
Video tersebut kemudian tersebar luas di jejaring media sosial facebook, tentu ini menjadi tontonan lucu bagi berbagai kalangan, entah itu kalangan elit, menengah maupun kalangan bawah. Tetapi tidak bagi saya, saya justru sedih dan kasihan kepada korban yang menjadi bahan tertawaan dan bullying massa. Jika pemberitaan dalam video tersebut untuk mengungkapkan kasus keabal-abalan kampus atau jual beli gelar/ijazah, tidak seharusnya kemudian mengorbankan pihak mana pun. Terlebih lagi sudah seharusnya wajah korban diburamkan atau disensor dalam video, bukan malah ditampilkan tanpa edit. Tidak sedikit netizen yang berkomentar tidak senonoh, mengata-ngatai si wisudawati pada kolom komentar. Sudahkah kita berkaca? Masalah utama yang disampaikan dalam pemberitaan video tersebut adalah ingin menampilkan betapa sistem pendidikan di tanah air ini bobrok, begitu mudahnya mendapatkan gelar dan ijazah dan lemahnya penegakan hukum yang mengikutinya. Akan tetapi fakta tentang kampus abal-abal yang menggelar wisuda ilegal justru tidak menjadi pesan yang ditangkap oleh sebagian penonton, melainkan terfokus pada si wisudawati, sungguh ironis.
Saya ingin meminjam salah satu dimensi dari teori komunikasi dari Frank Dance tentang Normative Judgement. Salah satu definisi komunikasi menyebutkan bahwa: communication is the verbal interchange of a throught or idea (Pitoyo, 2013:16). Jelas bahwa komunikasi merupakan pertukaran verbal dari pemikiran dan gagasan. Dalam hal ini komunikasi cenderung bersifat transfer judgement terhadap apa yang dikomunikasikan. Dalam kasus si “wisudawati” ini terlihat jelas bahwa medialah yang mentransfer penilaian terhadap si “wisudawati”. Jadi menurut saya penilaian banyak netizen terhadap si “wisudawati”—yang adalah korban—itu merupakan transferan dari medianya yang menampilkan wajah korban secara gamblang. Kasihan si wisudawati itu, kasihan keluarganya, semula ia yang ingin membahagiakan orang tua dan keluarganya dengan wisuda, justru malah sebaliknya. Tidak menutup kemungkinan ia dan keluarganya akan dikucilkan dalam pergaulan sosial. Siapa yang akan bertanggung jawab? Media yang memberitakan dia sebagai wisudawati abal-abal itu kah? Tidak akan ada yang peduli efeknya.
Kemudian yang patut dipertanyakan lagi yaitu mengapa harus seorang perempuan yang menjadi penetration central dari pemberitaan tersebut? Seolah-olah bahwa sarjana abal-abal yang mengikuti prosesi wisuda hanya perempuan saja. Saya menyebutnya sebagai gender-related violence, karena asumsi saya si “wisudawati” merupakan korban dari kekerasan media akibat dari bias gender. Jujur, saya juga tidak jauh berbeda dan tidak jauh lebih baik dari si “wisudawati” itu, saya juga akan menjawab hal yang sama yaitu tidak tahu mata kuliah favorit saya di kampus. Karena bagi saya semua mata kuliah sama saja, jadi tidak ada yang istimewa atau favorit. Saya bingung saat menonton video tersebut apakah harus bersedih (karena miris) atau tertawa (yang artinya saya menertawakan diri sendiri).
Daftar Pustaka
Pitoyo. 2013. The End of Saritem: Studi Komunikasi Politik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.