Dalam rangka memperingati 38 tahun ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) Senin (25/7) Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) mengadakan webinar yang berjudul “Tutur Perempuan: Kolaborasi Pentahelix dalam Mendukung Penerapan CEDAW”. Acara yang dimoderatori oleh Alva Aldini ini dihadiri oleh sejumlah narasumber yang telah lama bergelut dalam dunia isu perempuan yaitu Mariana Amiruddin (Wakil Ketua Eksternal Komnas Perempuan), Syanaz Nadia Winanto Putri (Pendiri Rorokenes), Luviana Ariyanti (Pemimpin Redaksi Konde.co), Abby Gina Boang Manalu (Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan), dan Soraya Oktaviani (Manager Program dan Pengembangan Sumber Daya IKa). Acara ini dibuka oleh pemaparan dari Mariana Amiruddin. Mariana menjelaskan bahwa pada dasarnya CEDAW sudah sangat tua kendati demikian penerapannya sangat sulit dilakukan. Hal itu disebabkan karena adanya budaya yang tidak mendukung kesetaraan gender. Mariana menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk kekerasan terhadap perempuan yaitu kekerasan kultural (stereotip dan peran gender), kekerasan struktural (perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi), dan kekerasan simbolik (iklan bahwa perempuan di rumah menyiapkan segalanya). Menurut Mariana untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan kita perlu menciptakan dekonstruksi budaya, struktur sosial, serta kebaruan simbol-simbol yang menunjukkan kesetaraan.
Sementara itu menurut Syanaz Nadia Winanto Putri dalam upaya meratifikasi CEDAW perlu ada semacam komitmen yang tinggi dalam menjalankan tujuan dari CEDAW. Salah satunya adalah mewujudkan ruang kerja yang aman untuk perempuan. Syanaz sebagai pendiri dari Rorokenes, salah satu merek lokal Indonesia, berupaya menjadikan Rorokenes sebagai bukan hanya usaha namun juga ladang untuk pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan itu kemudian tercermin dari pengadopsian nilai Women’s Economic Empowerment dalam usaha miliknya. Para pekerja perempuan di Rorokenes diajari untuk memahami akses kepada pendapatan dan aset, kontrol dan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi, dan kemampuan untuk membuat keputusan. Dari perspektif media, Luviana Ariyanti menjelaskan mengenai pembagian tradisi jurnalisme. Selama ini ternyata terdapat dua ‘mazhab’ jurnalisme yaitu tradisi lama dan modern. Menurut Luviana, tradisi jurnalisme lama lebih memiliki warna obyektif dan berjarak dengan narasumber. Sementara itu tradisi jurnalisme baru lebih memiliki kecenderungan untuk melakukan penelusuran kepada semuanya dan berpihak pada yang lemah. Dalam konteks ini Konde.co memilih untuk berkolaborasi atau memiliki ‘mazhab’ tradisi jurnalisme modern. Sebab dengan berkolaborasi jurnalisme akan semakin kaya dan memiliki posisi untuk berpihak pada kelompok rentan, bukan hanya melakukan reportase namun juga advokasi. Selanjutnya, Abby Gina menjelaskan kekerasan terhadap perempuan dari perspektif akademisi. Menurutnya selama ini harusnya kekerasan terhadap perempuan dilawan melalui narasi pendidikan. Namun alih-alih demikian justru kekerasan terhadap perempuan marak di lingkungan pendidikan khususnya perguruan tinggi. Tidak jarang pula korban di lingkungan kampus malah mengalami perundungan, tidak mendapatkan perlindungan, bahkan ada juga yang berhenti berkuliah karena malu. Menurut Abby penyebab kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan ada tiga yaitu relasi kuasa, absennya lensa interseksionalitas, dan budaya kekerasan dan patriarki yang telah mengakar. Untuk memberikan perlawanan pada kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan, perlu ada semacam promosi budaya kesetaraan, penghormatan terhadap perbedaan, menumbuhkan pedagogi yang sensitif gender dan juga melibatkan dan menumbuhkan agensi kelompok muda sebagai agen perubahan. Yang terakhir, Soraya Oktaviani menjelaskan bagaimana pentingnya berjejaring untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya kekerasan terhadap perempuan perlu dibahas dari berbagai aspek. Bersama itu pula Soraya memperkenalkan Pundi Perempuan. Pundi Perempuan adalah sebuah program dana hibah yang diinisiasi sejak tahun 2001 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Nilai strategi pundi perempuan ada tiga yaitu model hibah memberdayakan, isu spesifik, dan berdaya. Sejauh ini Pundi Perempuan telah mendukung 106 lembaga pengada layanan, 2490 perempuan korban kekerasan, 4 dana bergulir bagi pengembangan ekonomi perempuan korban kekerasan, 5 individu pekerja kemanusiaan, dan 3 kelompok perempuan korban. Menurut Soraya dalam mendorong upaya kesetaraan bagi perempuan perlu ada dukungan dalam penggalangan dana yang dilakukan oleh Pundi Perempuan. (Iqraa Runi Aprilia) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |