(Mahasiswi Jurusan Filsafat, FIB UI)
geacitta@gmail.com

Dalam klarifikasinya, Salvo meminta maaf atas “Multi-Interpretasi yang ditimbulkan”. Salvo tidak bermaksud mendomestikkan perempuan tetapi justru mengklaim perempuan merupakan ahli dalam urusan cuci-mencuci dan menyarankan laki-laki belajar pada perempuan tentang bagaimana tips merawat pakaian. Demikian tweet apologia dari Salvo. Kehebohan ini rupanya mengundang perhatian media online. Pemberitaannya kemudian direspon oleh Salvo Senin, 9 Maret 2015. Mereka memastikan penggantian redaksional label pencucian per-tanggal 4 April 2015. Jika ada pembeli yang ingin mengganti label produk yang telah dimiliki, mereka juga bersedia melayani.
Angin segar dari kejadian tersebut adalah teknologi media sosial medorong kita memberi tekanan terhadap isu tertentu. Akan tetapi, apabila kita cermati bunyi apologia pertama dari Salvo dan meluangkan waktu untuk membaca respon pengguna twitter lainnya yang masuk ke tab mention @SALVO_ID, kita akan tersadar bahwa isu ketimpangan gender belum dipahami dan mendapat tentangan keras seperti isu anti-korupsi. Masih banyak yang menilai tulisan pada sebuah label hanya lah sebuah tulisan yang tidak perlu dipermasalahkan. Masih ada komentar bernada seksis yang terus melekatkan peran-peran domestik kepada perempuan.
Kita dapat berkaca pada sebuah gerakan Let Toys be Toys di Inggris yang mempromosikan gaya parenting yang netral-gender dengan cara mendorong perusahaan mainan agar tidak mengkotak-kotakkan jenis dan warna mainan dengan jenis kelamin tertentu. Gerakan ini menilai persoalan ketimpangan gender bermula dari salah satu norma sosial yang kita terima begitu saja, bahwa, memberikan label bola di rak mainan anak laki-laki dan boneka di rak mainan anak perempuan adalah hal yang biasa. Padalah, efeknya di kemudian hari dapat berakibat bidang olahraga dianggap lahan milik laki-laki dan wilayah rumah tangga dianggap ranah alamiah perempuan.
Seperti yang diulas oleh Sally Peck di situs The Telegraph, salah satu anggota gerakan tersebut, Jess Day, memaparkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh the Welsh Organisation menyebutkan di penghujung usia lima tahun, anak-anak sudah memahami ide tentang pekerajaan apa yang ‘cocok’ bagi laki-laki dan perempuan. Dan pemahaman ini begitu cepat mengendap sehingga sulit untuk mengubah persepsi ini ketika anak-anak sudah dewasa. Itu sebabnya mereka berinisiatif untuk mengupayakan pencapaian kesetaraan dengan menyoroti hal kecil yang kerap luput dari perhatian kebanyakan orang.
Kita bisa belajar dari sebuah gerakan Let Toys be Toys untuk menumbuhkan kesadaran masyarkat yang pro semangat kesetaraan dan kontra terhadap akar ketimpangan, yaitu, seksisme. Pembagian peran berdasarkan seks adalah konsepsi lama yang tidak lagi relevan. Tidak ada satu pun peran non-biologis di ruang privat maupun publik yang eksklusif dikerjakan oleh satu jenis kelamin. Setiap manusia berpenis bisa dan mungkin mengerjakan apa yang biasa dilakukan seorang perempuan di dalam maupun di luar rumah dan setiap manusia bervagina juga bisa dan mungkin menjalankan apa yang biasa didominasi oleh laki-laki di dalam maupun di luar rumah.
Konsepsi lama pembagian peran berdasarkan jenis kelamin bisa didobrak melalui kesadaran bahwa setiap individu layak diberi kesempatan mengenyam pendidikan formal hingga jenjang yang diinginkan, wajib diberi kebebasan untuk menentukan pekerjaan sebagai aktualisasi eksistensinya, dan berhak diberi kepercayaan bahwa ia berdaulat atas hidupnya sendiri. Tentu hal ini bisa diupayakan dengan membangun kepekaan terhadap isu gender di ruang privat seperti keluarga maupun di ruang publik dalam bentuk kebijakan yang mendukung pencapaian kesetaraan.
Kemajuan peradaban adalah ketika suatu relasi sosial ditinjau dari segi bahasa, kebudayaan, dan aspek lainnya berhasil melahirkan paradigma baru di masyarakat yang memosisikan baik perempuan, laki-laki, dan kelompok LGBT sebagai manusia yang tidak dikotak-kotakkan berdasarkan jenis kelamin yang tidak pernah dipilihnya. Sebab konstruksi peradaban ini selalu mungkin berubah, maka kita hanya perlu percaya dan terus berupaya agar segera tiba di era di mana there will be no more ‘it’s her job’ because every job can be anyone’s job.
Referensi :
http://s.telegraph.co.uk/graphics/projects/parenting-gender-neutral/
http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/company-says-sorry-sexist-slur-indonesian-club-shirt/