ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku

Siapa yang Memasak Makan Malam Anda?

13/5/2020

 
Bella Sandiata
Redaksi Jurnal Perempuan 2018-2019
(bsandiata@jurnalperempuan.com)
​
Picture
Judul Buku          : Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Kisah tentang
                               Perempuan dan Ilmu Ekonomi

Penulis                 : Katrine Marçal (Diterjemahkan oleh Ninus D. Andarnuswari)
Jumlah halaman : viii + 226 hlm
Tahun terbit        : 2015 (Ed Bahasa Inggris); 2020 (Ed Bahasa Indonesia)
Penerbit               : Portobello Books (Ed Bahasa Inggris); Marjin Kiri (Ed Bahasa Indonesia)

Feminisme selalu tentang ekonomi. Bagaimana mungkin? Jawabannya sederhana. Saat seorang feminis terkenal, Virginia Woolf, menginginkan sebuah ruangan untuk dirinya sendiri, maka ia akan membutuhkan uang bukan? Katrine Marçal membuka buku Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Kisah tentang Perempuan dan Ilmu Ekonomi (Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story about Women and Economics) melalui pembuktian bahwa setiap orang termasuk feminis sekalipun pasti akan berhubungan dengan ekonomi. Katrine Marçal merupakan seorang penulis dan jurnalis dari Swedia. Marçal menulis buku pertamanya, Det enda könet, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Saskia Vogel dengan judul Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story about Women and Economics, dan masuk nominasi August Prize 2012.
​
Melanjutkan prolog bahwa feminisme selalu tentang ekonomi, pada bagian awal buku ini, Marçal menyampaikan bahwa pada akhir abad ke- 19 dan awal abad ke-20, para perempuan bersatu untuk menuntut hak waris, hak kepemilikan, hak untuk memulai perusahaan mereka sendiri, hak untuk meminjam uang, hak untuk bekerja, hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, dan pilihan untuk mendukung diri mereka sendiri sehingga mereka tidak perlu menikah karena uang, sebaliknya menikah demi cinta. Setelah itu, feminisme berlanjut tentang permasalahan uang.

Bagaimana Anda mendapatkan makan malam? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan mendasar dari ekonomi. Terlihat mudah, namun sebenarnya sulit dan kompleks. Sebagian besar dari kita mungkin hanya memproduksi sedikit dari yang kita makan setiap hari, selebihnya atau mungkin sebagian besar dari bahan-bahan yang kita perlukan untuk membuat makanan sehari-hari kita beli dari para pedagang. Pertanyaan mengenai bagaimana kita mendapatkan makan malam setiap hari, menyiratkan adanya proses ekonomi yang panjang yang tak terlihat mata secara langsung. Dari roti yang tersaji untuk kita makan, terdapat proses ekonomi yang panjang dari petani gandum, ke pabrik roti, lalu ke pabrik kemasan, seterusnya hingga roti tersebut disajikan oleh pedagang roti di tokonya untuk dijual. Proses tersebut harus terus berjalan dengan waktu yang tepat agar roti dapat terus tersaji di toko-toko roti. Muncul pertanyaan dari para ekonom: apa yang membuat semuanya tetap bersama?

Ekonomi selama ini selalu dideskripsikan sebagai ilmu tentang bagaimana kita menjaga cinta. Ide sederhananya adalah cinta itu langka. Akan sangat sulit ketika kita mencintai tetangga kita tanpa mencintai tetangga dari tetangga kita. Maka dari itu kita harus menjaga cinta kita agar tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak diperlukan. Jika cinta merupakan bahan bakar untuk menggerakkan masyarakat, maka nantinya tidak akan ada cinta yang tersisa untuk ranah pribadi. Cinta sangat sulit ditemukan bahkan akan sangat sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu para ekonom menyatakan bahwa kita membutuhkan sesuatu yang lain untuk menggerakkan masyarakat, yakni dengan kepentingan pribadi (self-interest). Mengapa kepentingan pribadi? Karena hal tersebut jelas lebih menguntungkan. Adam Smith, bapak ekonomi politik, menuliskan pemikirannya yang membentuk pola pikir modern dalam memahami ekonomi: “Bukan dari kebajikan tukang daging, pembuat bir, atau tukang roti kita mengharapkan makan malam kita, tetapi justru dari perhatian mereka untuk kepentingan diri mereka sendiri.” Kepentingan diri sendiri merupakan bagian penting dalam ekonomi yang selalu dapat dipercaya, karena kepentingan diri sendiri tidak akan ada habisnya.

