Selasa, 12 November 2017 bertempat di Bakoel Koffe, Cikini Jakarta Pusat, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, Women on Web, Institute for Criminal Justice Reform, yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar diskusi publik untuk membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengkriminalisasi perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi. Perihal aborsi memang sesuatu yang masih tabu untuk dibicarakan di Indonesia, sekalipun sebenarnya ada perangkat hukum di Indonesia yang memperbolehkan aborsi dengan aturan tertentu. Aborsi di dalam putusan Mahkamah Agung adalah hal yang ilegal dan bisa dikriminalisasikan baik kepada perempuan pelaku aborsi maupun tenaga medis yang membantu proses aborsi. Kasus kriminalisasi pada perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi pernah terjadi pada BL, akhir Juli 2017 lalu. Jaksa Penuntut Umum bahkan menuntut BL dengan ancaman pidana 8 tahun penjara, walaupun akhirnya Majelis Hakim memutuskan BL tetap bersalah namun hanya diberikan hukuman berupa pembinaan di Panti Sosial Mardi Putera (PSMP) Handayani milik Kementerian Sosial. Ada empat pasal yang dijadikan alasan untuk mengkriminalisasi tindakan aborsi dalam RKUHP yaitu pada bab XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Keenam tentang Pengobatan yang dapat Mengakibatkan Gugurnya Kandungan (Pasal 501) dan Bab XIX tentang Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kedua tentang Pengguguran Kandungan (Pasal 589, 590, dan 592). Padahal, menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan Permenkes No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan memperbolehkan terjadinya tindakan aborsi. Jadi, undang-undang atau perangkat hukum di Indonesia yang mengatur aborsi sangat kontradiktif. Semua pihak yang terlibat dalam tindakan aborsi bisa dipidanakan baik perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu tindakan aborsi tersebut. Sepanjang tahun 2012-2016 sudah ada 5 kasus kriminalisasi aborsi. Tenaga medis yang membantu proses aborsi biasanya dikenakan pasal penyalahgunaan kewenangan profesi untuk dikriminalisasi dan perempuan yang melakukan aborsi biasanya dikenakan pasal pembunuhan. Secara historis, hukum Indonesia lebih banyak menempatkan tindakan sebagai sebuah tindakan kejahatan, bukan mengenai persoalan kesehatan reproduksi perempuan apalagi otoritas tubuh perempuan. Data menunjukkan setidaknya setiap tahun kurang lebih ada 4.000 korban perkosaan, sehingga kehamilan pada korban perkosaan adalah keniscayaan. Tetapi, hukum di Indonesia karena copy-paste hukum Belanda zaman kolonial, masih sangat bias gender dan tidak menempatkan perempuan sebagai subjek hukum. Aturan aborsi yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU Kesehatan memperbolehkan aborsi dengan alasan kedaruratan medis dan bagi perempuan korban pemerkosaan untuk usia kandungan maksimal 6 Minggu/40 hari. Padahal kenyataannya menunjukkan bahwa kerap kali perempuan korban perkosaan tidak berani menceritakan perkosaan yang ia alami dalam kurun waktu yang singkat setelah ia diperkosa. Sekalipun ternyata aborsi memang diperbolehkan melalui undang-undang, tetapi lucunya tidak ada satupun rumah sakit di Indonesia yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan tindakan aborsi, padahal undang-undang aborsi untuk alasan kedaruratan dan perempuan korban perkosaan sudah ada. YKP sendiri sebenarnya berusaha agar aturan maksimal usia kandungan yang boleh diaborsi menjadi 12 Minggu, tidak 40 hari seperti yang diperbolehkan oleh MUI. Perihal lain yang menyulitkan perempuan korban perkosaan bisa mendapatkan izin untuk melakukan aborsi adalah karena tes visum untuk kasus perkosaan masih berbayar dan dibebankan kepada korban perkosaan. Hal ini semakin menyulitkan perempuan korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi secara legal dan rentan bagi mereka untuk dikriminalisasi. Di dalam diskusi ini ada beberapa jalan keluar yang diajukan untuk persoalan kriminalisasi terhadap tindakan aborsi pada perempuan korban perkosaan. Pertama, Demoralisasi nilai-nilai yang dilekatkan pada tindakan aborsi, perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu proses aborsi. Aborsi perlu dilihat sebagai tindakan medis yang dibutuhkan perempuan karena menyangkut otoritas tubuhnya. Kedua, dekriminalisasi perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu aborsi melalui revisiRKUHP terutama pada Pasal 501 dan 589 . Ketiga, biaya aborsi (juga visum) harusnya gratis dan disediakan dananya oleh negara karena perihal tindakan aborsi ini sudah diatur melalui UU. Keempat, korban perkosaan sebenarnya bisa diberikan pil anti hamil untuk menghindari kehamilan. Namun, obat ini hanya bisa bekerja 72 jam setelah kejadian perkosaan terjadi dan obat ini sangat sulit didapatkan dan diakses oleh masyarakat. Sosialisasi mengenai pil anti hamil ini juga tidak meluas, hingga hanya sedikit orang yang tahu perihal obat anti hamil ini. Kelima, dibutuhkan konselor yang ramah terhadap perempuan korban perkosaan dan mengerti isu-isu feminisme sehingga tidak menjustifikasi aborsi sebagai perbuatan yang amoral. Dengan demikian, kita bisa menghapuskan RKUHP yang menyebabkan perempuan korban perkosaan dikriminalisasi. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |