"Jika kita melihat agama sebagai suatu gejala sosial, maka apa itu agama?", pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Dr. Robertus Robet, Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, dalam pertemuan keempat Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan dengan tema "Feminisme dan Agama" pada hari Kamis, 7 Juni 2018. Pada pertemuan terakhir Kaffe ke-11 tersebut, Robertus Robet mengangkat topik "Sosiologi Agama" yang membahas pandangan dari para tokoh-tokoh penting dalam sosiologi tentang agama. Dalam pertemuan tersebut, Robet menjelaskan secara lebih lanjut jawaban dari salah satu peserta yang mengatakan bahwa agama merupakan kepercayaan pada sesuatu yang besar. Robet menjelaskan bahwa dalam agama terdapat suatu Tramendum Absurdumdan Tramendum Et Fascinosum, suatu getaran kekaguman yang dirasakan oleh manusia terhadap suatu hal yang sangat besar di luar jangkauannya dan membuat manusia percaya akan hal tersebut. Robet melanjutkan dengan menjelaskan pandangan agama menurut Émilie Durkheim, Karl Marx, Max Weber, Talcott Parsons, dan Sigmund Freud. Tokoh pertama yang dibahas oleh Robet adalah É. Durkheim, yang melihat agama memiliki beberapa ciri, antara lain sebagai berikut: (1) Agama selalu memiliki dimensi kolektivitas, tidak ada agama yang tidak memiliki dimensi kolektivitas. Kemudian kolektivitas tersebut membentuk suatu kesepakatan dalam agama yang mewajibkan pemeluknya untuk melakukan kesepakatan bersama. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa agama memiliki sifat memaksa; (2) Dalam agama, kepercayaan dan praktik merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Ketika kita percaya pada sesuatu maka kita harus mempraktikkan apa yang kita percaya tersebut; (3) Agama juga selalu melakukan pemisahan antara yang kudus dan yang profan. Apa yang kudus merupakan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia, sedangkan yang profan merupakan hal-hal yang tidak terlepas dari sehari-hari kehidupan manusia; (4) Agama secara konseptual selalu dipisahkan dari magis. Secara garis besar, Durkheim menekankan pada tiga hal dalam agama yaitu kolektivitas, institusi, dan relasi. Dari pandangan Durkheim mengenai agama, kita dapat memahami mengapa manusia terikat dengan agama dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh lain yang dibahas oleh Robet adalah Karl Marx. Kita tentu mengenal pandangan Marx mengenai agama yang mengatakan bahwa agama adalah candu. Robet menjelaskan bahwa banyak pihak yang salah kaprah dalam memahami agama adalah candu sebagaimana yang diutarakan oleh Marx. Padahal agama adalah candu hanya merupakan sedikit dari keseluruhan yang Marx maksudkan mengenai agama. Bagi Marx, agama adalah ekspresi dari suatu penderitaan yang nyata serta merupakan suatu bentuk protes melawan penderitaan. Relasi kelas dilihat oleh Marx sebagai penyebab penderitaan yang membuat masyarakat melarikan diri kepada agama. Robet pun menyandingkan pandangan Max Weber tentang agama, bagi Weber, agama muncul sebagai bagian untuk memberikan makna. Kebutuhan untuk memberikan makna dalam berhadapan dengan aneka macam kesulitan hidup. Berbeda dengan Marx, justru Weber melihat agama secara positif, menurut Weber, agama adalah cara yang digunakan manusia untuk berhadapan dengan lingkungan sosial-ekonomi, politik, dan alam. Robet melanjutkan penjelasannya dengan menyampaikan pertanyaan utama dari pokok pikiran Talcott Parsons, yakni, "Bagaimana suatu tatanan masyarakat bertahan dan lestari?" Parsons menjawabnya dengan empat fungsi yang harus ada jika ingin masyarakat bertahan dan lestari. Empat fungsi menurut Parsons tersebut adalah; (1) fungsi adaptasi yang berada dalam kemampuan ekonomi; (2) fungsi pencapaian tujuan bersama yang berada dalam politik; (3) fungsi integrasi melalui hukum; (4) fungsi perawatan melalui kebudayaan dan pendidikan. Agama bagi Parsons adalah institusi yang memiliki fungsi untuk membentuk agama masyarakat itu menjadi fungsional dalam masyarakat itu sendiri. Tokoh terakhir yang dibahas oleh Robet adalah Sigmund Freud yang dalam bukunya berjudul Totem and Taboo mengatakan bahwa inti dari agama adalah adanya figur primal father. Dalam buku tersebut, Freud mengisahkan tentang seorang ayah dalam satu suku yang memiliki kuasa untuk memiliki seluruh perempuan dalam suku tersebut. Anak laki-laki dari sosok ayah tersebut sangat membenci tapi sekaligus kagum dan menakuti sosok bapaknya tersebut. Akhir cerita, mereka membunuh bapaknya sendiri dan mulai membagi kenikmatan yang dulu hanya dimiliki oleh ayahnya. Agama menurut Freud suatu mekanisme untuk mengatur kenikmatan. Dari pandangan para tokoh sosiologi agama tersebut, Robet menjelaskan bahwa dalam sosiologi agama belum terdapat suatu posisi yang melihat agama secara feminis. Hal ini karena agama-agama itu sendiri masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat serta menganggap perempuan sebagai sumber dosa sedangkan laki-laki sosok yang suci. Robet menyatakan bahwa hal ini menjadi suatu tantangan baru untuk menghasilkan teologi feminis yang baru itu seperti apa dan bagaimana teologi feminis tersebut disesuaikan dan diakomodasi dalam budaya politik patrimonial di Indonesia. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |