(Mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, UI)
nadyazurakarima@gmail.com

Masalah sosial lainnya seperti perceraian misalnya, menurut MK perceraian tidak disebabkan oleh mudanya usia perempuan dinikahkan. Padahal hal itu justru merupakan salah satu faktor utama terjadinya perceraian akibat pernikahan di usia yang terlampau muda. Pasangan di usia muda belum cukup matang untuk menentukan hendak dibawa kemana hidupnya, apalagi harus menentukan sendiri harus hidup bersama orang lain dan membina bahtera rumah tangga yang seharusnya seumur hidup dan penuh tanggung jawab. Apakah benar batas usia perkawinan tidak memengaruhi tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia? Secara logis bisa kita urut bahwa pasangan yang menikah di usia yang lebih matang akan bisa mengatur perencanaan kehamilan, mengatur jarak kehamilan dan kesiapan fisik dan psikis untuk bereproduksi. Penelitian telah membuktikan bahwa rahim perempuan baru siap untuk dibuahi setelah usia 20 tahun. Hamil dan melahirkan di bawah usia kematangan rahim akan memperbesar risiko kelahiran bayi dengan kondisi cacat dan berpengaruh juga terhadap kesehatan ibu secara psikis.
Dari segi pendidikan pun, dengan dinaikkannya batas minimal usia perkawinan, perempuan yang nantinya akan menjadi ibu dan merupakan sekolah pertama bagi anak-anak akan mendapatkan kesempatan lebih lama untuk bersekolah. Bayangkan saja, jumlah perempuan yang meraih gelar doktor di seluruh dunia hanya 2 persen. Saya tidak berani membayangkan berapa persentase perempuan yang berhasil meraih gelar doktor di Indonesia, pastilah jumlahnya sangat sedikit. Dengan paparan di atas, saya rasa dengan menaikkan usia perkawinan saja, Undang-Undang sudah memberikan aturan tertulis untuk berlaku adil kepada perempuan sebagai warga negara. Karena perempuan adalah tonggak suatu bangsa, mendidik perempuan sama saja dengan mendidik seluruh bangsa, karena itu dengan mengubah batas usia pernikahan nyatanya banyak memberikan pengaruh bagi nasib perempuan, nasib bangsa.