang belum ada landasan hukum yang spesifik ketika menangani kasus-kasus kekerasan seksual,” tambahnya. Turut hadir dalam rapat dengar pendapat umum hari pertama antara lain Ketua Aliansi Cinta Keluarga, Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Univesitas Darussalam Gontor, Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian Majelis Ulama Indonesia, dan Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Di rapat hari kedua, Baleg mengundang Koalisi Perempuan Indonesia, Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Psikolog Tenaga Ahli Psikolog Klinis di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Cendekiawan Muslimah Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an Jakarta, dan Guru Besar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |