Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan kewajiban negara. Pun begitu, pelanggaran HAM tetap menjadi isu yang tidak lekang, terkhusus bagi negara-negara di region Asia Tenggara atau negara anggota ASEAN. Pada tahun ini, Indonesia mengambil posisi strategis sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Summits ke-43 dengan tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. Agenda besar ini disambut oleh masyarakat sipil dengan menyelenggarakan ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum (ACSC/APF) 2023 pada tanggal 1-3 September 2023 di Universitas Katolik Indonesia (UKI) Atma Jaya, Jakarta. Acara ini dihadiri kira-kira 1000 orang secara tatap muka maupun daring. Konferensi ini adalah agenda tahunan yang diselenggarakan oleh Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dengan tujuan mendukung agenda HAM masuk sebagai salah satu agenda utama ASEAN. Tahun ini, ACSC/APF membawa wacana seputar perebutan ruang aman, mengembalikan demokrasi, dan keadilan di ASEAN. Hari Pertama – Menanggapi Kemerosotan Demokrasi di Asia Tenggara Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi tren penurunan indeks demokrasi di Asia Tenggara. Salah satu kasus terberatnya adalah di Myanmar, dimana junta militer mengudeta pemerintah yang sah. Karena perebutan kekuasaan di antara para elite, masyarakat sipil menjadi korban. Mereka kehilangan banyak sekali hak, bahkan hak untuk hidup aman. Belum termasuk berbagai kasus impunitas hukum yang tidak kunjung usai—sebutlah kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM 1998 di Indonesia yang masih membekas. Permasalahan seperti ini seharusnya menjadi salah satu agenda utama dari kerja-kerja ASEAN. Pada hari pertama, diselenggarakan beberapa Diskusi Pleno. Diskusi pertama bertajuk "Reclaiming safe space, restoring democracy, and equity in ASEAN!" dan mengundang berbagai aktivis HAM dari Asia Tenggara, di antaranya Sumarsih (Aksi Kamisan), seorang representasi dari Myanmar, Chandy Eng (Gender and Development for Cambodia–GADC), dan Maulani Agustiah (ASEAN Disability Forum–ADF), dengan Lini Zurlia sebagai moderator. Sumarsih membuka dengan memaparkan pengalamannya sebagai pejuang HAM. Kasus pelanggaran HAM yang menimpa anaknya, Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), kala Reformasi 1998 hingga kini tidak menemui titik terang. Ia tidak pernah berhenti memperjuangkan keadilan, bukan hanya bagi Wawan, tapi juga untuk seluruh korban pelanggaran HAM 1998. Dalam kesempatan ini, ia menggarisbawahi HAM sebagai jantung demokrasi. Sumarsih juga berbicara mengenai urgensi pertanggungjawaban judisial terhadap pelanggaran HAM. Hal ini penting untuk mencegah impunitas dan keberulangan. "Apa artinya demokrasi jika demokrasi itu tidak menyejahterakan rakyat?" ujarnya beretorika. Mikrofon kemudian dioper pada seorang perempuan pejuang HAM asal Myanmar. Untuk menjamin keamanan dan kerahasiaannya, ia hadir secara virtual. Di Myanmar, ratusan warga sipil telah ditahan dan mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh junta militer. Situasi ini menimbulkan krisis demokrasi dan HAM di Myanmar. Oleh karena itu, Myanmar membutuhkan atensi dan bantuan dari ASEAN. Krisis di Myanmar merupakan alarm keras yang seharusnya ditanggapi oleh negara-negara ASEAN. Sebagai tetangga, negara-negara ASEAN harus mengakui kegawatan kudeta Myanmar. Pada akhir penuturannya, ia mendorong perjuangan terhadap demokrasi yang inklusif. Ia juga berharap, konferensi ini dapat membangun solidaritas antarmanusia di kawasan Asia Tenggara. Selanjutnya, pembicaraan dilanjutkan oleh Maulani Agustiah, yang menyampaikan pentingnya ruang aman bagi masyarakat Asia Tenggara. Sebab, masyarakat Asia Tenggara diisi oleh berbagai kelompok yang saling berkelindan dan pula memiliki perbedaan kondisi. “Ruang aman bukan eksklusif bagi mereka yang termarjinalisasi,” ujar Maulani, “tapi harus ada dalam tiap masyarakat.” Aktivis ADF ini turut mengajak hadirin untuk melihat ruang aman sebagai perkakas untuk mencapai demokrasi dan pemenuhan hak, termasuk juga hak perempuan, melalui lensa interseksionalitas. Melanjutkan ide ini, Chandy Eng menekankan interseksionalitas diperlukan untuk mempertahankan demokrasi. Demokrasi yang sehat juga perlu melibatkan OMS untuk bekerja sama dan berkolaborasi. Chandy juga menyampaikan sebuah poin menarik, yakni untuk berhenti mengatakan “saya” alih-alih “kita” ketika menyinggung masalah-masalah di Asia Tenggara. Sebagai penutup, ia juga mendorong solidaritas masyarakat sipil Asia Tenggara dalam menanggapi krisis demokrasi. “Work together, strengthen our solidarity,” tukasnya. Hari Kedua – Peran Institusi dan Masyarakat Sipil dalam Mempromosikan Isu HAM Agenda hari kedua terdiri dari diskusi pleno dan lokakarya secara paralel ini dihadiri oleh para aktivis dan akademisi pembela HAM, prodemokrasi, dan isu-isu kemanusiaan lainnya.