Adam Smith juga mengenalkan istilah “The Invisible Hand” yang menjadi ekspresi paling dikenal dalam dunia ekonomi. Meski ia yang menciptakan istilah tersebut, namun para ekonom penerusnya yang memopulerkannya. The invisible hand menyentuh seluruh hal dalam dunia ekonomi, tangan yang tidak terlihat itu mengatur seluruh sistem dalam ekonomi. Adam Smith berhasil membuat ekonomi menjadi seperti fisika: logis, rasional, dan dapat diprediksi. Ilmu ekonomi secara tidak langsung merupakan ilmu yang mempelajari manusia, ekonomi dekat dengan pasar, pasar hidup dalam kehidupan manusia, ekonomi mempelajari pasar maka ekonomi pun mempelajari manusia yang adalah pelaku pasar itu sendiri. Bagaimana Adam Smith berhasil menjadi seorang ekonom ternama? Tentu semua itu terjadi karena kerja kerasnya. Namun, apa jawaban dari judul buku ini sendiri? Siapa yang memasak dan menyiapkan makan malam Adam Smith? Jawabannya adalah: ibunya. Ibu dari Adam Smith adalah jawaban dari pertanyaan yang menjadi judul buku ini, dari jawaban inilah buku ini mulai mengupas peran perempuan dalam ekonomi.

Setiap kerja perawatan (care work) yang dilakukan perempuan untuk keluarganya tidak pernah dilihat dan dihitung sebagai aktivitas yang produktif dalam model ekonomi standar. Kerja perawatan dari dulu telah dilakukan di rumah, karena rumah merupakan tempat bagi para laki-laki pulang untuk mendapatkan kehangatan setelah bekerja keras di cuaca dingin. Tugas perempuan—dalam kerja perawatan—tidak hanya menjadi penyeimbang bagi kehidupan laki-laki melalui kepedulian dan empatinya tetapi juga menjadi pendukung dalam menciptakan keseimbangan di masyarakat. Selama dunia perempuan yang dilihat sangat halus dan lembut dapat memenuhi permintaan pasar, maka selama itu juga manusia tidak akan jatuh ke dalam keserakahan dan juga persaingan. Fungsi ekonomi perempuan adalah dalam kerja perawatan, melalui kepedulian dan empatinya yang memberi arti bagi perjuangan para laki-laki di dunia kerja.

Namun, pekerjaan perempuan selalu tidak terlihat dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB/Gross Domestic Product). Di luar jangkauan tangan yang tak terlihat (invisible hand) terdapat invisible sex. Simone De Beauvoir, mendefinisikan perempuan sebagai “the second sex”. Laki-laki selalu menjadi yang utama, laki-laki yang mendefinisikan dunia sedangkan perempuan menjadi “the other”. Dalam hal yang sama, jika ada “the second sex” maka ada juga “the second economy”. Semua pekerjaan yang dilakukan laki-laki merupakan pekerjaan yang dihitung dan mendefinisikan pandangan dunia tentang ekonomi. Sementara pekerjaan perempuan merupakan pekerjaan “the other”. Pekerjaan yang dilakukan perempuan, namun laki-laki bergantung pada setiap hasil pekerjaan perempuan tersebut agar laki-laki dapat mengerjakan pekerjaan mereka, melakukan pekerjaan yang dapat dihitung.

Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai obsesi para ekonom pada tokoh Robinson Crusoe, tokoh utama dalam novel dengan judul yang sama, karya Daniel Defoe (1719). Menurut para ekonom, Robinson Crusoe merupakan contoh dari Economic Man (manusia ekonomi) pertama. Digambarkan bahwa manusia ekonomi adalah manusia ideal yang bertindak rasional dengan pengetahuan yang lengkap, yang berusaha untuk memaksimalkan segala yang dimilikinya untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Manusia ekonomi merupakan asumsi banyak model ekonomi yang juga dikenal sebagai Homo Economicus. Manusia ekonomi memiliki sifat dasar yang serupa dengan manusia, yaitu, kita menginginkan banyak hal dalam jumlah yang tidak terbatas. Tanpa disadari, keinginan itu menjadi penyebab dari permasalahan kelangkaan (scarcity) dalam perekonomian. Manusia ekonomi akan selalu melakukan apapun untuk mendapatkan keinginannya, selain itu dia juga digambarkan memiliki sifat yang egois, dan penyendiri. Penggambaran mengenai manusia ekonomi ini mengambil hampir sebagian porsi dari buku ini untuk menjelaskan konsep ekonomi dari kacamata patriarki. Manusia ekonomi adalah seorang laki-laki yang berkuasa dalam ekonomi, dia adalah ekonomi itu sendiri. Hingga kapanpun, perempuan tidak akan pernah menjadi sosok Economic Man.
 
Sosok Penting di balik Adam Smith dan Ekonomi: Perempuan dan Kerja Perawatan
Perempuan dan dunia kerja merupakan permasalahan yang tidak kunjung usai dalam dunia ekonomi. “Perempuan pergi bekerja pada tahun 1960”, demikian kita biasa mendengar dari generasi ke generasi. Namun, hal tersebut kenyataannya tidak benar. Perempuan tidak pergi bekerja pada tahun 1960-an atau saat Perang Dunia Kedua. Perempuan selalu bekerja. Perempuan telah mengembangkan ranah pekerjaannya, tidak hanya pekerjaan domestik tetapi juga pekerjaan formal. Perempuan mengambil posisi dalam pasar dan mulai mendapatkan upah dari pekerjaan di ranah formal. Namun, hal tersebut tentu tidak terus-menerus berjalan mulus.
Sejak perempuan masuk ke dalam dunia kerja formal, mereka tetap harus menjalankan tugas domestiknya dan mengalami beban ganda. Pekerjaan

perempuan di luar rumah, dalam sektor formal, dilihat bukan sebagai pekerjaan utama yang wajib untuk dilakukan. Pekerjaan perempuan di luar dan dalam rumah tetap tidak dilihat dan diperhitungkan karena identitasnya sebagai “the second sex” dan “the second economy”. Perempuan digambarkan lemah, tidak rasional, selalu menggunakan perasaan, sehingga tidak perlu bekerja di ranah formal. Mereka cukup mengerjakan pekerjaan domestik yang tidak dapat dihitung sebagai pekerjaan yang mendongkrak kalkulasi produk domestik bruto.

Melalui buku ini Katrine Marçal menggambarkan secara jelas posisi perempuan dalam dunia ekonomi yang dikuasai oleh patriarki. Perempuan dalam ekonomi merupakan warga kelas kedua yang seluruh kerja dan usahanya tidak dilihat dan diperhitungkan sebagai pekerjaan nyata. Sementara laki-laki yang melakukan pekerjaannya tidak akan mampu menyelesaikan tanggung jawab mereka jika tidak ada perempuan yang mengerjakan seluruh pekerjaan domestiknya. Marçal menyajikan fakta- fakta yang dianalisis. Marçal tidak hanya membahas bagaimana ekonomi melupakan seluruh pekerjaan perawatan perempuan tetapi juga membahas mengenai studi ekonomi melalui kasus-kasus ekonomi yang terjadi di dunia. Secara garis besar, analisis Marçal terhadap setiap kasus dari studi ekonomi yang dituliskan pada buku ini membahas hal yang dilupakan oleh para pelaku pasar atau ekonomi yaitu kerja perawatan perempuan dalam setiap ranah ekonomi yang ada di dunia. Marçal mampu menyajikan analisis terhadap setiap permasalahan ekonomi global dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengajak pembaca untuk berpikir kembali, serta menyandingkannya dengan pandangan dari luar ekonomi seperti salah satunya psikologi serta fakta yang terjadi di lapangan. Sebagai buku yang membahas ekonomi, buku ini terbilang cukup membingungkan namun menyenangkan bagi pembaca awam. Buku ini memberikan informasi yang sederhana mengenai konsep ekonomi pada pembaca awam dan mengenal lebih jauh bapak ekonomi beserta permasalahan ekonomi yang terjadi di dunia.

Marçal menuliskan pertanyaan utama di awal bukunya yakni “Who cooked Adam Smith’s Dinner?” yang segara dijawab olehnya di bagian awal buku, yakni “His mother”. Pertanyaan tersebut sesungguhnya undangan dari Marçal untuk mengajak pembaca memahami bagian yang hilang dari suatu sistem yang berperan penting dalam kehidupan manusia, yaitu ekonomi. Dalam buku ini Marçal menunjukkan bahwa Adam Smith sebagai sosok bapak ekonomi yang menulis teori tentang ekonomi telah melupakan

peran penting perempuan dan kerja perawatan dalam ekonomi. Ekonomi yang selama ini berjalan di dunia tanpa disadari tidak pernah menghitung kerja perawatan yang dilakukan oleh perempuan, padahal kerja perawatan itu sendiri memiliki peranan penting dalam setiap pekerjaan laki-laki yang hanya dihitung sebagai suatu pekerjaan sesungguhnya. Meski demikian, mengetahui bahwa kerja perawatan perempuan tidak pernah dilihat dan dihitung sebagai suatu pekerjaan yang menghasilkan, perempuan hingga saat ini selalu menjadi pihak yang akan mengurangi waktu bekerja di ranah publik mereka untuk mengerjakan kerja perawatan. Hal tersebut tentu berdampak pada karier perempuan yang memiliki pekerjaan di ranah publik.

Siapa ibu dari Adam Smith? Marçal ternyata menyiapkan satu bab khusus untuk sosok yang merupakan jawaban dari judul buku ini. Di bab akhir buku ini, Marçal memperkenalkan Margaret Douglas, ibu dari Adam Smith. Margaret Douglas tengah mengandung Adam Smith saat suaminya meninggal di tahun 1723. Dia menjadi janda di usia 28 tahun dan membesarkan Adam Smith hingga anaknya menjadi tokoh sukses dalam dunia ekonomi. Ada peran besar dari Margaret Douglas yang terlupakan oleh Adam Smith. Sejarah ekonomi mencatat Adam Smith sebagai tokoh ekonomi besar dengan konsep terkenalnya “the invisible hand” namun sosok di balik kehebatan Adam Smith, telah luput untuk dia ceritakan kepada dunia.

Marçal menutup buku ini dengan mengatakan jika kita ingin mengetahui kenapa kita masih mengalami ketidakadilan dalam ekonomi, maka kita harus memahami ekonomi dari perspektif feminis: bagaimana Adam Smith mendapatkan makan malamnya dan mengapa ini menjadi hal yang penting dalam ekonomi.

Feminisme dan Covid-19

11/5/2020

 
Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, Pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, UI, 1991-2017, Adjunct Professor di bidang sosiologi dan sociology of gender di Montgomery College, Maryland, USA.
*Naskah dipresentasikan dalam Forum Menyalakan Lilin Masa Depan, 10 Mei 2020 (Zoom Webinar)
​

PictureDok. Jurnal Perempuan
Pendahuluan
Pandemi Covid-19 bermula dari kota Wuhan, China, terdeteksi pada bulan Desember 2019. Pada pertengahan bulan Januari 2020, virus ini dengan cepat menjalar ke seluruh dunia dan dalam waktu singkat jutaan orang terinfeksi serta ratusan ribu orang meninggal dunia. Hampir di setiap negara, pemerintah setempat menerapkan aturan lockdown dan social distancing guna menghentikan penyebaran virus. Covid-19 bukan saja mengakibatkan krisis kesehatan melainkan juga krisis ekonomi dan sosial.
 
Catatan ini berupaya menjelaskan secara praxis dampak virus Corona pada perempuan dan anak perempuan dari kerangka berpikir feminisme. Saya memilih pijakan feminisme sebab hanya dengan lensa feminisme kita dapat melihat dengan kritis adanya persoalan ketidakadilan, eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan serta kelompok marginal lainnya. Catatan ini hanya menyajikan secara singkat butir-butir pemikiran feminisme dalam mengurai Covid-19 dan persoalan gender.

Saat Krisis
Di setiap ada situasi krisis, kelompok yang paling rentan adalah kelompok marginal seperti perempuan dan anak perempuan. Sebab dalam keadaan krisis, ketimpangan, kesenjangan, eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan selalu hadir. Misalnya, LBH Apik mencatat 59 kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dan kekerasan seksual dari tanggal 16 Maret hingga 30 Maret. 17 kasus dari 59 kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (Jakarta Post 2020). Di negara lain seperti India, juga melaporkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga dalam minggu pertama lockdown, dan sama halnya dengan negara Prancis yang mengalami peningkatan sepertiga dalam minggu pertama lockdown. Hal ini tidak mengejutkan karena belajar dari kasus epidemi Ebola di Afrika Barat, di tahun 2015, Guinea mencatat peningkatan tajam kekerasan terhadap perempuan sebesar 4.5 persen. Peningkatan kekerasan seksual juga terjadi di Liberia. Akses kesehatan reproduksi juga menjadi masalah sebab klinik-klinik kosong karena takut pada virus Ebola dan ini merugikan perempuan (Reuters 2015).

​Gendered Effect
Beberapa hal yang bisa saya catat saat ini yang menjadi masalah di saat pandemi yang memiliki efek bergender (kesenjangan, ketimpangan, dan diskriminasi) adalah sebagai berikut:

Picture
Gambar 1. Covid-19 dan Efek Bergender
Interseksionalitas
Kecendrungan dari analisa gender arus utama atau pembangunan; status sosial, kesehatan, kultural dan ekonomi hanya menempelkan konsep gender sebagi isu perempuan atau yang saya sebut sebagai “stempel gender”. Cara menganalisis seperti ini tidak mengaitkan persoalan diskriminasi, rasisme, eksploitasi, kepemimpinan yang lemah, sistem ekonomi buruk, serta hukum yang bias gender.
 
Interseksionalitas digunakan sebagai kerangka pemikiran dalam melihat keadaan secara terang benderang karena adanya keterbatasan konsep. Misalnya bila data yang ada tidak cocok dengan kerangka pemikiran feminis, sulit untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat dan gagal dalam mengidentifikasi persoalan. Bila kita gagal dalam mengidentifikasi persoalan maka kita akan gagal mencari solusi (Wawancara Kimberlé Crenshaw 2020).
 
Sebagai contoh pendekatan “stempel gender” adalah bantuan sembako. Bantuan ini merupakan bantuan sesaat dan reaktif, tanpa didasari data yang terkait kerangka pemikiran feminis. Respons pemerintah yang tidak menggunakan data terpilah gender, hasilnya hanya sesaat, dan tidak tepat sasaran serta tidak menghasilkan perubahan yang bermakna. Itu sebabnya, Indonesia setiap kali ada krisis kembali “business as usual” (bagi-bagi sembako) tanpa mengaitkan adanya sistem penindasan yang perlu dibongkar.
 
Sebagi contoh, di Amerika Serikat hal serupa terjadi. Covid-19 menyerang kelompok miskin dan marginal berkali-kali lipat dibandingkan dengan penduduk kulit putih. Daerah miskin yang berpenduduk padat (akses kesehatan, pendidikan yang tidak memadai) mengalami angka kematian yang signifikan dan jumlah infeksi virus Corona berjumlah besar. Hal ini disebabkan pemerintah abai menggunakan lensa interseksionalitas, maka ketika Amerika mengalami krisis, kesenjangan, diskriminasi, rasisme dan eksploitasi menyeruak di ranah publik.
 
Di Indonesia, kita melihat kesalahan yang sama. Kebijakan bias gender sering terjadi karena tidak menggunakan lensa interseksionalitas. Contohnya keputusan Presiden Jokowi untuk memberikan insentif Rp 10 juta kepada Dokter dan Rp 7.5 juta kepada perawat (CNN Indonesia, 2020), kebijakan semacam ini hasil minim pengetahuan gender ditambah tidak memahami lensa interseksionalitas, alhasil, menunjukkan kelemahan dalam kepemimpinan. Lensa interseksionalitas dalam kasus ini, menunjukkan adanya diskriminasi terhadap mereka yang bekerja sebagai careworkers dan profesi perawat tidak dinilai penting dibandingkan dokter. Cara berpikir semacam ini fatal, sebab Indonesia sebagaimana kita ketahui bergantung pada ekonomi careworkers, maka tentu saat krisis melanda, ekonomi Indonesia menjadi porak poranda.
​
Perlunya Ekonomi Berperspektif Feminis
Ekonomi yang selama ini dibangun di negara ini adalah ekonomi yang mengandalkan pekerjaan gratis perempuan yang tidak dihargai karena dianggap sebagai pekerja care work (kerja yang melayani, mengasuh dan merawat orang lain). Padahal BNP2TKI mengakui bahwa pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri menyumbangkan devisa sebesar Rp. 70 triliun (2018). Perlu diketahui bahwa 54% pekerja migran adalah perempuan (2014). Namun perlindungan terhadap pekerja migran tidak memadai, baik ketika berangkat bekerja ke luar negeri maupun saat kembali. Buruh migran perempuan kerap mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikannya. Menurut Bazzi & Bintoro, 2015, terdapat kordinasi yang buruk antara pemerintah setempat dan pemerintah di negara penerima pekerja migran. Kebanyakan pekerja tidak memahami isi kontrak kerja, buta pengetahuan finansial dan pasar kerja, serta kurangnya pelatihan dari pemerintah. Ekonomi berperspektif feminis menggarisbawahi ketidakadilan sistem ekonomi yang merugikan perempuan. Beberapa hal yang disoroti adalah kesenjangan berpendapatan, segregasi gender dalam pekerjaan dan diskriminasi serta eksploitasi. Lensa ekonomi feminis mampu mengurai ketertinggalan perempuan dalam pasar kerja. Partisipasi perempuan di pasar kerja rendah karena soal perkawinan, memiliki anak di bawah umur dua tahun, tingkat pendidikan yang rendah (terutama level pendidikan tinggi), dan penggantian struktur ekonomi dari sektor pertanian, transisi dari area rural ke urban (AIPEG 2017; Jakarta Post 2020).

Semua faktor yang telah disebut di atas menyebabkan sejak awal posisi perempuan di pasar kerja sangat lemah. Saat Covid-19 menjangkit, perempuan semakin terpuruk. Berikut adalah beberapa konsep feminis yang perlu diperhatikan dalam membincangkan perempuan dan ekonomi.

  • Kesenjangan Berpendapatan
Perbedaan berpendapatan antara laki-laki dan perempuan yang bekerja penuh waktu sangat besar. Kesenjangan berpendapatan disektor formal sebesar 34% sedangkan di sektor informal sebesar 50% (AIPEG 2017). Kesenjangan terjadi bukan karena perempuan tidak produktif melainkan karena terdapat praktek diskriminasi. Terdapat bukti adanya keadaan Sticky floor practice pada sektor formal, yakni perempuan yang bekerja pada level bawah lebih mengalami kesenjangan pendapatan. Sedangkan perempuan yang bekerja di sektor informal kesenjangan pendapatan lebih besar. Selain itu, di level bawah, promosi pekerjaan sangat jarang (AIPEG 2017).

  • Segregasi Gender dalam Pekerjaan
Praktik menempatkan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (mana kerja yang cocok untuk perempuan dan mana kerja yang cocok untuk laki-laki), ini merupakan masalah besar. Apa yang perusahaan atau tempat kerja lakukan adalah men-genderkan pekerjaan (We gender jobs). Misalnya, perawat dan guru adalah pekerjaan yang cocok untuk perempuan sedangkan IT dan pekerja bangunan cocok untuk laki-laki. Hal ini terjadi lewat dua cara, employer selection hypothesis dan selective exit hypothesis. Yang pertama, pemilik usaha (atau hiring manager), menetapkan mana pekerjaan yang cocok untuk laki-laki dan mana pekerjaan yang cocok untuk perempuan (masculine jobs dan feminine jobs). Sedangkan yang kedua, selective exit hypothesis, perempuan meninggalkan pekerjaan karena menghadapi tekanan. Lingkungan kerja yang hypermasculine mengakibatkan pengalaman buruk bagi perempuan yang bersaing di dunia kerja, juga adanya kesenjangan gaji.
 
Konsentrasi perempuan dalam ekonomi ada pada pekerjaan informal yakni pekerja domestik, pekerja paruh waktu, dan usaha kecil. Pekerjaan semacam ini lebih banyak diduduki oleh perempuan dari pada laki-laki dengan rasio 3: 1. Lebih banyak perempuan miskin yang melakukan pekerjaan di sektor informal sebesar 80% dibandingkan 34% perempuan kelas menengah-atas.

  • Diskriminasi dan Perlakuan Berbeda
Baik di sektor formal maupun di sektor informal, perempuan mengalami diskriminasi. Adanya seksisme agresif (hostile) maupun halus (benevolent). Ada 42% perempuan pernah mengalami seksisme di tempat kerja (Wade 2020). Perempuan kerap mengalami ancaman simbolis, misalnya, kehadiran perempuan dianggap mengancam identitas grup dominan. Perempuan pun mengalami double bind. Konsep double bind yakni, di satu sisi perempuan dituntut bekerja keras ikut dalam persaingan dunia kerja yang hypermasculinity, tetapi di sisi lain, perempuan dituntut untuk menjadi feminin terutama bila berada dihadapan atasan. “To be successful at her job, a woman needs to do masculinity, but to be accepted by her boss, colleagues, clients, she needs to do femininity” (Wade 2020). Perempuan juga menghadapi Mommy Tax, dimana perempuan yang hamil dan membesarkan anak akan mau tidak mau memperlambat laju kariernya. Beberapa istilah lainnya adalah:
 
