Asmat, salah satu kabupaten yang ada di Papua termasuk kabupaten baru, hasil pemekaran dari Merauke. Kabupaten ini dikenal juga dengan nama Kota Papan atau Kota Lumpur. Jauh sebelum pemerintah hadir di tengah-tengah orang-orang Asmat, Gereja, melalui orang-orang misionaris—karenanya segala sesuatu terkait dengan gereja diberi sebutan misi—datang menyapa dan tinggal bersama. Hal itu membuat Asmat identik dengan agama katolik. Bahkan kehadiran misionaris di tengah masyarakat Asmat, yang hidup meramu dan tinggal di bevak[1]--menjadi ciri khas orang Asmat untuk bertahan hidup—telah ada sebelum Papua bersatu dengan Indonesia. Hadirnya pemerintah ditanah lumpur ini membuat masyarakat seolah-olah mempunyai “tuan baru ditanahnya”. Pemerintah datang membawa “aturan main” yang mau tidak mau harus diterima oleh seluruh penduduk di negeri ini tak terkecuali Asmat. Sekarang Asmat dengan jati dirinya harus berdiri diatas “kepentingan” adat, gereja dan pemerintah dalam waktu yang bersamaan. Semua mempunyai jalurnya sendiri-sendiri. Kepentingan-kepentingan yang hadir di tengah-tengah masyarakat Asmat ini tidak serta merta mampu menyejahterakan semua pihak (laki-laki, perempuan dan anak-anak). Perjuangan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki pun tidak dimulai hari kemarin (baik oleh gereja, pemerintah bahkan adat itu sendiri). Negara dengan “jargonnya” bernama Milennium Development Goals (MDGs) masih dalam tahapan proses. Bahkan dipenghujung tahun pun MDGs masih saja samar, apakah semua tujuan-tujuan itu sudah tergapai. Bukan barang baru lagi deklarasi milenium menghasilkan delapan target yang ditandatangani oleh 147 kepala negara dan kepala pemerintahan. Saat itu Indonesia diwakili oleh presiden, yaitu Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada KTT Milenium di New York AS, 6-8 September 2000. Delapan tujuan itu antara lain: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (Laporan tahunan Bappenas, 2002). Delapan tujuan itu saya ambil tiga poin yang saling berdekatan, yaitu: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu. Orang-orang Asmat masih memercayai adanya “keyakinan lokal” yang tidak bisa disamaratakan begitu saja. Kepercayaan itu sangat mungkin menuai kritik ketika berbicara tentang kesetaraan gender. Mari kita angkat salah satu contohnya. Ada dua hal yang menjadi ciri kas Asmat, ukir dan noken. Dua barang itu akan mudah ditemui ketika penyelenggaraan pesta budaya[2]. Ukir dan noken seolah mempunyai jenis kelamin, hanya laki-laki yang boleh tahu ukir dan hanya perempuan yang boleh tahu noken. Bulan Juni tahun 2014 kemarin saya bertemu dengan mama-mama, tergabung dalam kelompok WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia), di Paroki Basim[3]. Salah satu bahan pembicaraan dalam pertemuan itu adalah kesetaraan gender. Seperti yang diharapkan tujuan MDGs tentang mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Bukan hal mudah tentunya berbicara tentang gender dihadapan mama-mama yang masih asing dengan istilah kesetaraan gender itu sendiri. Pintu masuk yang lebih mudah dipahami adalah melalui budaya. Barang apa yang hanya boleh dibuat oleh perempuan dan barang apa yang hanya boleh dibuat laki-laki. Semua mudah sekali menjawab. Noken milik perempuan dan ukir milik laki-laki. Berulang kali saya tanya, “Apakah tidak boleh anak kecil laki-laki bermain-main membuat noken? Apakah boleh anak kecil perempuan bermain-main membuat ukir?” Semua menjawab seperti lagu refrain di semua rumpun yang ada di Asmat, “Perempuan tahu noken, laki-laki tahu ukir”. Apakah pembedaan itu akan berakibat bias gender? Tergantung kita melihatnya dan sangat tidak bijaksana jika urusan tujuan MDGs hanya dinilai dari ukir dan noken. Urusan mendasar—terkait dengan kebutuhan dasar dan hak dasar—lebih penting untuk diperjuangkan. Meskipun tidak bisa dipungkiri dibalik “komersialisasi ukir dan noken” terjadi ketidaksetaraan. Pesta budaya menampilkan semua budaya lokal yang ada, dari semua hal itu hanya ukir yang menjadi pusatnya, memang berdasarkan sejarahnya pesta budaya ada karena seni ukir. Seiring berjalannya waktu, pesta budaya identik dengan lomba ukir yang muaranya adalah “uang”, agaknya terjadi pergeseran makna. Pada dasarnya ukiran itu memiliki nilai sakral dan nilai keaslian. Berkaitan dengan pesta budaya, hasil ukiran akan dihargai lebih dari 10 juta—jika masuk nominasi menang. Berbeda nasib dengan noken—atau hasil karya mama-mama lainnya—sebagus-bagusnya noken, harga tertinggi yang pernah ada adalah 10 juta, bergantung dengan anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Jalan buntu ketika berkisah tentang pemberdayaan perempuan berkiblat pada budaya lokal. Akses ekonomi terhambat karena hasil karya perempuan hanyalah pelengkap saja ketika pesta budaya[4] tiba, bahkan dalam acara paling “berkelas” sekalipun tidak ada afirmative action. Bukan berarti pula pesta budaya itu salah. Pesta budaya mempunyai sejarahnya sendiri. Yang harus ditekankan adalah peluang pemberdayaan perempuan untuk kesejahteraan bersama itu terbuka lebar (akses ekonomi). Orang Asmat menggantungkan hidupnya dari alam maka keselamatan alam harus dijaga. Jika ditengok lebih jauh lagi maka hasil karya perempuanlah yang mampu menjaga keseimbangan alam. Noken hanya bisa dihasilkan dari bahan yang boleh diambil pada waktunya. Semua ada batasnya, tidak boleh ambil berlebih. Junum (pucuk sagu yang terbuka) dan pisis (pucuk sagu yang tertutup) maksimal hanya boleh diambil 5 batang dalam sehari setiap mama. Aturan moyang ini tidak ada yang berani melawan. Pamali[5]. Sedangkan seni ukir berpotensi untuk tidak menjaga keseimbangan alam ketika pengukir hanya mengikuti selera pasar. Tidak sembarangan orang bisa mengukir suatu motif, ada kalanya sebelum ukir ada pestanya (upacara adat) terlebih dahulu. Nilai sakral tergerus oleh selera pembeli. Pengukir tidak lagi menghitung berapa kebutuhan ukiran sehingga butuh pohon berapa. Ketika ada pesanan ukiran maka menebang pohon tanpa peduli dengan keseimbangan alam dianggap hal lumrah—hitungannya, dusun penghasil kayu masih jauh lebih luas dibandingkan kampung untuk bermukim. Pater Vince Cole, MM, satu-satunya misionaris dari luar negeri yang masih tinggal di Asmat lebih dari 25tahun, mengungkapkan, “Para pengukir terpengaruh dengan motif modern dan mengikuti selera pembeli sehingga mengabaikan motif ukiran aslinya. Dengan kata lain, nilai kas ukiran mulai bergeser kepada nilai uang”[6]. Ritual-ritual yang harusnya dijaga serta memilih dan memilah kayu yang boleh ditebang tidak lagi menjadi syarat utama. Salah satu contoh, seorang pengukir senior di Atsy tidak lagi menghiraukan pentingnya aturan dalam membuat ukiran salawaku[7]. Ukiran itu pesanan seseorang sehingga pekerjaannya terkesan buru-buru, tebang kayu dihutan, diambil batangnya saja, lalu diukir di rumah dalam waktu relatif singkat. Lepas dari itu yang paling fatal adalah ukiran salawaku tidak boleh dibuat rombongan tapi dibuat sendiri, sesuai dengan fungsinya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa isu penebangan liar—jika tidak ingin dikatakan menebang tanpa batas—lebih banyak terjadi daripada pengambilan kayu untuk ukiran. Hal itu jelas merusak kesimbangan alam. Senso[8] ada dimana-mana sekarang, dan yang punya akses untuk menggunakan alat penebang itu dijamin hanya laki-laki. Terlihat sangat jelas bahan dasar membuat ukir dan noken berbeda proses tapi keduanya membutuhkan keseimbangan alam. Pembuatan noken menghasilkan karya luar biasa jika bahan dasar yang diambil sesuai aturan. Meskipun mama-mama tidak pernah tahu tentang apa itu teori keseimbangan ekosistem tapi dorang (mereka) lah pelaku sejati. Mama-mama merawat alam sesuai petunjuk moyang. Tapi siapa peduli tentang hasil karya mama-mama yang bisa membuat berdaya perempuan dan ramah lingkungan ini harusnya dihargai sama tingginya dengan seni lainnya? Dan siapa yang akan angkat bicara pentingnya keadilan akan hasil seni yang seolah berjenis kelamin itu. Seperti yang diungkapkan oleh Dony Danardono[9] “Pengabungan konsep tentang keadilan dan kepedulian ini sangat canggih dan menunjukkan bahwa etika kepedulian tak bisa menyelesaikan masalah bila tak diwujudkan dalam etika keadilan (aturan hukum)”. Maka pemberdayaan perempuan melalui budaya lokal akan tersingkir tatkala aturan hukum tidak turut membantunya, di sisi lain permasalahan yang hampir merata di semua tempat juga belum terselesaikan dengan baik (KDRT, pernikahan dini, permasalahan kesehatan reproduksi, perempuan sebagai makhluk kelas dua[10], dll). Aturan hukum hanya bisa dibuat oleh negara, sebagai bagian dari kewajiban negara untuk melindungi masyarakat, bukan dibuat oleh gereja ataupun adat—aturan adat hanya berlaku di satu rumpun saja, tidak berlaku secara umum. Tersendatnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan ini senasib dengan upaya negara untuk menurunkan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu di Asmat. Temuan lapangan[11], 5 dari 11 lembar kertas yang kubawa ini menjawab dengan tegas bahwa di rumahnya pernah ada bayi meninggal. Tak ada yang menjawab 1 bayi, pasti 2 atau 4 bayi pernah meninggal di dalam keluarga tersebut. Usia yang mengisi lembaran ini paling tua 35 tahun. Misal pun dia menikah umur 15 tahun, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, bisa dihitung ada anaknya yang meninggal dalam waktu dekat ini. Kejadian ini bukan menceritakan zaman dulu, bukan zamannya Sukarno ataupun Suharto. Temuan lapangan[12] serupa juga terjadi di kampung lain. Salah satu pertanyaan dalam studi rumah tangga saat pertemuan kampung ini terkait tentang kesehatan, yaitu: pernah ada bayi/anak meninggal? Berapa? Kutanya satu per satu mama-mama yang ikut dalam pertemuan. Takjub, heran, haru. Entah pernyataan apa yang pas untuk menggambarkan situasi hati ini ketika melihat jawaban mama-mama ini. Sebanyak 50% menjawab pernah, ironisnya dari setengah yang menjawab pernah itu jumlah bayi yang meninggal tidak hanya sekali. Hasilnya sama dengan kampung yang diceritakan di atas. Anak yang meninggal ada 2 hingga 4 usia bayi. Peserta yang ikut pertemuan kampung itu ada 10 mama-mama usia produktif (35-45th). Jadi inikah yang disebut dengan mengurangi angka kematian bayi? Dan parahnya penyebab kematian bayi-bayi itu bukan “sakit mahal” tapi hanya panas muntah berak (muntaber) yang harusnya bisa diberi pertolongan pertama jika akses informasi tersampaikan dengan baik. Selain akses informasi kebutuhan untuk mendekatkan akses layanan penting dilakukan. Hal itu agaknya sudah disadari oleh banyak pihak, di sisi lain tidak mudah mendapatkan pekerja kesehatan yang bersedia tinggal di daerah-daerah pedalaman. Ada banyak alasan yang menyertai permasalahan itu sehingga terkesan seperti “benang ruwet”. Daerah geografis kabupaten Asmat tergolong unik. Transpotasi utama adalah perahu. Kampung satu dengan yang lain terpisahkan oleh sungai—kebanyakan sungai dalam ukuran besar. Air bersih bergantung pada hujan, air rawa termasuk air bersih tapi letaknya jauh dari kampung karena harus pergi ke dusun/hutan, serta isu hak dasar lainnya, tak terkecuali masuknya pengaruh-pengaruh dunia luar yang tidak terbendung. Kesehatan masih menjadi barang mahal. Memang benar ada banyak layanan kesehatan yang berbunyi “gratis”. Tapi di Asmat kebutuhannya berbeda. Sarana transpotasi yang tidak mendukung, ikut berkonstribusi pada tersendatnya akses layanan kesehatan gratis tersebut. Apapun alasannya itu, perempuan Asmat masih rentan dengan kebutuhan dasar berupa kesehatan (ibu) dan masih menjadi sasaran empuk untuk “kampanye” (objek). Catatan Belakang: [1] Bevak adalah gubuk sederhana yang digunakan untuk tinggal sementara di hutan ketika mencari makan. [2] Sebuah kegiatan yang dimulai tahun 1981 dan diprakarsai oleh Gereja untuk mempersatukan antar rumpun dan menjaga budaya. Usia pesta budaya lebih dari seperempat abad, tahun 2014 genap berusia 30 tahun. Ada 4 kali tahun tidak diadakan pesta budaya karena alasan tertentu. Kegiatan ini diselenggarakan setiap bulan oktober. Kegiatan seleksi ukiran dan noken atau hasil karya lain mama-mama diadakan disetiap wilayah (dulunya semua tahapan kegiatan berpusat di Agats saja), puncak acara diadakan di ibukota kabupaten (Agats). Tahun ini pesta budaya akan diselenggarakan tanggal 9-14 Oktober 2014. [3] Paroki ini terdiri dari 4 kampung di pusat distrik Fayit dimana jumlah pendatang semakin bertambah banyak. [4]Karya mama-mama diikutkan dalam pesta budaya belum lama, dimulai sekitar tahun 2008 (hasil wawancara dengan Pak Pius dari kampung Ats, salah satu peserta lomba ukir yang lolos tahun ini). Mulai tahun 2003 pemerintah mengalokasikan anggaran khusus untuk penyelenggaraan pesta budaya, bujet itu tidak sama setiap tahunnya. Selama penyelenggaraan paling besar tahun 2013 mencapai 1,2 Milyar, paling sedikit berkisar diangka 400-an juta (hasil wawancara dengan Pak Erick sarkol, komisi budaya keuskupan Agats). [5] Ungkapan ini diceritakan oleh Mama Monika dari Sanggar Semenawut dan diamini oleh anggota yang ada di situ ketika wawancara ini. [6] Diambil dari majalah Fu (media Keuskupan Agats), Edisi No.21 Desember tahun 2011 hal 46. [7] Ukiran dalam perisai, biasanya motifnya tulang dan simetris. Fungsi utama perisai untuk melindungi diri bukan kelompok. [8] Menebang pohon dengan alat gergaji mesin. [9]Buku seri I Kajian Ekofeminisme: Ekofeminisme dalam tafsir agama, pendidikan, ekonomi dan budaya (hal 53). [10] Ketimpangan terjadi dalam hal “kuasa perahu”. Hanya laki-laki yang boleh membuat perahu sedangkan perempuan merawatnya. Perahu dilambangkan sebagai “kejantanan” dan tidak semua laki-laki bisa membuat (punya) perahu. Ada analogi “tidak ada perahu maka tungku dingin (karena tidak bisa pergi mencari makanan sehingga tungku tidak berasap artinya tidak bisa makan). Tidak bisa membuat perahu dianggap sebagai cowut (perempuan) yang hanya bisa menerima saja.” Disarikan dari artikel yang ditulis oleh Onesius Otenieli Daeli dengan judul CI: Suatu Kunci Untuk Memahami Gender Diantara Masyarakat Asmat Papua Indonesia. [11] Kegiatan rangkaian PRA (Participatory Rural Appraisal) di kampung Sanem yang jumlah KK-nya ada 33 ini difasilitasi oleh Yayasan SATUNAMA dan DELSOS (Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi di Keuskupan Agats) pada tanggal 17 Agustus 2014. [12]Kegiatan rangkaian PRA (Participatory Rural Appraisal) di kampung Sona (ada 95 KK) dan Erme (ada 166 KK) ini difasilitasi oleh Yayasan SATUNAMA dan DELSOS (Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi di Keuskupan Agats) pada tanggal 8-11 Juli 2014. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |