Gerakan sosial merupakan tulang punggung dalam proses demokratisasi Indonesia. Sebab melalui gerakan sosial kritik terhadap kehidupan bernegara diproduksi dan tuntutan atas perubahan dilahirkan. Gerakan sosial sebelum reformasi hingga saat ini tidak dapat dipisahkan dari peran penting gerakan perempuan. Namun hari-hari ini gerakan sosial—gerakan perempuan mendapat sejumlah tantangan baik dari dalam dan luar dirinya sendiri. Hal ini perlu mendapat perhatian, sebab melemahnya gerakan sosial mengancam keberlangsungan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Jakarta (16/05), dalam rangka memperingati 21 tahun Peristiwa Mei 98, Komnas Perempuan mengadakan diskusi publik dengan tema “Perempuan dan Gerakan Sosial di Indonesia”. Diskusi ini adalah penyajian awal dari proses dokumentasi yang telah dilakukan oleh penulis buku komnas perempuan yaitu Ruth Indah Rahayu (Peneliti Inkrispena), Sri Palupi (Peneliti Ecosoc Institute), Iswanti (Peneliti). Mariana Amirudin (Komisioner Komnas Perempuan) selaku moderator membuka diskusi dengan melontarkan pertanyaan: Mau ke mana gerakan sosial kita? Ruth dalam kesempatan tersebut mempersoalkan tentang tantangan otoritarianisme terhadap gerakan perempuan. Menurut Ruth gerakan perempuan adalah momentum terjadinya konsolidasi berbagai organisasi perempuan untuk mendorong agenda politik bersama. Setidaknya ada dua hal yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan yaitu agenda politik perempuan dan agenda politik yang bersifat umum sebagai warga negara. Menurut Ruth gerakan perempuan di Indonesia tidak sekadar bicara soal kekerasan terhadap perempuan tapi juga kritik terhadap otoritarianisme. Baginya agenda politik melawan kekerasan terhadap perempuan telah berhasil menjadi simpul yang mengonsolidasi gerakan perempuan sebelum reformasi. Setelah reformasi konsolidasi beralih pada isu peningakatan keterwakilan perempuan di parlemen. Ruth juga menjelaskan bahwa setelah tahun 2004 gerakan perempuan mengalami divergensi. Pada periode ini tumbuh serikat-serikat berbasis sektoral di lokal. Dalam paparannya, Ruth menyadari sejumlah capaian gerakan perempuan pascareformasi, akan tetapi setelah 21 tahun reformasi 98, gerakan perempuan menghadapi tantangan serius yaitu tumbuhnya kekuatan yang berupaya membalikkan isu-isu yang diperjuangkan perempuan. “Kekuatan ini mengatasnamakan agama dan melancarkan wacana pro poligami, anti feminis, kesetaraan gender yang syariah, menfitnah feminis anti keluarga, pernikahan muda YES, RUU PKS dituding sebagai pro-zina dan lainnya” begitu ungkapnya. Menurut Ruth munculnya kekuatan anti feminis kerap kali ditujukan sebagai usaha melemahkan dan menjinakkan perempuan. Modus ini perlu dikritisi sebab pelemahan gerakan perempuan adalah pelemahan terhadap demokrasi. Bagi Ruth penjinakan perempuan adalah modus politik otoritarian dan atau politik fasis. Sebab bila gerakan perempuan dilemahkan maka mereka akan mudah dimobilisasi ke berbagai kepentingan massa yang seringkali jauh dari agenda perempuan. Dalam diskusi tersebut Iswanti juga memaparkan keprihatinannya pada tantangan gerakan perempuan di Indonesia dalam kaitannya dengan lembaga donor. Bagi Iswanti, LSM memiliki peran penting dalam demokratisasi Indonesia. Sementara saat ini keberlangsungan LSM di Indonesia sedang rentan terkait relasinya dengan lembaga donor. Iswanti menyatakan bahwa banyak lembaga donor memberikan dukungan pada organisasi masyarakat sipil, artinya lembaga donor berkontribusi pada tumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakt sipil dan menyumbang pada sejumlah kemajuan pada isu perempuan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh LSM dalam kerjasamanya dengan donor. Sebab menurut Iswanti agenda lembaga donor sedikit-banyak memengaruhi gerak LSM. “Lembaga donor memiliki peran dan pengaruh bagi LSM, hampir tidak ada LSM yang tidak terkait dengan lembaga donor. Meskipun LSM-LSM kita bukan didirikan oleh para lembaga donor tetapi bagaimana agenda mereka memengaruhi bagaimana metode dan kegiatan LSM,” tutur Iswanti. Iswanti menyadari bahwa lembaga donor telah berkontribusi pada gerakan perempuan, namun ia melihat pula bahwa mekanisme kerjasama LSM dan donor telah menghilangkan semangat gerakan sosial yang berlandaskan nilai-nilai gotong-royong, kerelawanan dan lain sebagainya. Ia menyayangkan bahwa pelembagaan gerakan sosial telah menghasilkan kondisi ketergantungan, tidak mampu mengkritik lembaga donor dan gagal dalam pendidikan kritis masyarakat. Iswanti menyarankan tentang pentingnya memikirkan alternatif pendanaan, karena jika tidak Indonesia mengalami sebuah krisis demokrasi. Kondisi dimana negara beroperasi tanpa kritik dari masyarakat yang selama ini kebanyakan dilakukan oleh LSM, padahal di sisi lain kekuatan-kekuatan berbasis agama anti demokrasi, anti feminis saat ini menguat dan mulai menggeser peran-peran masyarakat sipil. Diskusi mengenai kondisi gerakan sosial di Indonesia ini merupakan sebuah refleksi atas 21 tahun reformasi. Penting agar kita menoleh ke belakang agar kita mampu tentukan apa saja yang mampu kita lakukan untuk menjaga demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |