
Itulah petikan dari cerpen “Sepotong Kaki” dari Oka Rusmini. Dan saya pun mau tak mau sepakat dengan apa yang dituliskan oleh Oka. Saudara perempuan saya menjanda, dan yang paling pertama menghakiminya adalah saudara perempuan saya yang lainnya. Sebenarnya kenapa mereka mampu menyakiti perempuan? Mungkin hanya karena mereka takut tersaingi, takut lelakinya diambil si janda, takut si janda kekurangan sandang, pangan dan papan yang akhirnya akan merepotkan mereka. Rasa takut atau khawatir mungkin itu salah satu penyebab kenapa kita mudah menghakimi orang lain. Dalam kasus ini janda adalah ancaman, maka perempuan-perempuan merasa terteror dengan sendirinya. Padahal tahu apa mereka-mereka yang di luar pernikahan itu, apakah mereka memahami derita si perempuan ketika masih tinggal satu rumah dengan suaminya?
Betapa melelahkannya proses menjadi janda, sidang perceraian, datang berulang kali ke pengadilan, perseteruan dengan dua keluarga, hak asuh anak yang seringkali dianggap kurang adil bagi perempuan. Belum lagi jika hukumnya bisa dibeli. Untuk hal ini proses menjadi janda atau duda mungkin sama melelahkannya, namun laki-laki masih seringkali lebih dianggap benar, tidak terlalu disalahkan oleh keluarganya dan tidak ditekan pada pasca perceraian. Baru saja lewat masa idah (dalam islam) maka si janda sudah disuruh menikah lagi oleh ibunya, oleh saudara-saudara perempuannya, oleh sepupu-sepupu yang perempuannya pula. Semua itu mereka lakukan karena mereka terlampau ketakutan bahwa si janda akan “kedaluwarsa” dan tidak ada yang berminat lagi dengan si janda yang tentunya juga akan merepotkan mereka lagi. Berduyun-duyun disodorkanlah si duda dari kampung sebelah, dengan iming-iming duda keren tidak beranak dan kaya.
Belum habis luka itu akibat perceraian, belum sempat rasa bebas dirasakan karena bercerai layaknya seperti lepas dari penjara, namun penjara penghakiman sudah menanti di depan mata, dan yang lebih menyakitkan lagi hal itu dilakukan oleh orang yang mengaku bernama perempuan, memiliki payudara dan vagina yang sama dengan yang si janda miliki. Jika perempuan mampu menyetarakan diri dengan laki-laki, tidak merasa harus mendapat perlindungan secara fisik, status, ekonomi dan lainnya, apa perempuan-perempuan itu masih terus ditakut-takuti? Ketidakmampuan perempuan berpikir bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab atas hidup, menjadikan mereka bergantung, menggantungkan diri pada laki-laki. Berpikir bahwa laki-laki saja yang mampu menopang kehidupan keluarga, menjadikan perempuan ketakutan, semakin khawatir dan terus akan menghamba pada siapa saja yang mampu menyelamatkannya. Di sisi lain, ketakutan perempuan kebanyakan itu seringkali diekspresikan dengan cara menekan orang lain, termasuk perempuan-perempuan lain di sekitarnya. Menjadi janda adalah dilema bagi perempuan, dilema sebuah kebebasan dan tekanan-tekanan baru yang akan muncul. Bernafas lega itu hanya satu dua detik saja, setelahnya harus mempersiapkan segala bentuk jawaban untuk beragam pertanyaan.