Glass ceiling. Perempuan yang bekerja di posisi atas mengalami hambatan yang tak terlihat. Misalnya hambatan sikap diskriminatif, pelecehan seksual, dan sebagainya. Sikap diskriminatif yang dialami perempuan dapat dialami baik dari atasan laki-laki maupun perempuan. Eksekutif perempuan di perusahaan top dunia juga mengalami hambatan-hambatan tersebut.
 
Glass clif. Bila perempuan berhasil masuk ke posisi atas dan memecahkan glass ceiling, mereka mengalami risiko “jatuh” dari posisi mereka. Perempuan yang berada di posisi puncak mengalami tekanan dari laki-laki yang ingin bertahan di level atas, dan adanya ekspektasi untuk selalu bekerja dengan sempurna. Perempuan di level ini hidup di bawah “kaca pembesar”, setiap gerak-gerik dan penampilan mereka diamati. Maka, penelitian menunjukkan kebanyakan perempuan yang bekerja di level atas, mengundurkan diri, karena mengalami kelelahan secara fisik dan mental.
 
Glass escalator. Laki-laki yang bekerja di bidang pekerjaan dominan perempuan, mengalami peningkatan karier yang cepat sebab perempuan cenderung untuk mendukung laki-laki yang bekerja di lingkungan mayoritas perempuan. Beberapa penelitian memperlihatkan laki-laki diuntungkan bekerja di tempat dimana dia menjadi minoritas. Laki-laki digunakan sebagai token karena mau bekerja di lingkungan perempuan, sehingga dia mengalami dukungan yang posistif dan kadang lebih sukses dari perempuan di bidang yang sama (Kanter 1977).

Care Crisis
Sudah saya sebut di atas bahwa sebelum masa pandemi, status perempuan di Indonesia sudah goyah karena adanya masalah diskriminasi, eksploitasi, dominasi dan kekerasan. Kini pada masa pandemi, perempuan yang mayoritas bekerja di bidang care work, mengalami krisis besar. Ini disebabkan karena pemerintah terlalu lama memarginalkan perempuan dan mengacuhkan kontribusinya pada sektor ekonomi. Di masa pandemi Covid-19, dunia bergantung pada careworkers dan caregivers yang mayoritas adalah perempuan dan anak perempuan. Di bidang careworkers, mayoritas perempuan yang berprofesi di bidang keperawatan, berada di garda depan menghadapi pandemi Covid-19 di rumah sakit. Di media sosial, dokter yang mayoritas adalah laki-laki mendapatkan perlakuan istimewa, berbeda dengan perawat. Pekerja dokter lebih sering di agung-angungkan sedangkan pekerja perawat dianggap biasa saja. Bahkan di dalam pembagian insentif, perawat mendapatkan insentif yang lebih kecil dari para dokter.
 
Perempuan paling banyak menjadi pekerja esensial, bekerja di pasar, pengasuh anak dan usaha kecil sepeti makanan. Perempuan dominan di pekerjaan caregivers, mereka menanggung beban rumah tangga, memasak, mengasuh anak, melayani suami, menjaga orang tua yang sakit, dan sebagainya. Careworkers dan caregivers tidak memiliki kemewahan berdiam di rumah seperti para CEO, pengacara, direktur, dan sebagainya, yang rata-rata memiliki caregivers bahkan careworkers di rumah. Mereka yang tergolong kelas atas diuntungkan oleh sistem ekonomi yang berorientasi profit dan bukan berorientasi pada kesejahteraan rakyat kecil. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin terlihat dengan gamblang dalam masa krisis saat ini. Mereka yang kaya, memiliki jabatan (atau bekerja di tempat mapan) mendapatkan pelayanan testing Covid-19 dengan cepat dan terjamin. Sedangkan mereka yang tergolong dalam careworkers dan caregivers tidak memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan fasilitas testing, mudah terkena pandemi informasi, dan tidak memiliki akses internet yang memadai untuk tetap mengikuti pendidikan yang sebagian  besar dijalankan secara daring.

Male Crisis
Saya melihat banyak persoalan yang dihadapi oleh laki-laki di masa pandemi Covid-19. Menurut data yang dihimpun oleh negara-negara maju, lebih banyak laki-laki yang meninggal dunia karena virus Corona ketimbang perempuan. Hal ini bukan disebabkan faktor biologis melainkan faktor sosiologis, gaya hidup yang salah. Laki-laki menurut para ahli lebih banyak yang merokok, konsumsi alkohol berlebihan serta kurang memerhatikan kesehatan. Menurut Tony Porter (Chief Executive A Call to Men), laki-laki di saat krisis malu untuk menunjukkan kelemahannya dan selalu ingin tampil superior serta tidak mau meminta pendapat pasangannya. Laki-laki bukan saja mengalami kesehatan fisik yang buruk namun juga kesehatan mental yang rapuh. Hal ini disebabkan oleh persoalan maskulinitas dan budaya patriarki yang mengokohkan eksistensi laki- laki. Ini adalah salah satu penjelasan mengapa di dalam masa krisis, laki-laki cenderung melakukan kekerasan fisik dan verbal. Hal lain, laki-laki tidak dapat menghadapi tekanan finansial sehingga membuat mereka lebih mudah marah dan agresif. Identitas kesuksesan finansial melekat pada laki-laki, mereka diukur martabatnya melalui “uang”. Karena itu, mereka malu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, yang dianggap remeh-temeh, domain perempuan. Karakteristik “man box” ini sangat berbahaya bukan saja bagi diri laki-laki itu sendiri, melainkan juga bagi keluarganya, dan masyarakat yang lebih luas.

Agenda Feminis
Pandemi Covid-19 menunjukkan sistem ekonomi dan sosial kita sangat rapuh. Terbukti setiap kali ada krisis, negara tidak mampu untuk menjamin keamanan masayarakat, kesejahteraan ekonomi dan sosial. Dalam keadaan yang chaos, perempuan dan anak perempuan masuk di dalam kelompok rentan bersama dengan kelompok-kelompok marginal lainnya termasuk kelompok LGBTIQ. Oleh sebab itu, penangan krisis tidak bisa hanya bersifat reaktif (karena ini hanya menempelkan “band aid” sementara), tetapi sangat perlu dan urgen melakukan perubahan secara total. Beberapa agenda yang bisa diperjuangkan:

  • Feminist power. Pemimpin perempuan terbukti lebih handal menangani krisis. Kepemimpinan mereka mengedepankan etika kepedulian. Contohnya, Jacinda Arden dari Swedia, Erna Solberg dari Norway, Katrin Jakobsdottir dari Islandia, Angela Markel dari Jerman, Tsai Ing-wen dari Taiwan, Sliveria Jacobs dari Caribbean nation. Mereka menggunakan pendekatan kepemimpinan yang otentik, transparan pada masyarakat (termasuk data Covid-19) dan bertindak konkret. Pemimpin perempuan paham pendekatan interseksionalitas dan telah memasukkan pendekatan interseksionalitas di dalam kebijakan-kebijakan mereka. Mereka telah merevisi total sistem ekonomi yang terpusat pada pemilik modal dan ganti fokus pada pekerja careworkers dan caregivers yang merupakan kelompok andalan penangkal krisis.
  • Kebijakan makroekonomi yang menitikberatkan pada kerja-kerja perawatan (care work). Perlu menteri yang membuat kebijakan yang mengaitkan gender dan ekonomi, menggunakan lensa interseksionalitas.
  • Kebijakan yang mengandalkan perspektif feminis. Menteri Audun Lysbakken (Menteri berjenis kelamin laki-laki yang membidangi pemberdayaan perempuan dan anak), menggarisbawahi pentingnya kebijakan pro-gender karena terkait dengan kepentingan laki- laki. Investasi pada perempuan yang merupakan populasi terbesar (51%), menghasilkan ekonomi yang produktif.
  • Sistem pendidikan berbasis keadilan gender dan diversitas gender. Di dalam situasi pandemi Covid-19, hampir seluruh pengajaran dialihkan secara daring. Pekerja di bidang pendidikan primer mayoritas adalah perempuan. Lensa interseksionalitas menangkap kesenjangan pendidikan yang menghantam kelas masyarakat bawah di masa krisis.
  • Perlu penggantian sistem secara total! Pandemi Covid-19, memaksa kita untuk melakukan evaluasi sistem ekonomi, sosial dan kultural yang ada. Perubahan perlu terjadi. 

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com