Joko Kusnanto Anggoro selaku Staf Khusus Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Bidang Kerjasama Internasional, Yuyun Wahyuningrum selaku Komisi Antar Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR), Mercy Chriesty Barends selaku Anggota Parlemen ASEAN Bidang Hak Asasi Manusia, dan Atnike Nova Sigiro selaku Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM RI turut hadir mengisi Diskusi Pleno ke-3 sebagai perwakilan representasi dari institusi se-ASEAN. Dalam pleno tersebut, Anggoro mengingatkan pentingnya human development dalam mewujudkan kesejahteraan di wilayah Asia Tenggara melalui posisi strategis di institusi. Indonesia harus berkomitmen untuk memberdayakan dan melindungi hak komunitas sipil dalam mewujudkan iklim inklusivitas di ASEAN. Anggoro menyampaikan beberapa poin mengenai hal tersebut. Di antaranya, institusi harus memastikan keselamatan dan kesejahteraan pekerja berbagai sektor, termasuk pekerja migran; akses kesempatan pada disabilitas dalam keadilan sosial; menyuarakan kesetaraan gender dan membangun kesejahteraan keluarga; menyambungkan pedesaan dengan akses percepatan pembangunan; meningkatkan kualitas dan akses terhadap sistem pendidikan pada semua tingkat, termasuk di usia dini; dan memperhatikan keterlibatan kaum muda dalam posisi strategis pembangunan. Sesi berlanjut dengan paparan Yuyun tentang bagaimana peran institusinya, yakni AICHR, dalam menciptakan lingkungan yang mendukung keberlangsungan HAM. Secara umum, keberlangsungan HAM harus memenuhi hal-hal seperti: kerangka regional yang kokoh di kancah internasional; pemenuhan negara pada HAM, baik secara sikap dan perilaku; mekanisme wadah kritik dan saran yang mumpuni; dan partisipasi publik. Dalam konteks AICHR, pendekatan yang dilakukan ialah melalui kolaborasi antar pemangku kebijakan dan masyarakat sipil dalam mengadvokasi kepentingan HAM. Dalam kawasan Asia Tenggara sendiri, lanjut Yuyun, memiliki beberapa tantangan. Salah satunya keberagaman tradisi lokal yang mengharuskan perlakuan khusus sesuai konteks masyarakatnya. Mercy mempertanyakan bagaimana posisi Indonesia sebagai tuan rumah dalam KTT ASEAN ke-43 ini dalam membahas isu HAM. Ia dan pihaknya mengkritik Indonesia yang menggunakan silent dan soft diplomacy dalam hal ini. Ia mendorong aksi dan sikap diplomasi yang lebih kuat lagi. Tidak hanya negara, melainkan juga institusi internasional seperti ASEAN. Diskusi Pleno hari kedua ini ditutup oleh Atnike sebagai perwakilan institusi dalam negeri yakni Komnas HAM. Selain menangani pelanggaran HAM di Indonesia, pihaknya turut melakukan kerja sama transnasional dengan institusi-institusi HAM di kawasan Asia Tenggara. Komnas HAM pun konsisten berupaya mendorong pemerintah untuk meratifikasi pengaturan HAM internasional ke pengaturan dalam negeri. Dalam kepemimpinannya di ASEAN, diharapkan Indonesia dapat membawa kemajuan bagi demokrasi dan HAM yang inklusif pada tataran regional. Yang juga perlu ditekankan adalah ASEAN bukan semata-mata menjadi organisasi ekonomi kawasan, tetapi juga organisasi berbasis solidaritas negara-negara Asia Tenggara. Pembangunan sosial dan budaya juga harus diperhatikan untuk mencapai ASEAN yang lebih humanis. (Nada Salsabila dan Hany Fatihah Ahmad) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |