Kamis, 6 April 2017, kuliah pertama KAFFE (Kajian Filsafat dan Feminisme) 5 berlangsung di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. KAFFE 5 membahas mengenai Analisis Wacana Kritis (AWK). Kuliah ini diikuti oleh 30 peserta dengan latar belakang yang beragam, seperti mahasiswa, dosen, pekerja sosial, konsultan, penulis, dll. Pertemuan pertama KAFFE 5 diampu oleh Dr. Haryatmoko, pengajar di Universitas Sanata Dharma, Departemen Filsafat (FIB UI), Pascasarjana Komunikasi (FISIP UI), UGM, UNAIR,UNIBRAW, dan PTIK. Ia telah menghasilkan berbagai buah pikiran yang tertuang dalam buku dan yang baru diterbitkan berjudul Critical Discourse Analysis. Pembahasan AWK dalam buku Critical Discourse Analysis inilah yang menjadi dasar perkuliahan pertama KAFFE 5. Haryamoko membuka kuliah KAFFE dengan memaparkan sejarah singkat AWK. Menurutnya, metode Analisis Wacana Kritis merupakan metode baru dalam penelitian ilmu sosial budaya. Pada tahun 1991 beberapa tokoh seperti Van Dijk, Fairclough, G. Kress, Van Leeuwen dan Wodak mengadakan pertemuan, dan momen tersebut dianggap sebagai peresmian metode AWK sebagai metode penelitian dalam ilmu sosial dan budaya. Para pionir AWK ini merumuskan tiga postulat. Pertama, semua pendekatan harus berorientasi pada masalah sosial dengan pendekatan lintas ilmu, setidaknya dibutuhkan pemahaman mengenai teori linguistik dan teori sosial untuk menggunakan metode AWK, kedua, tujuan utama dari AWK adalah demistifikasi ideologi dan ketiga, reflektif dalam penelitian. Lebih lanjut Haryatmoko menjelaskan bahwa ada empat langkah metode AWK Fairclough. Pertama, fokus pada ketidakberesan sosial dalam aspek semiotiknya. Ketidakberesan sosial bisa berupa kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, prasangka negatif, dan kurangnya kebebasan. Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani ketidakberesan sosial itu. Ketiga, mempertimbangkan apakah tatanan sosial itu membutuhkan ketidakberesan sosial tersebut. Keempat, mengidentifikasi cara-cara yang mungkin untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Ada perbedaan mendasar antara AWK dengan Analisis Wacana, ungkap Haryatmoko. Dalam analisis wacana (objektif), peneliti harus mengambil jarak, hubungan dengan teks bersifat objektif, dan peneliti tidak melibatkan diri. Sedangkan dalam AWK, peneliti telah menentukan posisi, berpihak dan membongkar ketidakberesan sosial. Karakteristik AWK ini mendapat pengaruh dari Pemikiran Kritis (Mazhab Frankfurt). Tokoh-tokoh Pemikirian Kritis seperti Gramsci, Althusser, Bakhtin, Foucault dan Bourdieu memberikan banyak sumbangan penting terhadap metode AWK. Gramsci, menyumbangkan gagasan penting mengenai hegemoni dalam AWK. Hegemoni Gramsci menunjukkan bahwa kekerasan tidak terjadi secara koersi melainkan melalui budaya, dalam hal ini adalah bahasa. Althusser, dalam pengembangan AWK menunjukkan bahwa ideologi bukanlah sesuatu yang abstrak melainkan bagian dari kegiatan konkret atau praksis sosial. Bakhtin, menyumbangkan gagasan bahwa tanda-tanda linguistik merupakan materi ideologi. Foucault, melihat bahwa wacana bukan sekadar kata, tapi praksis sosial. Bourdieu, menjelaskan bahwa bahasa adalah instrumen kekuasaan atau yang disebut sebagai doxa. Doxa adalah kebenaran partikular yang diberlakukan sebagai kebenaran universal. Hal ini menjadi pintu masuk kekerasan simbolik. Haryatmoko menyatakan bahwa kekerasan simbolis adalah kekerasan yang korbannya menyetujui menjadi korban. Kekerasan simbolis menjadi pintu masuk kekerasan psikis dan fisik. Haryatmoko menjelaskan bahwa kekerasan simbolis ini menjadi penting untuk dikenali agar kita dapat mencegah dan memutus mata rantai kekerasan. Ia mencontohkan tentang kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga. Menurut Haryatmoko, kekerasan fisik di dalam rumah tangga bermula dari penerimaan terhadap kekerasan simbolik lewat bahasa, simbol dan representasi. Karena itu upaya melawan kekerasan harus dilakukan sejak di tataran simbolik dengan membongkar wacana, simbol dan representasinya. Dari perspektif AWK, bahasa sudah mengandung ideologi, membawa kepentingan dan merupakan instrumen kekuasaan. Bahasa tidaklah netral, untuk itu perlu dilakukan demistifikasi ideologi dan kekuasaan, ungkap Harytmoko. AWK menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi melainkan bagian dari strategi kekuasaan. Oleh karena itu, dibutuhkanlah pembongkaran hubungan antara bahasa dan ideologi dengan cara menunjukkan pemaknaan bahasa di dalam hubungan kekuasaan dan hubungan sosial. Dimensi moral dan politik pada metode AWK menghasilkan cita-cita akan perubahan sosial dan politik. Yang menarik dari AWK adalah metode ini telah menunjukkan posisinya yang berpihak pada korban dan mereka yang membutuhkan perubahan sosial. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |